Sukses

Kerikil Jenewa Bernama Cot Trieng

Pemerintah RI dan GAM akan menandatangani peace agreement di Jenewa, Swiss. Masalah pengepungan Markas GAM di Cot Trieng dikhawatirkan bakal menyulitkan upaya dialog damai tersebut.

Liputan6.com, Jakarta: Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka bakal kembali ke meja perundingan. Kedua belah pihak direncanakan menandatangani 12 butir peace agreement atau kesepakatan damai di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002. Perundingan yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center ini diharapkan membuahkan solusi penyelesaian kasus Aceh melalui upaya damai. Sejauh ini, pemerintah optimistis dialog lanjutan dengan kelompok separatis itu berjalan sukses. Namun, pengepungan Markas GAM di Desa Cot Trieng, Muaradua, Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, oleh TNI/Polri dipandang bakal menjadi kerikil dalam pertemuan tersebut.

Permasalahan tersebut juga menjadi topik hangat dalam "Debat Minggu Ini" di Studio Liputan6 SCTV Jakarta, Rabu (20/11) malam. Dalam acara yang dipandu oleh Bayu Sutiyono ini empat pembicara yang berkompeten melontarkan pandangan dan solusi penuntasan konflik di Bumi Rencong. Mereka adalah Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Djali Yusuf, Ketua Fraksi Reformasi di DPR Ahmad Farhan Hamid, Direktur Eksekutif Indonesian Human Right Munir, dan pemerhati militer Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Hasnan Habib.

Menyoal pengepungan di Cot Trieng, Pangdam Iskandar Muda berdalih, itu sebagai bagian taktik TNI agar masyarakat tak menjadi korban. Apalagi anggota GAM kerap berlindung di tengah penduduk sipil. Dengan kata lain, ketika proses perundingan berjalan, TNI tetap menjalankan operasi militer. "Operasi dimaksudkan untuk mengisolisir dan mempersempit ruang gerak GAM. Tapi, para prajurit diperintahkan tak menembak sembarangan atau menggempur habis. Bisa saja, kok, kami (TNI) membombardir. Namun, itu tak dilakukan," ujar Djali.

Kendati demikian, Djali yang juga putera daerah Aceh ini menyangkal bahwa TNI memegang inisiatif penyerangan tersebut. Sebab, menurut dia, segala sesuatu berdasarkan garis perintah Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopsliham) yang dipegang kepala kepolisian daerah setempat. "Para prajurit di lapangan juga diperintahkan memegang pedoman agar jangan menembak sembarangan. Jadi, kontrol tersebut memang ada dan juga dilakukan evaluasi yang selalu dilaporkan hingga kepada Panglima TNI," ucap Pangdam, dengan nada suara tinggi.

Penjelasan Pangdam Iskandar Muda ternyata tak memuaskan Munir. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Human Right, masalah pengepungan di Cot Trieng bakal menjadi persoalan dalam perundingan di Jenewa mendatang. "Saya khawatir pertemuan 9 Desember 2002 itu terhambat dengan alasan-alasan kondisional yang menjadi klausulnya," kata Munir, lirih.

Djali langsung menyergah penilaian Munir. Menurut dia, pelaksana lapangan telah mengantongi surat perintah dari Pangkoopslihkam dan Panglima TNI yang menyuruh agar operasi militer tetap berjalan. Akan tetapi, Pangdam melanjutkan, pengepungan jangan dijadikan dalih pihak GAM untuk lari dari meja perundingan.

Hasnan langsung mencoba menengahi adu argumentasi tersebut. Dalam kaca mata purnawirawan TNI ini, sejak persoalan Aceh muncul ke permukaan, kekuatan militer tak serta merta menyelesaikan pangkal masalah di Aceh. Buktinya, Hasnan mengungkapkan, pemberontakan Aceh pada tahun 1953-1962 (peristiwa Daud Beureuh--Red) yang mengandalkan kekuatan militer juga tak menuntaskan masalah sebenarnya. "Pemberontakan berhenti, tapi sengketa tak berakhir," ungkap Hasnan. Dengan melihat sejarah itulah, dia memandang bahwa kasus Aceh bukan sekadar konflik militer melainkan sarat muatan politis.

Lebih jauh Hasnan menguraikan penuntasan kasus Aceh pascaperlawanan Daud Beureuh. Dia pun menganilis penyelesaian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Saat itu, Gus Dur berupaya menyelesaikan soal Aceh dengan jalur negosiasi damai dan dialog. Yaitu dengan mengupayakan Jeda Kemanusian I dan II. Namun, Hasnan menyayangkan serangkaian upaya tersebut tak membuahkan hasil positif bagi pemulihan keamanan di Serambi Mekah. Pasalnya, tak ada pihak penengah bila terjadi pelanggaran atas kesepakatan damai RI-GAM.

Namun, Hasnan menambahkan, peace agreement yang akan ditandatangani nanti ada unsur pihak ketiga. Karenanya dia optimistis penuntasan masalah Aceh bakal memasuki tahap awal yang positif. Bahkan, tak tertutup kemungkinan bakal menelurkan suatu komprehensif penyelesaian. "Ini jelas jauh berbeda pascadialog terdahulu yang terkesan pemerintah mendapat tekanan dari TNI dengan usulan Darurat Militer," jelas Hasnan.

Berbeda dengan tiga pembicara tersebut, Farhan justru menekankan harapan sebagian warga Aceh yang mendambakan keamanan dan perdamaian. Meski mengakui sulit mendefinisikan keamanan di Serambi Mekah, Farhan mengimbau agar seluruh elemen maupun pemerintah memfokuskan perhatian pada penandatangan peace agreement di Jenewa mendatang.

Mengenai pengepungan Markas GAM di Cot Trieng, Farhan memandang operasi militer TNI itu cukup mendapat payung hukum dengan adanya Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh. Apalagi pengepungan terhadap GAM kerap terjadi meski kali ini melibatkan jumlah personel TNI yang banyak, sekitar 1.200 prajurit. Kendati bakal menjadi kerikil dalam perundingan, Farhan menilai bahwa TNI mungkin menerapkan adigium atau pendapat: siapa ingin damai harus perang.

Adigium tersebut jelas dibantah Hasnan. Menurut dia, semua pihak harus berpikir bila menginginkan perdamaian harus mengupayakan cara-cara damai dan bukan melalui perang. Bantahan serupa disuarakan Djali. Dia menjamin, TNI tak akan memakai paradigma lama. Sebab, TNI adalah bagian dari pemerintah. "Kalau diminta berhenti, kita [TNI] berhenti bertempur," tegas Djali.

Jaminan yang diberikan Pangdam Iskandar Muda tak memuaskan Munir. Pendekar penegakan HAM di Indonesia ini tak melihat TNI benar-benar menerapkan paradigma yang baru. "TNI terlalu bersikap normatif. Padahal fakta di lapangan berlainan," kata Munir, tajam. Tak cuma itu, Ketua Umum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ini menilai pengiriman pasukan terlebih dahulu harus diketahui Presiden maupun DPR. Terutama mengenai batas waktu pengiriman dan jumlah personel yang diterjunkan.

Pandangan Munir langsung ditanggapi Farhan. Dia mengungkapkan, pemerintah telah berkonsultasi dengan Komisi I DPR meski sekadar pembicaraan parsial. Hasnan lain lagi. Dia menilai, dalam sistem demokrasi, strategi militer harus ditentukan pemerintah. Namun, Hasnan tak melihat kalangan TNI bersungguh-sungguh mematuhi ketentuan tersebut. Termasuk menerapkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2002 tentang Status Aceh. Padahal, Hasnan menambahkan, Inpres tersebut jelas menyebutkan bahwa TNI dilibatkan bila diminta Polri.

Penjelasan Hasnan pun diamini Munir. Apalagi, menurut Munir, bila itu menyangkut model operasi yang seharusnya dibuat Kapolda sebagai Pangkoopsliham Aceh. Dia juga mensinyalir ada tiga struktur berbeda yang diterapkan di Aceh. Pertama, DPR tak mengetahui mengenai detail operasi militer. Selanjutnya, otoritas sipil (pemerintah--Red) yang memberikan blangko mandat kepada TNI. Terakhir, kemampuan polisi diragukan efektivitasnya.

Seakan membela kalangan militer, Farhan mengungkapkan, sebagian rakyat Aceh memang yang meminta agar jumlah TNI ditambah. Mereka beralasan, kondisi keamanan di Aceh mulai mengkhawatirkan dengan meningkatnya kekerasan dan aksi teror. Namun begitu, Farhan mengakui bahwa kalangan muda Aceh justru menginginkan agar TNI hengkang dari Bumi Rencong.

Meski sangat menyetujui pandangan Munir, Hasnan menggarisbawahi mengenai mekanisme "All Inclusive Dialog" atau dialog menyeluruh. Intinya, sejauh ini, GAM telah menerima Otonomi Khusus NAD. "Hal itu dapat dijadikan sebagai titik awal. Selanjutnya kedua belah pihak harus melakukan banyak negosiasi lagi kalau ingin lebih detail atau The Devil is Details," papar Hasnan, menyarankan.

Saran Hasnan pun disetujui Munir. "Otonomi adalah titik tolak, sedangkan masalah krusial dituntaskan di perundingan. Dan pemerintah harus menjamin pelaksanaan kesepakatan bersama yang dihasilkan. Bila tidak, pelanggaran oleh satu pihak akan menjauhkan harapan kedua belah pihak," saran Munir.

Sedangkan Pangdam Iskandar Muda justru masih mengkhawatirkan sepak terjang GAM di lapangan. Alasannya, struktur GAM berbeda dengan TNI. "Jika para prajurit TNI disuruh berhenti bertempur, perintah itu tak akan dilanggar. Tapi, GAM mungkin tidak berbuat hal yang serupa," kata Djali dengan suara perlahan. Itulah sebabnya, Djali menambahkan, TNI tetap melakukan pengawasan.

Menyimak penjelasan tersebut, Hasnan mengingatkan bahwa masalah pengepungan bisa menjadi masalah krusial dalam perundingan. Apalagi bila pasukan TNI menyerbu Markas GAM. "Bila itu terjadi, kelompok separatis tersebut bakal mengatakan kepada dunia internasional bahwa TNI tak dapat dipercaya," ujar Hasnan, mengingatkan.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.