Sukses

Jakarta Wakili Indonesia Masuk Daftar 10 Kota Paling Terpolusi Udara di Dunia Versi IQAir

Jakarta kembali masuk daftar 10 kota paling terpolusi udara di dunia pada 2022 menurut survei IQAir. Sementara, Chiang Mai di Thailand berada di posisi pertama.

Liputan6.com, Jakarta - IQAir, perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, kembali merilis daftar kota paling terpolusi udara di dunia 2023. Dalam daftar tersebut, Jakarta mewakili Indonesia masuk dalam daftar.

Jakarta berada di urutan ke-9 dengan poin 151, angka yang sama yang didapat Seoul, Korea Selatan, yang berada di urutan ke-10. Berdasarkan penjelasan, kondisi udara Jakarta masuk dalam kategori Unhealthy atau tidak sehat.

Mengutip laman IQAir, Rabu (29/3/2023), konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini 11,2 kali dari nilai pedoman kualitas udara tahunan WHO. PM2.5 mengacu pada materi khusus mikroskopis berdiameter 2,5 atau kurang dengan berbagai efek merugikan untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Itu merupakan salah satu polutan utama yang digunakan dalam menentukan kualitas udara kota atau negara secara keseluruhan.

Ada beberapa faktor penyebab tingginya tingkat polusi udara di Jakarta. Mulai dari emisi kendaraan, emisi pabrik, hingga pembakaran terbuka bahan organik, semuanya berperan besar. Secara khusus, dengan populasi penduduk yang besar, jalanan dipenuhi oleh motor, mobil, dan truk yang mayoritas tidak sesuai aturan kendaraan ramah lingkungan, menghasilkan polutan level lebih tinggi, seperti nitrogen dioksida dan sulfur dioksida. 

Di samping itu, pembangkit listrik dan pabrik berbasis batu bara juga jadi penyumbang emisi karbon yang besar. Karena itu, tingkat polusi yang diperkirakan akan turun sepanjang 2020 saat pandemi melanda dan mobilitas dibatasi, angkanya malah meningkat.

Sementara, Chiang Mai berada di urutan pertama daftar kota paling terpolusi udara di dunia 2022. Salah satu destinasi wisata utama di Thailand itu mengumpulkan poin 271, yang berarti masuk dalam kategori 'sangat tidak sehat'. Posisinya diikuti oleh Lahore, Pakistan, dan Delhi, India.

 

Berikut daftar 10 kota paling terpolusi udara di dunia versi IQAir:

  1. Chiang Mai, Thailand
  2. Lahore, Pakistan
  3. Delhi, India
  4. Wuhan, China
  5. Beijing, China
  6. Kathmandu, Nepal
  7. Shenyang, China
  8. Incheon, Korea Selatan
  9. Jakarta, Indonesia
  10. Busan, Korea Selatan

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Polusi Udara Berdampak Serius pada Pariwisata Chiang Mai

Sementara itu, operatur tur di Chiang Mai mengungkapkan dampak serius atas pengumuman tersebut. Mereka mengaku tingkat pemesanan turun 50 persen setelah destinasi wisata populer itu menjadi kota paling tercemar di dunia. Bukan itu saja, pasien dengan penyakit pernapasan di provinsi itu terus meningkat.

Indeks kualitas udara Chiang Mai menurut IQAir terbaca 216 pada Selasa siang, 28 Maret 2023, yang masuk kategori 'sangat tidak sehat'. Sebagai perbandingan, Bangkok memiliki pembacaan 80, sementara Birmingham dan London masing-masing memiliki pembacaan 25 dan 8, lapor UK Guardian.

Dikutip dari The Thaiger, kualitas udara Chiang Mai, yang merupakan rumah bagi 120.000 orang dan menarik jutaan wisatawan setiap tahun, memburuk setiap tahun. Dr Nitipatana Chierakul, seorang spesialis penyakit pernapasan, telah melihat kecenderungan serupa pada pasiennya di departemen rumah sakit di Bangkok, dengan banyak yang mengalami nyeri dada atau batuk berkepanjangan.

Dia berkata, "Kebanyakan mereka mengalami kesulitan bernapas. Selama setidaknya tiga bulan, pasien yang memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya dapat berjumlah hingga 80 persen dari beban kasus departemennya."

Seorang sopir taksi setempat bernama Pat, mengiyakan dengan mengatakan, "Kabut asap tahun ini sangat buruk. Saya pikir sekarang kita memiliki empat musim, musim panas, musim dingin, hujan, dan kabut."

 

3 dari 4 halaman

Kondisi Polusi Udara di Chiang Mai Terus Memburuk

Chaicharn Pothirat, seorang konsultan paru dan profesor kedokteran di Universitas Chiang Mai, menyatakan bahwa kabut asap di Chiang Mai bersifat musiman. "Tapi selama 20 tahun terakhir, intensitas dan durasinya menjadi semakin buruk."

Prasong Ranea, pensiunan pemburu dan petani dari Pa Tung Ngam, menyatakan bahwa mayoritas orang yang terlibat dalam agribisnis menggunakan api untuk membuka lahan untuk siklus panen berikutnya. Sementara, beberapa pemburu menggunakan api untuk mendorong pertumbuhan di area tertentu.

Dia juga menyebutkan bahwa meskipun pemerintah memberlakukan aturan nol pembakaran, orang tetap membakar lahan. Ini karena beberapa orang tidak mampu membeli mesin atau percaya bahwa membakar adalah cara terbaik untuk berburu.

Polusi yang disebabkan oleh pembakaran memiliki konsekuensi ekonomi bagi Chiang Mai, dengan beberapa bisnis melaporkan penurunan pemesanan yang signifikan selama puncak musim pembakaran. Pemilik Chiang Mai Tee Tours, Tee mengaku, "Pada awal Maret, itu adalah masalah, turis tidak datang, saya akan mengatakan pemesanan saya turun 50 persen. Saya [telah] bekerja di bidang pariwisata selama 30 tahun… dan menurut saya turis menjadi lebih sadar akan polusi."

 

4 dari 4 halaman

Dampak Polusi Udara pada Segala Aspek Kehidupan

Prof Pothirat di Rumah Sakit Maharaj Nakorn Chiang Mai, seorang praktisi medis Chiang Mai, percaya kabut asap berkaitan dengan masalah kesehatan yang serius termasuk penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru. Ia pun menyuruh orang-orang untuk meninggalkan daerah itu.

"Sebagai seorang praktisi harian, saya dapat melihat bahwa kesehatan semakin memburuk, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan orang tidak mampu untuk pindah saat ini, tetapi saya memberi tahu pasien saya yang orang asing atau memiliki kerabat di selatan untuk pergi melindungi diri mereka sendiri," ujarnya.

Situasi di Chiang Mai menekankan pentingnya upaya terkoordinasi dari pemerintah, bisnis, dan individu untuk mengatasi masalah polusi udara. Inisiatif seperti melarang pembakaran dan mempromosikan metode pembersihan lahan alternatif bisa bermanfaat, tetapi masalahnya rumit dan membutuhkan pendekatan multi-aspek untuk mengatasinya.

Dr Nitipatana, yang bekerja di rumah sakit Siriraj, menyatakan keprihatinan bahwa tanpa tindakan signifikan, tingkat penyakit akan semakin parah. Bagi pasiennya, kabut asap menyebabkan penurunan kualitas hidup dan berpotensi menimbulkan prognosis yang lebih parah.

Dr Nitipatana menambahkan bahwa tidak ada partai politik yang memprioritaskan isu polusi udara dalam kampanye mereka menjelang Pemilihan Umum Mei lalu. Ia menilai perlindungan lingkungan, terutama udara, harus menjadi janji partai politik kepada masyarakat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.