Sukses

Separuh Gaji Habis untuk Komunikasi, Pekerja Migran Indonesia Butuh Edukasi Finansial

Hampir separuh pendapatan buruh migran habis untuk biaya komunikasi. Kemampuan dalam merencanakan keuangan diperlukan agar mampu membawa pundi-pundi rupiah bagi keluarga di kampung halaman.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah problem mengenai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri masih menjadi hal harus diselesaikan pemerintah saat ini. Salah satu persoalan yaitu masalah komunikasi para pekerja dengan keluarga mereka di Tanah Air.

Persoalan itu menjadi salah satu hal yang disorot dalam Diseminasi hasil Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Dalam penelitian yang dilakukan sejak Maret 2019 hingga Oktober 2020 di Malaysia dan sejumlah daerah sumber pekerja migran di Indonesia ini disebutkan bahwa, perempuan pekerja migran asal  Indonesia, khususnya yang bekerja di Malaysia dan Hong Kong lebih komunikatif dibandingkan laki-laki pekerja migran.

Selain itu, perempuan pekerja migran juga disebyt lebih kompleks pola komunikasinya.

Petugas Dinas Perhubungan mendata para pekerja migran yang baru tiba di terminal Kabupaten Bangkalan. Mereka baru datang dari Malaysia.

"Jika laki-laki pekerja migran lebih banyak berkomunikasi mengenai kabar keluarga, perempuan pekerja migran, selain mengomunikasikan kabar keluarga, juga membahas keuangan dan masa depan kehidupannya,” ucap Ketua Tim Peneliti  Nani Muksin dalam keterangan tertulisnya yang di terima Liputan6.com, Rabu, 11 November 2020.

Nani melanjutkan, perempuan pekerja migran juga lebih aktif bermedia sosial, tidak hanya melalui Facebook, tetapi juga Instagram, Whatsapp, atau media sosial lain. Namun, saat berkomunikasi dengan keluarga di daerah asalnya, pekerja migran mayoritas masih menggunakan sambungan telepon.

Dalam penelitian itu, Nani menyebutkan isi pesan yang dibicarakan dengan keluarga masih seputar kebutuhan hidup dan mengobati rasa rindu karena berada jauh dari kampung halaman.

Nani menambahkan, dari penelitian yang dipimpinnya, kebutuhan berkomunikasi, terutama melalui media sosial, sudah menjadi kebutuhan utama, bagi pekerja migran asal Indonesia, khususnya yang masih lajang. "Bermedia sosial bukan hanya untuk menyapa rekan atau keluarganya, melainkan juga untuk hiburan," ucap dia. 

Namun, biaya untuk ”gaya hidup”, termasuk untuk berkomunikasi, pekerja migran Indonesia di Malaysia lebih kecil dibandingkan pekerja migran Indonesia di Hong Kong sehingga nilai kirimannya ke Tanah Air pun lebih besar.

Habis untuk Biaya Komunikasi

Nani menjelaskan, Malaysia menjadi lokasi penelitian Tim UMJ karena sejak lama pekerja migran asal Indonesia adalah yang terbesar di negeri jiran  itu.

Data tahun 2015 menunjukkan, tidak kurang dari 728.890 warga negara Indonesia (WNI) bekerja di Malaysia dan merupakan 39 persen dari total pekerja asing di Malaysia. Namun, mayoritas mereka adalah pekerja kerah biru alias buruh.

Kendati mayorita berprofesi sebagai buruh, hampir semua pekerja migran itu memiliki telepon pintar (smart phone) atau telepon genggam untuk berkomunikasi dengan keluarganya di Tanah Air maupun bermedia sosial.

Namun, Nani menyayangkan, dalam berkomunikasi dan bermedia sosial itu, mereka belum mempunyai perencanaan keuangan yang baik, seperti menabung atau mengembangkan dana yang dimilikinya untuk kegiatan ekonomi produktif.

Karena itu, mantan Kaprodi Magister Komunikasi UMJ itu menganggap, literasi keuangan menjadi kebutuhan yang mendesak bagi pekerja migran sehingga mereka bisa memanfaatkan penghasilannya dengan lebih baik.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pentingnya Perencanaan Keuangan bagi Pekerja Migran

Senada dengan Nani, Atase Tenaga Kerja KBRI Malaysia, Budhi H. Laksana menganggap literasi keuangan merupakan hal penting yang harus dimilik oleh para buruh migran. Dia pun menyoroti salah satu temuan tim peneliti yang menyebut para pekerja migran bisa menghabiskan hampir 50 persen gajinya untuk kuota pulsa.

Padahal, pendapatan para Buruh itu bisa digunakan untuk keluarga atau hal-hal produktif lainnya bila mereka mempunyai letirasi keuangan yang baik.

"Pekerja migran asal Indonesia di Malaysia memerlukan literasi keuangan agar lebih bisa memanfaatkan penghasilannya secara optimal,” ucap dia.

Budi mengatakan, sejak pandemi Covid-19, jumlah buruh migran asal Indonesia di Malaysia mengalami penurunan. Pada Juni 2019, tercatat ada 704.175 WNI yang bekerja di Malaysia yang memiliki dokumen lengkap. Namun, pada Juni 2020, jumlahnya menurun, tinggal tidak kurang dari 582.746 orang. Jumlah itu tak termasuk pekerja migran asal Indonesia yang tak memiliki dokumen saat memasuki wilayah Malaysia.

Sejumlah WNI berniat kembali bekerja di Malaysia, tetapi pemerintah setempat kini masih menutup ”pintu” bagi kedatangan orang asing, terutama yang ingin bekerja. Pemerintah Malaysia mengizinkan jika ada pekerja migran yang akan beralih bidang, seperti dari pekerja konstruksi menjadi buruh di ladang.

Budi pun meminta warga di daerah-daerah yang ingin bekerja di Malaysia untuk menunda dahulu, sebab kebijakan pemerintah negeri jiran itu belum memungkinkan dan terlalu mahal biayanya, termasuk untuk karantina.

"Janganlah tergoda untuk datang dan bekerja di Malaysia secara tidak terdokumentasi atau ilegal karena tak akan ada yang bisa melindungi mereka. Hal itu tentu merugikan buruh dan bisa mengancam keselamatan mereka,” ucap Budi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.