Sukses

4 Kisah Karomah KH Hasyim Asy’ari yang Menakjubkan: Tahu Isi Hati hingga Orang Bohong

Mbah Hasyim adalah satu dari sekian banyak ulama Nusantara yang diyakini memiliki berbagai karomah. Beberapa karomahnya diceritakan oleh Kiai Abu Bakar dan Mbah Ahmad Thaib.

Liputan6.com, Jakarta - Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Ia merupakan ulama kharismatik yang berasal dari Jombang, Jawa Timur.

Mbah Hasyim lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 M atau 24 Dzulqa’dah 1287 H. Kakek Presiden ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini wafat pada 21 Juli 1947 M atau 3 Ramadhan 1366 dalam usia 76 tahun.

Pendiri NU ini dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Makam Mbah Hasyim nyaris tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah.

Semasa hidupnya, Mbah Hasyim punya peran penting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya melalui NU. Dalam pergerakan nasional, Mbah Hasyim juga ikut andil berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan memerintahkan santrinya melawan penjajah.

Mbah Hasyim adalah satu dari sekian banyak ulama Nusantara yang diyakini memiliki berbagai karomah. Beberapa karomahnya diceritakan oleh Kiai Abu Bakar dan Mbah Ahmad Thaib. 

Berikut kisah-kisah karomah Mbah Hasyim yang dinukil dari laman Pesantren Tebuireng, Jumat (10/5/2024).

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Mengetahui Isi Hati Orang Lain

Mengetahui isi hati orang lain bukanlah sembarang pencapaian. Tentu kebersihan hati dan keteguhan spiritual yang dapat sampai pada kemampuan itu. Kiai Hasyim menurut kesaksian Kiai Abu Bakar dapat mengetahui isi hati orang lain, padahal saat itu tidak pernah diceritakan hal tersebut kepada beliau.

Misalnya, sebagai santri kalong yang tidak menginap di pondok alias, Kiai Abu Bakar pulang pergi pondok dan rumah.  Suatu saat beliau berangkat dari rumah ke pondok jalan kaki melewati prostitusi dekat pondok, yang juga merupakan bentukan pemerintah Hindia Belanda melalui Pabrik Gula Tjoekir.

Beliau tiba-tiba menggumam dalam hati, kok bisanya tempat seperti ini ada dekat sekali dengan pondok. Beliau melihat adanya perempuan-perempuan di pinggir jalan menjajakan diri, menawarkan diri pada lelaki hidung belang yang mungkin kebetulan lewat dan mau mampir. Saat itu beliau juga ditawari, dalam bahasa beliau bercerita ditarik-tarik.

Beliau berpikir negatif. “Kok bisanya dekat pondok Tebuireng, ditempati wanita-wanita seperti ini”. Saat itu usia beliau masih muda, jelas pikiran muda sekali kemana-mana.  Sesampainya di pondok, beliau tetap kepikiran tentang hal itu.

Tiba-tiba, pukul 08.00 seusai mengaji, Kiai Hasyim mengumpulkan santri, Abu Bakar muda ada di antara kumpulan santri itu. Beliau dawuh banyak hal. Namun pamungkasnya, beliau mengatakan perkataan yang cukup mencengangkan dalam benak Abu Bakar remaja.

Ngene ya leh yo, jeding iku ono cerene, lek gak ono cerene gak nduwe jeding (Begini ya nak, kamar mandi itu ada kalinya (untuk pembuangan), kalau tidak ada tempat pembuangan, bagaimana bisa punya kamar mandi),” kata Kiai Hasyim.

Mendengar dawuh begitu, Abu Bakar muda ini tersentak seperti didawuhi di depan umum oleh Kiai Hasyim, padahal santri lain tidak tahu bahwa itu menyindir santri kalong bernama Abu Bakar. Sejak saat itu, Kiai Abu Bakar tidak mau berprasangka buruk lagi, tentang pondok dan keadaan masyarakat sekitarnya. 

Pengalaman kedua, masih sama. Pembelajaran kelas, biasanya berakhir menjelang dzuhur. Santri Abu Bakar yang merupakan santri kalong biasanya pulang setelah sholat dzuhur. Terbersit pikirannya untuk tidak ikut shalat jamaah dan hendak langsung lari pulang.

Tiba-tiba dijawil oleh Kiai Hasyim, diminta untuk tidak pulang terlebih dahulu, diminta sholat jamaah di pondok dulu. “Jok moleh sek, jamaah dzuhur sek. (Jangan pulang dulu, jamaah dzuhur dulu),” kata beliau. Akhirnya Abu Bakar tadi, tidak jadi pulang, ikut shalat berjamaah plus dengan wiridnya. 

3 dari 5 halaman

2. Digoyang-goyang, Rumah Doyong (Miring) Bisa Tegak Lagi

Mbah Ahmad Thaib mengisahkah karomah KH Hasyim Asy’ari yang dialaminya sendiri. Suatu saat Mbah Thaib muda merenung di senggangnya waktu.

Tiba-tiba Kiai Hasyim datang dan bertanya, “Ada apa, Nak, kok melamun?”. 

“Itu, rumah saya doyong (miring),” jawab Mbah Thaib muda. 

Akhirnya Kiai Hasyim mengajak Mbah Thaib melihat rumahnya yang miring itu. Sesampainya di sana, Kiai Hasyim hanya menggoyang-goyang salah satu bagian rumah yang miring. Dilalah, rumah itu lurus kembali, alias berdiri tegak lagi. Mbah Thaib terkejut sambil senang.

Terkejut karena seperti ajaib sekali, rumah digoyang-goyang saja, yang asalnya miring menjadi lurus. Karena kalau dibenarkan tukang bisa memakan biaya mahal dan tentunya selesai dalam berhari-hari.

Di balik semua itu, ia merasa senang dan gembira, rumahnya bisa berdiri tegak lagi. Kata Mbah Ahmad Thaib, begitulah cara beliau menyenangkan santri, kadang tidak terduga. 

4 dari 5 halaman

3. Menyumbat Mesin Giling Pabrik Gula Tjoekir

Kiai Abu Bakar pernah menyaksikan karomah Kiai Hasyim Asy’ari yang lain. Santri pernah dibuat heran berkeping-keping, takjub, plus ngeri. Dalam bahasa Kiai Abu Bakar, “Kok bisa ya”.

Di depan Tebuireng pada masa penjajahan Belanda, ada rel kereta yang biasa dilalui kereta komersial Jombang-Kediri, Jombang-Surabaya, dan lain-lain. Namun terkadang juga bisa dilalui oleh lori yang mengangkut tebu-tebu untuk digiling di Pabrik Tjoekir. 

Suatu saat lori yang mengangkut tumpukan tebu siap giling, terguling. Tebu-tebu berhamburan. Santri yang mengetahui itu, berhamburan mengambil tebu itu. Lalu mandor Belanda datang dan memukuli mereka.

Berita itu sampai di telinga Kiai Hasyim dan beliau merasa geram dan kesal.  Kiai Hasyim mendatangi pabrik tersebut dan menuju mesin penggilingannya. Saat giling memang sangat sibuk sekali pabrik. Pabrik Tjoekir termasuk pabrik yang paling besar di Jawa Timur.

Entah bagaimana Kiai Hasyim mengeluarkan kunyahan susur atau inang dalam bahasa melayunya dari mulut beliau. Lalu disumpelkan atau dimasukkan mesin penggilingnya.  Wallahu a'lam, mesin berhenti dan padam.

Kiai Hasyim membiarkannya sampai 3 hari. Pabrik tidak bisa beroperasi, tentu rugi. Tebu-tebu yang datang mengantri untuk digiling, menjadi kering. Dibenarkan oleh teknisi tidak kunjung bisa menyala. Akhirnya pihak pabrik sowan kepada Kiai Hasyim dan meminta maaf.

Sejak saat itu, Belanda membiarkan santri mengambil tebu gratis dan dibiarkan saja. Hal itu berlangsung sampai Pabrik diambil alih Jepang, lalu dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno. 

5 dari 5 halaman

4. Mengidentifikasi Kebohongan Orang Lain

Cerita selanjutnya datang dari penuturan almarhum Kiai Tahmid, guru Nahwu zaman Kiai Hasyim. Kang Tahmid ini santri senior asal Brebes Jawa Tengah. Cerita ini dari Kiai Abdul Haq Brebes yang mendengar langsung dari KH Tahmid Jagalempeni saat mengaji. 

Kiai Tahmid yang saat itu santri kepercayaan Kiai Hasyim menerima tamu, pernah ditimbali Kiai Hasyim untuk melayani tamu yang datang. Pamannya, Kang Bahruddin yang juga santri senior di Tebuireng, diminta oleh beliau untuk memanggilnya.

Lalu Kang Tahmid bergegas ke Ndalem Kiai Hasyim dekat masjid pondok. Kang Bahruddin mengingatkan agar Kang Tahmid shalat dulu. Namun, Kiai Tahmid malah menundanya, nanti saja katanya. 

Saat di Ndalem Kiai Hasyim bertanya pada Kang Tahmid, apakah sudah shalat apa belum. Kang Tahmid berbohong mengatakan sudah. Kiai Hasyim lalu sontak meminta Kang Tahmid shalat dulu dengan nada separuh membentak dari tempat duduk beliau.

“Tahmiiid…. sana sholat dulu!”.  Tahmid kaget bukan kepalang ternyata gurunya tahu kalau ia belum sholat. Ia gemetar, tak kuasa untuk berubah dari posisi bersimpuhnya. Ia ingin bergerak tapi tak kuasa. Alot dan rasanya panas dingin. Keringat ‘brayoh’ mengucur begitu derasnya.

Kemudian, Kiai Hasyim menghampiri Tahmid sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Sana sholat dulu. Lain kali jangan gugup dan ‘bohong’. Biar tamu ini aku ladeni sendiri.” Dan Tahmïd pun merasa badannya kembali enteng.

Segera ia menuju ke bilik kamarnya. Tentu saja bukan kebetulan Kiai Hasyim menebak-nebak. Karena beliau memang dikenal bisa mengidentifikasi kebohongan, entah dari fisik maupun metafisik. 

Itulah beberapa karomah KH Hasyim Asy’ari. Pada dasarnya, karomah tersebut terjadi atas kehendak Allah SWT. Wallahu a’lam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.