Sukses

Di Depan Agus Rahardjo, MK Putuskan KPK Bisa Jadi Sasaran Pansus

Empat hakim Mahkamah Konstitusi tidak sepakat Hak Angket KPK digunakan DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, DPR memiliki kewenangan untuk menggunakan Hak Angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal ini disampaikan oleh Ketua MK Arief Hidayat, saat menolak permohonan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Achmad Saifudin Firdaus, yang mengajukan gugatan terkait UU MD3, dengan nomor perkara 36/PUU-XV/2017.

Yang menarik, hal itu disampaikan Arief di depan dua pimpinan KPK. Yaitu Agus Rahardjo, dan Laode Syarif.

"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon," ucap Arief di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (2/8/2018).

Terhadap putusan MK tersebut, masih kata dia, terdapat empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda. Mereka tak sepakat Hak Angket digunakan untuk KPK.

"Hakim Palguna, Hakim Saldi Isra, Hakim Suhartoyo, dan Hakim Maria Farida, memiliki pendapat yang berbeda atau disenting opinion," tutur Arief.

Dalam pertimbangan MK terkait memperbolehkan DPR menggunakan hak angket untuk KPK, bahwa jelas Pasal 79 ayat 3 UU MD3, bagaimana hak angket itu menunjukan fungsi parlemen.

"Secara prinsip mengenai pengaturan hak angket tersebut, membenarkan apa yang sesungguhnya menjadi fungsi parlemen, yaitu mempertanyakan dan mempersoalkan kebijakan pemerintah," ucap Hakim Anwar Usman.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Fungsi Pengawasan

Dia menuturkan, untuk mengetahui sasaran hak angket, maka pemahaman tentang hak tersebut tidak dapat dilepaskan dari fungsi pengawasan DPR.

"Dengan demikian, terdapat dua poin penting dalam fungsi pengawasan DPR. Yakni pertama menyangkut bagaimana undang-undang dilaksanakan. Dan kedua, mencangkup bagaimana anggaran negara digunakan," tutur Anwar.

Sementara itu, menurut Hakim Manahan MP Sitompul, yang menjadi obyek hak angket DPR, dapat dibagi dua. Yaitu lembaga mandiri atau lembaga utama. Dan kedua lembaga yang bersifat penunjang atau melayani.

Untuk lembaga utama ialah; MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Dalam perkembangannya, lembaga penunjang tidak hanya muncul dalam constitutional court powers, tapi muncul juga dari perintah undang-undang. Bahkan ada pula yang bersumber dari Keputusan Presiden.

"Akibatnya struktur organisasi mengalami perubahan. Bangunan organisasi negara yang didominasi oleh struktur departemen pemerintahan mulai diisi dengan lembaga negara penunjang. Yang berupa dewan, komisi, komite, badan," tukas Mahanan.

Karenanya, baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dimungkinkan muncul lembaga penunjang untuk mendukung kompleksitas lembaga utama. Tujuannya untuk efektifitas kekuasan.

"Pada perkembangannya di Indonesia, muncul lembaga penunjang. Baik berdasarkan UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan Presiden. Lembaga negara tersebut diantaranya; Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan lain-lain," jelas Mahanan.

KPK, masih kata dia, dibentuk dalam rangka membalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, yaitu polisi, dan Kejaksaan

Putusan ini otomatis berpengaruh dengan perkara 37/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017, yang memperkarakan hal yang sama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.