Sukses

Darul Islam: Antara Harapan dan Kenyataan

Eksistensi Darul Islam atau Negara Islam Indonesia membayangi atmosfer pentas politik Islam di Tanah Air. Kelompok Islam garis keras itu terbagi atas 14 faksi dengan agendanya sendiri.

Liputan6.com, Jakarta: Pernyataan pers Al Chaidar memang membuat kuping sebagian pihak merah. Bayangkan, tiga faksi garis keras di tubuh organisasi Darul Islam (DI) --bisa disebut Negara Islam Indonesia (NII), terlibat aksi peledakan. Mulai dari pengeboman di AIS dan Gereja Petra Koja, Jakarta Utara, beberapa waktu silam, hingga sejumlah pengeboman gereja di malam Natal, akhir 2000. Sayang, Al Chaidar enggan menunjuk hidung ketiga faksi tersebut. Namun yang pasti, menurut aktivis DI itu, motif teror peledakan berlatar belakang jihad untuk mendirikan Negara Islam.

Jaringan kelompok DI atau NII memang pernah dianggap momok dalam percaturan politik di Indonesia. Benarkah DI-NII bangkit kembali? Sulit menjawab. Namun, dalam sebuah kesempatan, Al Chaidir menyatakan, gerakan NII tak pernah padam. Memang itu bukan hal yang berlebihan. Soalnya, selama obsesi mewujudkan NII belum terwujud, kelompok-kelompok tersebut akan selalu ada. Jelasnya, tujuan kelompok tersebut adalah mendirikan negara Islam.

Terus terang, hingga kini, tak banyak yang mengetahui keberadaan kelompok-kelompok atau faksi-faksi NII. Sebab, aktivitas kelompok tersebut sukar dilacak. Markas kelompok ini pun kerap berpindah-pindah. Bahkan, terkadang pergerakannya cukup eksklusif. Makanya tak aneh, bila tak sembarang orang bisa masuk ke lingkaran mereka. Apalagi, seseorang harus disumpah setia kepada imam atau pemimpin (ba`iat) terlebih dulu sebelum menjadi anggota. Tak hanya itu, orang tersebut juga dilarang bercerita kepada siapa pun, terkecuali sesama anggota kelompok "N-Sebelas" --sebutan lain untuk NII. Keberadaan NII adalah isu serius yang tak pernah hengkang.

Goresan pena sejarah mencatat, NII pertama kali diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Kala itu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi basis pertama NII. Selanjutnya, gerakan serupa meluas ke sejumlah daerah di Tanah Air, terutama Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Misalnya pada Oktober 1950, terjadi pemberontakan di Kalsel yang dipimpin Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar, seorang bekas letnan dua TNI, yang menyatakan sebagai bagian dari DI pimpinan Kartosuwirjo. Lantas, gerakan ini berhasil dipadamkan setelah pemerintah melalui TNI berhasil meringkus Ibnu Hadjar pada 1959. Gerakan DI juga meluas hingga ke Sulsel di bawah pimpinan Kahar Muzakar, 20 Januari 1952. Setahun berselang, disusul pembentukan NII di Aceh oleh Abu Daud Beureuh pada 21 September 1953. Namun, sejumlah upaya pembentukan negara tersebut berhasil dipatahkan. Bahkan, Rezim Orde Baru melarang keras gerakan DI atau NII.

Dalam kesempatan terpisah, Al Chaidar menyatakan, upaya mendirikan NII bakal terus dilakukan. Ia mengungkapkan, hingga kini, terdapat 14 faksi yang setia memperjuangkan berdirinya kembali NII. Di antaranya, Faksi Abdullah Sungkar, Abdul Fatah Wiranagapati, Mahfud Sidik, Aceh, Sulsel, Madura, Kahwi 7, dan Faksi Kahwi 9, serta beberapa kelompok lain. Sedangkan basis NII atau DI berada di tiga tempat. Untuk Pulau Jawa, basis NII berada di Jabar, kawasan Gunung Salak dan Subang. Sementara wilayah Sumatra berbasis di Aceh, dan untuk bagian Indonesia Timur berkedudukan di Sulawesi. Bahkan, NII mengklaim telah mempunyai pengikut sekitar 18 juta orang. Keanggotaannya terdiri dari berbagai kalangan. Sebut saja, mulai dari rakyat bisa, petani, mahasiswa, militer hingga pejabat. Kesemuanya tersebar di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.

Menurut Al Chaidar, faksi pertama hingga keenam adalah kelompok Islam radikal berlatar kekerasan. Sebaliknya, faksi ketujuh hingga ke-13 lebih memilih gerakan antikekerasan. Faksi pertama hingga ketiga memiliki kaitan dengan International Mujahidin Association (IMA). Sedangkan faksi keempat hingga keenam adalah pelaku pengeboman dan lebih banyak dimanfaatkan kalangan militer. Saat ditanya kenapa ia mengungkapkan hal itu, Chaidar mengatakan, pernyataan tersebut memang tergolong berisiko. Namun, dia berpendapat keadaan bakal lebih buruk andai dia memilih tutup mulut.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun, ternyata ke-14 faksi DI bertujuan menegakkan DI atau Negara Islam tanpa memandang batasan wilayah lagi. Namun untuk mencapainya, harus melalui tujuh fase. Fase pertama adalah hilful fudul atau saat Nabi Muhammad S.A.W. meraih kepercayaan dari berbagai kalangan di Kota Mekah, Arab Saudi. Di Indonesia, fase pertama itu terefleksikan dalam pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo, Jawa Tengah, oleh H. Samanhoedi pada 16 Oktober 1905. Selanjutnya, fase kedua dinamakan nubuwah atau awal mulanya penurunan Wahyu Ilahi, di Indonesia diibaratkan saat SDI berubah menjadi Sarekat Islam, hingga 1928. Sementara fase ketiga adalah hijriah atau diumpamakan kala SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia hingga 1938. Fase berikutnya adalah fase Madinah, ketika Indonesia mengalami pergolakan di sejumlah daerah, sekitar 1949-1967. Selanjutnya, fase hubaidiyah atau masa perjanjian di Mekah. Fase futuh Mekah dan khalifiyah adalah urutan yang paling terakhir.

Mengacu pada hal tersebut, sejumlah anggota DI berkeyakinan mereka tengah menghadapi fase hubadiyah. Karena itulah, mereka memandang gerakan harus mengedepankan non-violence atau antikekerasan. Malah, terbetik kabar bahwa sejumlah faksi DI --termasuk faksi Al Chaidar-- yang antikekerasan itu berencana mengegolkan kelompoknya menjadi suatu organisasi massa atau partai politik. Kendati demikian, Al Chaidar mengakui bahwa ada sejumlah kelompok sempalan DI yang "bandel" atau berseberangan dengan faksinya.

Mungkin Al Chaidar betul. Tapi, pengamat sosial keagamaan Abdul Choliq Wijaya berpendapat lain. Menurut dia, saat ini, NII tinggal sebagai wacana umat Islam. Soalnya, gerakan NII atau DI tidak lagi di bawah tanah, tapi sudah tampil ke permukaan sejalan dengan era reformasi. Pada zaman keterbukaan, sejumlah parpol tak dilarang menggantikan asas Pancasila menjadi Islam. Pendapat itu didukung Dr Musalin Dahlan. Tokoh Islam yang dekat dengan kalangan NI ini menegaskan, saat ini NII cenderung tinggal wacana semata. Alasannya, kini, berbagai potensi umat Islam lebih mengangkat isu penegakan syariat Islam ketimbang isu NII.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.