Sukses

Dewas Sidang 5 Kasus Etik Sepanjang 2022, Ada Soal Perselingkungan Pegawai KPK

Untuk kasus perselingkuhan,pegawai KPK yang disidangkan tersebut telah dijatuhi sanksi berupa permintaan maaf.

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menangani lima persidangan kasus dugaan pelanggaran kode etik pegawai sepanjang tahun 2022. Tercatat dua di antaranya merupakan kasus perselingkuhan.

"Dari 26 laporan pengaduan etik itu, dapat kami sampaikan bahwa tiga pengaduan dinyatakan cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik, 20 pengaduan tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik, lalu tiga pengaduan itu masih proses pengumpulan bahan keterangan," tutur Anggota Dewas KPK Albertina Ho kepada wartawan, Senin (9/1/2023).

"Kalau kita lihat penyelenggaraan sidang etik untuk tahun ini ada lima, katakanlah berkas perkara. Karena yang dua ini adalah laporan tahun lalu dan ini baru disidangkan tahun 2022," lanjutnya.

Untuk kasus perselingkuhan, kata Albertina, pegawai KPK yang disidangkan tersebut telah dijatuhi sanksi berupa permintaan maaf.

"Perselingkuhan ini ada dua orang insan komisi yang diperiksa, mereka berdua ini, dinyatakan melanggar ketentuan menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi. Dikenai sanksi sedang berupa permintaan maaf terbuka tidak langsung," jelas Albertina.

Albertina juga menyebut bahwa Dewas banyak menerima aduan terkait perselingkuhan di sepanjang 2022. Sementara berdasarkan fenomena di masyarakat pun nyatanya memang banyak permasalahan perselingkuhan di tahun tersebut.

"Mungkin teman-teman media kok banyak selingkuhnya, Bu? Ini juga saya tidak tahu, kebetulan saja ini di tahun 2022 lagi ngetren, saya nggak ngerti juga tapi ada perselingkuhan," Albertina menandaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sahroni Dukung KPK

Juru Bicara KKPK, Ali Fikri menegaskan, KPK akan terus melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebagai upaya menurunkan kasus korupsi.

Penegasan itu merespons pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang meminta KPK tidak surut melakukan OTT.

Hal ini kemudian mendapat dukungan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politikus NasDem ini merasa OTT merupakan cara KPK memberantas korupsi, bukan sebatas drama yang tidak perlu.

“OTT ini kan salah satu cara KPK untuk memberantas dan menjerat para pelaku korupsi. Kalau bisa ditangkap saat kejadian kenapa tidak. Sebab proses pembuktian jadi berlangsung lebih cepat dan mudah karena adanya barang bukti. Plus kalau kita bicara survey kepuasan publik terhadap KPK, poin utama pertimbangan publik ada pada OTT. Lagi pula kalau memang ini dramatis, apa salahnya publik ‘melihat langsung’ ada maling ditangkap?,” ujar Sahroni dalam keterangan (9/1/203).

Meskipun demikian, Sahroni tetap meminta KPK memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan demi meminimalisir potensi korupsi.

Dirinya menilai, dengan adanya sistem yang ketat, angka korupsi dapat ditekan jauh lebih banyak.

“Tapi memang KPK harus tetap utamakan sistem pengawasan dan pencegahan. Dan (sistemnya) harus up to date, sebab pelaku korupsi saat ini sudah semakin canggih-canggih. Jadi KPK harus terus kaji dan evaluasi secara berkala untuk hasilkan sistem yang terbaik. Tutup rapat-rapat segala celah korupsi. Dengan begitu saya yakin kita dapat lebih efektif dan efisien,” pungkas Sahroni.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.