Sukses

Menanti Masterplan Alutsista, Pengamat: Dilema Kesejahteraan Vs Pertahanan

Persoalan ini memang tak lepas dari keterbatasan anggaran yang dimiliki otoritas pertahanan.

Liputan6.com, Jakarta Menyusul tragedi yang menimpa KRI Nanggala-402 beberapa waktu lalu, timbul suara dari publik agar pemerintah segera memodernisasi alutsista milik TNI. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pun telah mengemukakan di berbagai kesempatan bahwa akan ada sebuah masterplan alutsista selama 25 tahun yang merupakan mandat khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Adapun anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pemerintah tengah merancang peraturan presiden (Perpres) masterplan moderninsasi alutsista selama 25 tahun yang dilakukan dengan skema pinjaman luar negeri dengan jumlah kurang lebih Rp 1.760 triliun.

Selama ini terjadi dilema saat negara ingin memperbesar kekuatan pertahanannya, yaitu antara kesejahteraan masyarakat atau pertahanan negara, yang membutuhkan anggaran yang besar. Itulah yang menyebabkan keterbatasan dalam memenuhi alutsista berteknologi tinggi seperti pesawat tempur dan kapal selam.

Pemerhati Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, jika rancangan masterplan 25 tahun itu dapat disetujui Presiden, maka Indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5% dari PDB per tahun.

"Asumsinya, sebanyak 0,78% bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7% bersumber dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (19/5/2021).

Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2020 yang mencapai Rp 15.434,2 triliun, maka angka yang dialokasikan pemerintah untuk masterplan alutsista selama 25 tahun hanya berada di angka 11,4%.

Apalagi jika angka PDB Indonesia tahun lalu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, maka persentase jumlah yang direncanakan dari PDB akan tampak lebih kecil, hanya 0,7% setiap tahunnya.

"Artinya, jika rancangan masterplan itu dapat disetujui Presiden, maka Indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5% dari PDB per tahun," kata Khairul.

Menurutnya, meskipun masterplan yang dimaksud masih belum disetujui Presiden, namun hal ini bisa menjadi angin segar atas persoalan keterbatasan anggaran yang saat ini dimiliki Indonesia.

"Namun demikian, perlu untuk diingatkan bahwa masterplan itu tetap harus dibarengi dengan sejumlah langkah untuk memastikan akuntabilitasnya," katanya.

Setidaknya, ada empat hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, soal penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Kedua, pengaturan yang ketat mengenai keterlibatan pihak ketiga, agar dapat dijamin kapabilitas dan akuntabilitasnya.

"Ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan," katanya.

Keempat, perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan dan dengan prioritas yang terukur, hingga skema penahapan pengadaan jika anggaran terbatas.

"Dan terakhir penyediaan dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset termasuk di lingkungan perguruan tinggi dan pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk melakukan inovasi," katanya.

Upaya modernisasi alutsista sejatinya sudah dilakukan pada 2007 melalui Minimum Essential Force (MEF) atau kebutuhan pokok minimum. Namun, realisasinya hingga saat ini mengalami perlambatan.

MEF dibagi ke dalam beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun, di mana tahap pertama dimulai pada 2010-2014, tahap kdua 2015-2019, dan seharusnya sudah mencapai 100% pada akhir tahap ketiga yakni periode 2020-2024.

Namun, hingga kini capaian MEF masih berada di bawah 65% dari 75% yang ditargetkan pada 2019. Namun, persoalan ini memang tak lepas dari keterbatasan anggaran yang dimiliki otoritas pertahanan.

"Artinya dibutuhkan perencanaan yang benar-benar komprehensif, didasarkan pada skala prioritas yang jelas, terukur, berkesinambungan, dan mengacu pada proyeksi bentuk dan tingkat ancaman di masa yang akan datang," kata Khairul.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kalah dari Singapura

Walaupun anggarannya termasuk besar, sayangnya untuk alutsista ini Indonesia hanya mengalokasikan belanja militer 0,7% terhadap PDB. Sementara jika melihat Singapura, negara tersebut mengalokasikan 3,2% dari PDB anggaran militer.

Anggaran pertahanan Indonesia bahkan kalah jauh dari Singapura yang hanya berpenduduk 5,9 juta jiwa, namun memiliki 72.500 personel militer aktif, 312.500 personel cadangan, dan anggaran militer US$11.200 juta atau Rp162,7 triliun.

Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak mengakui, secara akumulatif, anggaran yang diplot untuk Kemhan memang lebih besar dari kementerian lain. Namun, asal tahu saja, duit sebanyak itu ternyata masih harus dibagi lagi untuk 5 unit Organisasi (UP) yakni Kemhan, Mabes TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan udara.

"Jadi dari total anggaran 2021 kurang lebih Rp 136 triliun itu terbagi ke 5 unit organisasi tersebut. Lebih dari 44 persennya sudah digunakan untuk belanja rutin prajurit dan pegawai," kata Dahnil dalam keterangan tertulis.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.