Sukses

Pengacara Sebut Ada Kesalahan Pembuktian di Perkara OC Kaligis

Tidak ada dua alat bukti yang meyakinkan ada perintah atau paling tidak pemberian kesempatan atau pembantuan yang dilakukan OC Kaligis.

Liputan6.com, Jakarta - Penasihat hukum terpidana OC Kaligis, Desyana menyatakan berdasarkan keterangan ahli hukum tata negara Dr Hamdan Zoelva  ada kesalahan pembuktian terhadap kliennya sehingga dijatuhi hukum tinggi selama 10 tahun penjara.

"Pidana terhadap Kaligis tidak memiliki dasar yang cukup sehingga harus dibebaskan atau paling tidak jumlah hukumannya tidak melebihi hukuman pelaku utama," kata Desyana di Jakarta, Minggu (2/4/2017), seperti diktutip dari Antara.

Desyana mengatakan berdasarkan keterangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, terpidana Yaghari Basthara Guntur alias Gerry yang merupakan anak buah Kaligis dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) bersama Syamsir Yusfan, Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi sehingga merekalah sebagai pelaku.

Namun para pelaku OTT tersebut paling tinggi dihukum selama 4,5 tahun penjara dan Gerry dihukum 2,5 tahun.

Dia mengatakan, tidak ada dua alat bukti yang meyakinkan ada perintah atau paling tidak pemberian kesempatan atau pembantuan yang dilakukan Kaligis sehingga penyuapan terjadi.

Desyana mengatakan, Hamdan juga pernah menyebutkan dalam keterangan ahli pada sidang Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Pusat pada sisi lain terpidana OC Kaligis dihukum lebih berat dari pelaku yang sebenarnya.

Dia menambahkan model penjatuhan hukuman yang demikian termasuk pelanggaran atas prinsip pembuktian hukum pidana yang didasarkan pada prinsip "due process of law".

Perkara Kaligis harus dikaji dan ditinjau kembali apakah penegak hukum, penyidik, penuntut umum serta hakim telah benar-benar menjatuhkan hukuman berdasarkan prinsip "due process" tersebut.

Oleh karena itu penjatuhan pidana terhadap Kaligis tidak memiliki dasar yang cukup sehingga harus dibebaskan atau paling tidak jumlah hukumannya tidak melebihi hukuman pelaku utama.

Dalam KUHAP pasal 183 menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan.

Menurut Hamdan keyakinan hakim itu tidak boleh berdasarkan asumsi, prasangka atau opini publik.

Sedangkan keyakinan hakim harus didasari paling kurang dua alat bukti yang sah dan terungkap dalam persidangan, keyakinan hakim tanpa bukti merupakan kesewenang-wenangan.

Pembuktian pidana memiliki standar yang tinggi, karena berkaitan dengan hak asasi manusia yang paling dasar yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintahan.

Seseorang terdakwa atau terpidana ketika berhadapan dengan negara tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan hak "dignity-nya", kecuali atas hukum yang adil.

Kesalahan menjatuhkan pidana tidak saja menghancurkan seseorang yang terpidana karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil tapi juga menghancurkan masa depannya, reputasinya yang telah dibangun dengan susah payah dan menghancurkan keluarganya.

Dalam perkara yang telah menjadikan OC Kaligis sebagai terpidana yaitu tindak pidana penyuapan terhadap hakim dengan tuntutan pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 junto pasal 55 ayat (1) ke-1 pasal 64 ayat (1) KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.