Sukses

Harga Diri di Pundak Goci

Al-Ghozi memang terpidana teroris yang buron di wilayah hukum Filipina. Tapi, membiarkan kecurigaan bahwa kematiannya tak wajar, tentu tak bisa begitu saja didiamkan.

Liputan6.com, Jakarta: Kaca-kaca jendela Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah, mulai dibasahi embun, dini hari Jumat pekan silam. Di Gedung Panti Lingga Naryono Layu RSUD Muwardi, tujuh dokter forensik mengerubungi jenazah Faturrahman al-Ghozi. Sejak pukul 23.00 WIB hingga sekitar 02.00 WIB itu, dengan sejumlah peralatan bedah, tim forensik yang dipimpin dokter Mun`im Idris mengotopsi mayat terpidana 17 tahun kasus terorisme di Filipina. Al-Ghozi dinyatakan ditembak polisi dan militer negeri itu, beberapa hari sebelumnya.

Mayat pria berusia 32 tahun itu dibedah di sana-sini. Otopsi berlangsung sekitar tiga jam atau molor satu jam dari jadwal semula. Maklum, ketujuh dokter forensik dari Medical Rescue Emergency (Mer-C), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan FK Universitas Gadjah Mada itu mengaku kesulitan dalam mengotopsi jenazah Al-Ghozi. Menurut Ketua Tim Forensik Mun`im, molornya waktu otopsi karena kondisi jenazah yang sudah diawetkan sejak berada di Filipina. "Masalahnya ini [jenazah Ghozi] sudah diawetkan, dikasih formalin. Jadi mata perih, kita sering menghindar, kalau kelamaan kita bisa jadi buta. Itu yang bikin lama otopsi," ungkap Mun`im.

Keluhan serupa dilontarkan seorang anggota tim forensik lainnya, dokter Aidarus. Dia menyatakan, dalam ilmu forensik, setiap orang yang mati tidak wajar sebenarnya tak boleh dilakukan penjahitan maupun diberi formalin, termasuk bahan-bahan kimia. "Bila sampai terjadi, maka ada maksud untuk menghilangkan bukti-bukti lain, seperti adanya racun atau jenis makanan yang dikonsumsi sebelum mati," urai Aidarus. Bila alasannya soal transportasi, menurut Aidarus, itu bisa diatasi dengan diberi kayu cendana atau serbuk kopi, bukan formalin.

Kalau mau jujur, bagi para dokter itu, mengotopsi mayat Al-Ghozi memang sedikit merepotkan. Sebab, beberapa hari sebelumnya, tangan-tangan Tim Forensik Filipina dan Amerika Serikat telah mendahului kerja tujuh dokter Indonesia. Buktinya jelas: terdapat sejumlah kerusakan pada tubuh Al-Ghozi. Alhasil tim forensik pimpinan Mun`im tak bisa mengidentifikasikan beberapa hal. "Untuk menentukan arah peluru itu dari luar, dari saluran luka atau arah sudut masuk. Di sini sudah dihilangkan dengan dijahit, sudah dimanipulir, keasliannya sudah tidak terjaga. Arah sudut masuk sudah tidak tahu lagi kita. Itu dijahitnya kan di sana [Filipina]," sesal Mun`im.

Yang jelas, menurut Mun`im, pada jenazah Al-Ghozi terdapat tiga luka tembak selebar enam milimeter dari arah depan. Masing-masing, dua di dada dan satu di lengan kiri. Sementara tembakan pada dada mengenai paru-paru, jantung, hati, lambung, dan limpa. Dia juga menyimpulkan, luka tersebut akibat tembakan menggunakan senjata laras panjang. Mun`im menduga tembakan itu bisa jadi dilakukan dari jarak jauh atau jarak dekat tetapi menggunakan penghalang. Disimpulkan pula, Al-Ghozi yang kerap disapa Goci itu ditembak sehabis makan. "Kalau kita lihat isi lambungnya, masih penuh makanan. Jadi, baru saja habis makan. Mungkin diberi makan dulu atau bagaimana," ucap Mun`im Idris.

Kematian Al-Ghozi memang menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan. Pemerintah Filipina mengklaim Al-Ghozi tewas dalam baku tembak di Pigkawayan, Cotabato Utara, Ahad malam pekan silam. Padahal sejumlah warga bahkan kepala polisi dan gubernur setempat membantah adanya tembak-menembak. Selain itu, sejumlah keganjilan lain, seperti minimnya jumlah lubang peluru di tubuh Al-Ghozi menimbulkan spekulasi bahwa Goci telah berada dalam genggaman militer dan dibunuh menjelang lawatan Presiden AS George Walker Bush. Bahkan, sebuah media massa Filipina mengatakan, boleh jadi pemerintah Filipina telah membohongi publik.

Seorang anggota Parlemen Filipina Gilbert Remula juga meragukan laporan militer Filipina mengenai kematian Al-Ghozi. Ia curiga, Ghozi malah telah tewas dua bulan silam. Untuk memperkuat tudingannya, ia menantang pemerintahan Arroyo untuk menggelar pemeriksaan forensik yang independen atas jasad Al-Ghozi.

Kecurigaan serupa diungkapkan Senator Ramon Magsaysay. Politisi senior Filipina itu menduga Al-Ghozi sudah ditangkap dan berada dalam genggaman militer sebelumnya. Ghozi kemudian dibunuh menjelang kedatangan Presiden Bush ke Filipina, Sabtu pekan silam. Analisa lain menyebutkan, Ghozi sengaja dibunuh agar tidak bercerita tentang pelariannya dari penjara markas kepolisian Filipina di Manila, 14 Juli silam. Seperti diketahui, kaburnya Ghozi dari penjara sempat membuat malu Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo.

Meski kalangan oposisi dan sejumlah media massa Filipina berpandangan skeptis, Presiden Arroyo membantah Al-Ghozi telah dieksekusi di tahanan dan bukan tewas karena baku tembak dengan pasukan keamanan. "Saya berpendirian sesuai dengan laporan yang dibuat otoritas mengenai operasi ini," kata Arroyo. Boleh saja Arroyo berkata seperti itu. Yang jelas, Al-Ghozi tewas enam hari menjelang kedatangan Bush ke Filipina. Saat berkunjung ke Filipina, Bush memuji Manila sebagai sekutu dalam perang melawan teror. Sebelumnya, ia menyebut Arroyo sebagai seorang pemimpin yang kuat dan teguh dalam perang melawan teroris. Sedangkan beberapa pejabat Filipina mengungkapkan, pemerintah AS berjanji memberikan bantuan militer minimum senilai US$ 356 juta kepada mereka.

Sekadar menyegarkan ingatan, Al-Ghozi divonis 17 tahun penjara oleh pengadilan Filipina. Lelaki yang menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Sukoharjo, Jateng, pada 1989 ini divonis bersalah dalam dua kasus. Pertama, warga Desa Mojorejo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, ini dinyatakan bersalah karena memiliki bahan peledak ilegal dan terkait pengeboman stasiun kereta api di tengah kota Manila pada Desember 2000. Al-Ghozi juga divonis lantaran melanggar Undang-undang Keimigrasian Filipina.

Namun, 14 Juli silam, Al-Ghozi berhasil melarikan diri dari penjara Markas Besar Kepolisian Filipina, Camp Crème. Dia kabur bersama dua anggota Abu Sayyaf, Abdul Mukmin Ong Edris dan Omar Opik Lasal. Akhirnya, pihak Ghozi yang disebut-sebut sebagai seorang di antara pemimpin Jamaah Islamiyah itu dinyatakan tewas tertembak. Kepastian tewasnya Al-Ghozi ini diumumkan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jenderal Rodolfo Garcia di Manila, 12 Oktober silam. Tiga hari kemudian, jenazah Al-Ghozi dipulangkan ke kampung halamannya, Desa Mojorejo, Madiun, Jatim.

Kematian Al-Ghozi seperti itu jelas mengundang tanda tanya bagi keluarganya. Sehari setelah jenazah Al-Ghozi diotopsi, tim pengacara keluarga Al-Ghozi beserta tim forensik menggelar jumpa pers di Jakarta. Mereka mengutarakan tentang upaya hukum yang akan dilakukan tim pengacara mengenai hasil otopsi terhadap jenazah Al-Ghozi. Tim dokter yang mengotopsi mayat Al-Ghozi tetap pada kesimpulan semula bahwa korban ditembak dari jarak jauh. Namun, di dalam tubuhnya tak ditemukan bubuk mesiu. Mereka juga menegaskan Al-Ghozi tak tewas dalam sebuah baku tembak.

Di Jakarta, juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, pihaknya memperoleh dokumen dari Manila yang berisi hasil pemeriksaan laboratorium kriminal. Dalam dokumen itu, menurut Marty, tertulis ditemukan kandungan bubuk mesiu di tangan kiri Al-Ghozi. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memastikan bahwa pemerintah Indonesia tak akan lagi mempertanyakan kasus tewasnya Al-Ghozi kepada pemerintah Filipina. Alasannya, Indonesia menghormati proses hukum di Filipina.

Kendati demikian, Mahendradatta, seorang anggota tim pengacara keluarga Al-Ghozi menyatakan akan meminta pemerintah Indonesia untuk meminta klarifikasi kepada pemerintah Filipina. Tujuannya untuk mengetahui penyebab kematian Al-Ghozi yang sesungguhnya. Pernyataan ini kemudian ditegaskan oleh anggota kuasa hukum keluarga Al-Ghozi lainnya, Fahmi H Bachmid. Senin ini, Fachmi bersama Tim Pengacara Muslim akan menyampaikan permintaan itu melalui Departemen Luar Negeri Republik Indonesi. Bahkan, mereka juga akan membawa kasus kematian Al-Ghozi ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

Kepala Kepolisina Daerah Jatim Inspektur Jenderal Polisi Heru Susanto mengatakan hasil otopsi jenazah Al-Ghozi tak laku secara yuridis karena tidak dilakukan penyidik. Untuk memiliki nilai hukum, menurut Kapolda, otopsi harus dilakukan penyidik.

Kontroversi mengenai penyebab kematian Al-Ghozi terus menggelinding. Bahkan, sejumlah kalangan termasuk pejabat negara angkat suara. Sebut saja, Ketua MPR Amien Rais. Menurut Amien, pemerintah Indonesia harus meminta pertanggungjawaban pemerintah Filipina atas kematian Al-Ghozi. Alasannya, negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab melindungi warga negaranya. Seharusnya, tambah Amien, pemerintah mengambil alih masalah karena menyangkut martabat bangsa. Adapun dasar tuntutan adalah prosedur penembakan yang dilakukan pemerintah Filipina. "Harusnya lewat pengadilan, bukan asal tembak," ucap Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini.

Komentar senada dilayangkan Wakil Presiden Hamzah Haz. Hamzah yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ini meminta pemerintah Filipina memberikan keterangan secara transparan mengenai kronologis terbunuhnya Al-Ghozi. Terutama agar tak menimbulkan gangguan hubungan sesama negara ASEAN.

Berbagai serangan itu akhirnya melunakkan sikap Deplu. Menurut Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Lembaga Hukum Deplu Sahwin Adenan, pihaknya akan mempertimbangkan permintaan keluarga Al-Ghozi agar Indonesia meminta pertanggungjawaban pemerintah Filipina dalam tewasnya terpidana kasus teroris itu. "Akan kami koordinasikan dulu dengan teman-teman di Departemen Luar Negeri dan di Filipina," kata dia.

Ribut-ribut soal kematian Al-Ghozi akhirnya ditanggapi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta segenap lapisan masyarakat di Indonesia, dapat menempatkan atau meletakkan permasalahan yang menimpa Al-Ghozi tetap pada konteksnya. Menko Polkam juga tak terlalu mencemaskan jika masyarakat Indonesia mengenang Al-Ghozi sebatas kerangka kekeluargaan dan kemanusiaan.

Belakangan Menko Polkam mengatakan, pemerintah Indonesia akan terus meminta penjelasan yang lengkap dan utuh dari pemerintah Filipina soal kematian Al-Ghozi. Selanjutnya, pemerintah akan menyampaikan penjelasan pemerintah Filipina itu kepada masyarakat. Ini penting dilakukan agar tak menimbulkan persepsi yang keliru.

Beragam pendapat di kalangan masyarakat dan elite kekuasaan di Tanah Air boleh dibilang cukup menarik. Pada jenazah Al-Ghozi, seolah-olah ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan. Bahwa Al-Ghozi berstatus terpidana buron di wilayah hukum Filipina, yang menunjukkan bahwa dia secara legal bersalah, itu adalah fakta tak terbantahkan. Tapi, membiarkan kecurigaan bahwa kematian Al-Ghozi terjadi lantaran sebab yang tak wajar, yang sengaja disembunyikan pemerintahan Filipina, tentu soal lain yang menjadi pertimbangan. Agaknya, soal terakhir inilah yang memperkental suara agar Filipina secara transparan menguraikan kronologi kematian Al-Ghozi.

Dalam konteks ini, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mendesak pemerintah untuk menyelidiki kematian Al-Ghozi. Pasalnya, Al-Ghozi adalah warga negara Indonesia, meski dianggap sebagai teroris. Hidayat menilai kematian Al-Ghozi memang tak wajar. Indikasi ini berdasarkan sejumlah saksi yang menyebutkan saat penangkapan tak terdengar baku tembak seperti yang dikatakan pemerintah Filipina. Selain itu, luka tembak yang terlihat di tubuhnya dinilai sangat mencurigakan. Nah, kini bola di tangan pemerintah Indonesia. Sikap pemerintah Filipina boleh jadi bisa berubah, lewat sebuah ketegasan yang dilayangkan Indonesia. Ini penting, agar jenazah Al-Ghozi yang sudah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Sangkal, Desa Mojorejo, Madiun, tak melahirkan teka-teki berkepanjangan di kemudian hari.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.