Sukses

Gara-Gara Main Ponsel, Anak TK Dianiaya Pakde dan Bude

Anak TK yang dianiaya oleh pakde dan bude yang mengasuhnya selama tiga tahun terakhir awalnya mengaku matanya lebam karena dikencingi kecoa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Seorang murid TK di Yogyakarta, Anggun (5), bukan nama sebenarnya, menjadi korban penganiayaan pakdenya yang bernisial DAIW (33) dan budenya, SSH (41). Saat ini, korban dirawat di RS Bhayangkara. Penyebab penganiayaan itu diduga dipicu korban yang memainkan ponsel milik DAIW.
 
Polda DIY menangkap kedua tersangka penganiayaan itu pada Kamis dini hari, 26 Oktober 2017, dan menetapkan orangtua asuh korban itu sebagai tersangka dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan fisik terhadap anak. 
 
Peristiwa itu bermula ketika korban tidak masuk sekolah pada Jumat, 20 Oktober 2017. Komite sekolah dan guru mendatangi rumah korban dan melihat kedua mata korban lebam dan bengkak. Komite melaporkan kejadian itu ke Polda DIY. Namun, korban justru mengaku matanya bengkak karena terkena air kencing kecoa. 
 
 
Penyidik menindaklanjuti dengan membawa korban ke RS JIH pada Sabtu, 21 Oktober 2017. Tiga hari kemudian, korban diperiksa di RS Bhayangkara Polda DIY dan diopname.
 
Polisi lalu mencari bukti dengan visum karena orangtua asuh korban mengelak telah menganiaya korban. Hasilnya, mata bengkak dan lebam akibat kekerasan dari benda tumpul serta jari telunjuk, tengah, dan manis tangan kanan korban juga digigit oleh SSH.
 
"Saat ini kami sudah melakukan penahanan untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar Kombes Hadi Utomo, Direktur Reskrim Umum Polda DIY dalam jumpa pers di Polda DIY. 
 
Tersangka dijerat Pasal 44 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PDKRT dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan Pasal 80 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun. 
 
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY Sari Murti Widyastuti menjelaskan saat ini kondisi korban penganiayaan masih trauma. Dia tidak ingin kembali ke orangtua asuhnya. Anggun sudah tiga tahun tinggal bersama dengan kakak dari ayahnya, sementara orangtua kandungnya berada di Jawa Timur. 
 
"Kami masih menelusuri latar belakang korban bisa diasuh oleh tersangka, apakah adopsi legal atau tidak, dan ada kemungkinan kasus hukum lain menanti kedua tersangka kalau ternyata adopsi ilegal," kata Sari. 
 
 
Ia mengatakan korban hanya ingin kembali bersekolah. Di usianya yang masih sangat muda, ia tergolong anak yang cerdas karena sudah lancar berbahasa Inggris yang dipelajari secara otodidak. 
 
Menurut Sari, anak cerdas kerap berbuat ulah dan jika orangtua tidak mampu mengatasi maka biasanya menekan anak tersebut. "Langkah selanjutnya adalah anak ini seharusnya menjadi tanggungan negara karena termasuk anak terlantar," ucapnya. 
 
LPA DIY juga mengapresiasi langkah komite sekolah dan Polda DIY yang sigap menangani kasus ini. Tercatat, angka kekerasan terhadap anak di DIY sepanjang 2016 mencapai 300-an kasus, meliputi penganiayaan fisik dan kekerasan seksual. 
 
Saksikan video pilihan berikut ini:
 
 
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.