Sukses

Alasan KPK Belum Menahan Tersangka Kasus Suap BLBI Syafruddin

Syafruddin merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Tumenggung.

Syafruddin merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh BPPN terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Namun usai diperiksa, penyidik KPK tak langsung menahan Syafruddin. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, penahanan terhadap Syafruddin masih belum perlu dilakukan. Syafruddin sendiri ditetapkan tersangka oleh KPK pada Maret 2017 lalu.

"Sejauh ini masih dibutuhkan keterangannya sebagai tersangka dan belum perlu dilakukan penahanan," ujar Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (30/10/2017).

KPK sendiri diminta untuk cepat menahan Syafruddin demi kepentingan penyidikan. Pasalnya, Syafruddin sempat dua kali mangkir dari panggilan KPK pada Rabu 3 Mei 2017 dan Jumat 13 Oktober 2017. 

"Keputusan lebih lanjut atau usulan lebih lanjut tentu akan dipertimbangkan oleh tim," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

KPK Temukan Bukti Baru

Dalam kasus ini, KPK telah menemukan bukti baru kerugian negara. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara atas kasus ini sebesar Rp Rp 4,58 triliun. Sebelumya KPK menyebut kerugian negara atas kasus ini senilai Rp 3,7 triliun.

Menurut KPK, nilai kewajiban yang harus diselesaikan oleh Sjamsul Nursalim sebagai obligor BDNI sebesar Rp 4,8 triliun.

Total tersebut terdiri dari Rp 1,1 triliun yang ditagihkan kepada petani tambak, sementara Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan oleh BPPN dan tidak ditagihkan ke Sjamsul Nursalim.

Namun, kata KPK, setelah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), aset sebesar Rp 1,1 triliun yang dibebankan pada petani tambak hanya bernilai Rp 220 miliar. Jadi, sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.