Sukses

BPIP Akan Beri Penghargaan ke 74 Sosok Ikon Pancasila di De Tjolomadoe

De Tjolomadoe adalah bekas bangunan pabrik gula yang berdiri sejak tahun 1861 di Karanganyar oleh Mangkunegaran IV.

Liputan6.com, Solo - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan menyerahkan penghargaan secara resmi kepada 74 ikon nusantara yang dinilai telah berkontribusi penuh dalam mengamalkan dan menyeleraskan kehidupan dengan ideologis Pancasila pada Senin malam 19 Agustus 2019.

Pemberian penghargaan mereka yang berkontribusi di Pancasila akan dilaksanakan di lokasi ikonik di Kota Solo, Jawa Tengah bernama De Tjolomadoe.

"Pilihan tempat di sini karena gedung ini ikonik, dan peninggalan zaman dulu bisa buat pembelajaran, dulu kita pernah punya pabrik gula yang memiliki pergerakan perjuangan," kata Direktur Sosialisasi Komunikasi dan Jaringan BPIP Aris Heru Utomo di De Tjolomadoe, Solo, Jawa Tengah, Minggu (18/8/2019).

De Tjolomadoe adalah bekas bangunan pabrik gula yang berdiri sejak tahun 1861 di Karanganyar oleh Mangkunegaran IV. Bekas bangunan ini memiliki luas seluas 1,3 ha di atas lahan 6,4 ha.

Revitalisasi dari bangunan yang terbengkalai selama 20 tahun ini dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai dan kekayaan historis. Terlihat seperti sederet mesin pabrik gula dengan ukurang sangat besar, dijaga dan utuh bentuknya.

Jaraknya tidak jauh dari Bandara Adie Sumarmo Solo, bila melihat peta hanya 4,5 km dan bisa ditempuh dalam waktu 15 menit menggunakan mobil.

Selain pengenalan nilai historis, pengunjung De Tjolomadoe akan disuguhkan oleh tawaran makan dan minuman yang terletak di area kantin. Di dekatnya, terdapat pula beberapa suguhan kerajinan tangan seperti batik, ukiran, dan anyaman lokal yang turut diperjualkan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pancasila Perlu Disampaikan Sederhana

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengharapkan pengertian Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia dijelaskan secara sederhana agar mudah dipahami dan diamalkan masyarakat pada umumnya.

"Bahwa untuk kepentingan praktis dan masyarakat pada umumnya itu seyogyanya memang Pancasila perlu disampaikan secara sederhana," kata Hariyono ditemui disela Konggres Pancasila XI di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis 15 Agustus 2019 seperti dilansir Antara.

Hariyono sendiri menjadi salah satu dari beberapa pembicara dalam diskusi panel dengan tema 'Dinamika Pancasila Sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa Dalam Mempertahankan Identitas Nasional' pada Konggres Pancasila XI yang diselenggarakan UGM pada 15 dan 16 Agustus 2019.

"Kami pun di BPIP juga sudah sedang membuat konsep-konsep itu dan bahkan mempraktikkan yang salah satu diantaranya untuk pengembangan Pancasila itu langsung praktik riil tidak usah ngomong teori," katanya.

Meski demikian, kata dia, pada saat yang bersamaan ketika berbicara mengenai aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa di kampus-kampus maupun perguruan tinggi di negara ini tetap tidak melupakan teori.

"Dua-duanya (teori dan praktik) penting, karena tidak ada peradaban yang bisa maju kalau tidak berbasis pada teori itu. Dan kelemahan kita selama ini orang Pancasila dalam menjelaskan kepada publik itu terlalu filosofis, sehingga masyarakat umum justru nggak ngerti Pancasila," katanya.

Tetapi, lanjut dia, kalau menjelaskan tentang Pancasila di kampus memang butuh teori, sehingga yang ditekankan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Kongres tersebut bahwa untuk masyarakat umum supaya Pancasila dijelaskan dengan cara-cara yang mudah dimengerti rakyat.

"Dan apa yang dikatakan oleh Pak Jusuf Kalla itu pernah disampaikan oleh Bung Karno ketika Bung Karno membaca tulisannya Profesor Doktor Notonegoro yang banyak isitilah filsafat yang susah dimengerti oleh rakyat, cuma kalau di kampus perlu landasan filsafat, sehingga dua-duanya penting," katanya.

Hariyono juga mengatakan, dan apa yang disampaikan Prof Amin Abdulah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang saintifikasi atau pembelajaran dengan pendekatan itu penting untuk membangun etos dan logos, akan tetapi menurutnya mitos juga diperlukan.

"Karena untuk masyarakat umum atau awam itu perlu mitos bahwa negara jaya seperti apa, ini yang kita ingin mencoba bagaimana Pancasila itu bisa dikaji dan dikembangkan sesuai dengan konteks komunikasi masing-masing," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.