Sukses

Pilpres AS 2024: Sekutu Khawatir Kalau Trump Menang?

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa Trump berisiko membahayakan pasukan AS dan sekutunya.

Liputan6.com, Washington, DC - Ketika peluang pertarungan ulang Joe Biden dan Donald Trump dalam Pilpres 2024 meningkat, sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS) mungkin harus bersiap menghadapi masa sulit.

Banyak yang khawatir jika Trump terpilih maka masa jabatan keduanya akan menjadi bencana besar. Namun, sebelum hasil Pilpres AS 2024 terungkap, guncangan dinilai sudah terjadi dan terdapat kekhawatiran yang semakin meningkat bahwa AS akan kurang dapat diandalkan terlepas dari siapa yang menang pilpres.

Dengan jumlah pemilih yang terpecah dan perpecahan di Kongres sendiri, presiden AS berikutnya diyakini dapat dengan mudah terhanyut oleh berbagai tantangan di dalam negeri dibanding terlibat lebih jauh dalam permasalahan dunia, mulai dari Ukraina hingga Timur Tengah.

Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini sangat blak-blakan soal itu, "Prioritas pertama AS adalah dirinya sendiri."

Masa jabatan pertama Trump menguji ikatan antara AS dan sekutu-sekutunya, khususnya di Eropa. Dia mencemooh para pemimpin beberapa negara sahabat, termasuk Angela Merkel dari Jerman dan Theresa May dari Inggris. Namun sebaliknya, Trump memuji para pemimpin otoriter seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Trump juga menyebut Presiden China Xi Jinping sebagai sosok brilian dan Perdana Menteri (PM) Hongaria Viktor Orban sebagai pemimpin hebat.

Dalam pidato kampanye terbarunya, Trump tetap skeptis terhadap organisasi-organisasi seperti NATO dan seringkali menyesalkan miliaran dolar yang dikeluarkan AS untuk aliansi militer itu, yang dukungannya sangat penting bagi perjuangan Ukraina melawan invasi Rusia.

Dia mengatakan pada Sabtu (10/2), kelak sebagai presiden dia akan mendorong Rusia melakukan apa pun yang mereka inginkan terhadap negara-negara yang tidak membayar iuran keanggotaan mereka. Trump juga menulis di jaringan media sosialnya bahwa di masa depan AS harus mengakhiri semua bantuan luar negeri dan menggantinya dengan pinjaman.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa Trump berisiko membahayakan pasukan AS dan sekutunya.

"Setiap gagasan bahwa sekutu tidak akan saling membela akan melemahkan seluruh keamanan kita, termasuk AS, dan meningkatkan risiko bagi tentara AS dan Eropa," kata Stoltenberg pada Minggu (11/2), seperti dilansir AP, Selasa (13/2).

Biden memang telah menjadikan dukungan untuk Ukraina sebagai prioritas utama dan keharusan moral. Namun, pernyataan Biden setelah terpilih pada tahun 2020 bahwa AS telah kembali ke panggung global belum sepenuhnya terbukti.

Partai Republik di Kongres telah menghentikan lebih banyak bantuan militer untuk Ukraina, sementara pengaruh AS tidak mampu membendung konflik di Timur Tengah.

Direktur Pusat Politik AS di University College London Thomas Gift menilai siapa pun yang memenangkan Pilpres AS 2024, arah perjalanannya akan sama – menuju planet multipolar, di mana AS tidak lagi menjadi negara adidaya dunia tak terbantahkan

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kekhawatiran Jerman, Polandia hingga Prancis

Sebagian besar pemimpin sekutu disebut menahan diri untuk tidak berkomentar langsung mengenai pemilu AS dan berpegang teguh pada prinsip bahwa rakyat AS-lah yang harus memilih pemimpin mereka.

"Mereka sadar bahwa mereka harus bekerja sama dengan pihak yang menang, siapa pun itu – dan di balik layar, pemerintah akan ... secara diam-diam membangun hubungan dengan tim politik para pesaing," kata Richard Dalton, mantan diplomat Inggris.

Namun, banyak sekutu AS di NATO khawatir dengan atau tanpa Trump, AS menjadi kurang dapat diandalkan. Beberapa negara sudah mulai berbicara secara terbuka tentang perlunya negara anggota meningkatkan belanja militer dan merencanakan aliansi tanpa AS.

Kanselir Jerman Olaf Scholz menuturkan dia saat ini sering berbicara melalui telepon dengan rekan-rekannya dan meminta mereka berbuat lebih banyak untuk mendukung Ukraina. Jerman adalah donor bantuan militer terbesar kedua untuk Ukraina setelah AS dan Scholz baru-baru ini mengatakan kepada mingguan Die Zeit bahwa negaranya tidak dapat mengisi kesenjangan jika AS menarik diri.

Pernyataan Trump pada Sabtu tentang NATO menimbulkan peringatan di Polandia, yang berbatasan dengan Ukraina.

"Kami mengalami konflik militer terbuka di perbatasan kami," kata PM Polandia Donald Tusk pada Minggu.

"Kita harus menyadari bahwa Uni Eropa tidak bisa menjadi raksasa ekonomi dan peradaban, sementara kerdil dalam hal pertahanan karena dunia telah berubah."

Sementara itu, Rusia sibuk memperkuat hubungan dengan China, Iran, dan Korea Utara serta berupaya mengurangi dukungan internasional terhadap Ukraina.

Macron menyatakan pula bahwa perhatian AS terfokus jauh dari Eropa. Jika prioritas utama AS adalah diri mereka sendiri maka prioritas kedua AS, kata Macron, adalah China.

"Ini juga mengapa saya menginginkan Eropa yang lebih kuat, yang tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain," sebut Macron pada Januari.

3 dari 4 halaman

Trump Dinilai Tidak Stabil

Trump memang memiliki pendukung di Eropa, terutama kelompok populis pro-Rusia seperti PM Orban dari Hongaria. Mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sendiri membuat beberapa orang terkejut ketika dia baru-baru ini berargumen bahwa kepresidenan Trump boleh jadi hal yang dibutuhkan dunia.

Johnson adalah pendukung kuat Ukraina dalam perjuangannya melawan invasi Rusia, sedangkan Trump sering memuji Putin dan mengatakan dia akan mengakhiri perang dalam waktu 24 jam. Namun, Johnson mengatakan dalam kolom Daily Mail bahwa dia tidak yakin Trump akan menyingkirkan Ukraina, melainkan akan membantu Ukraina memenangkan perang, sehingga menjadikan Barat lebih kuat dan dunia lebih stabil.

Direktur urusan internasional Chatham House Bronwen Maddox mengungkapkan argumen seperti itu menunjukkan betapa tidak stabilnya Trump dan kondisi itu kemungkinan akan terus terjadi jika dia terpilih kembali.

"Bagi mereka yang mengatakan bahwa masa jabatan pertamanya tidak menimbulkan banyak kerusakan pada tatanan internasional, salah satu jawabannya adalah bahwa dia menarik AS keluar dari JCPOA, kesepakatan untuk mengekang program nuklir Iran. Percepatan kerja Iran sejak saat itu telah menjadikannya negara yang memiliki senjata nuklir di ambang batas," ungkap Maddox dalam pidatonya baru-baru ini.

Biden adalah seorang kritikus kebijakan Trump terhadap Iran tetapi belum berhasil membangun kembali hubungan dengan Iran, yang terus mengembangkan kekuatannya di seluruh kawasan.

4 dari 4 halaman

Dinilai Tidak Ada Bedanya

Dalton, yang merupakan mantan duta besar Inggris untuk Iran, memandang prospek Timur Tengah akan sedikit lebih buruk di bawah kepemimpinan Trump dibandingkan Biden. Namun, dia mengatakan perbedaan yang memicu ketegangan utama di kawasan ini – konflik Israel-Palestina dan ambisi Iran – akan terbatas.

"Tidak ada pemerintahan AS yang akan melakukan upaya serius untuk menyelesaikan perbedaan dengan Iran melalui diplomasi," tutur Dalton.

Terkait konlflik Israel-Palestina sendiri, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir mengatakan Biden tidak memberikan dukungan penuh kepada Israel dan jika Trump berkuasa, tindakan AS akan sangat berbeda.

Sama seperti sekutu-sekutu AS, para rival AS pun tidak secara terbuka menyatakan preferensi mereka terhadap hasil Pilpres AS 2024.

Trump pernah mengembangkan hubungan yang kuat dengan Erdogan dan menyebutnya teman yang sangat baik pada pertemuan tahun 2019 di Gedung Putih. Namun, yang kemudian terjadi pemerintahan Trump mengeluarkan Turki dari proyek jet tempur F-35 karena keputusan Ankara membeli sistem pertahanan rudal buatan Rusia. Trump bahkan mengancam akan menghancurkan perekonomian Turki.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan kepada CBS News pada Januari bahwa dia tidak yakin akan ada perbedaan antara kepresidenan Trump dan Biden. Dia berpendapat hubungan Rusia-AS telah memburuk sejak pemerintahan George W. Bush.

Zhao Minghao, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Fudan di Shanghai, menilai bahwa bagi China, baik Trump maupun Biden bak dua mangkuk racun.

Gift menambahkan peralihan ke dunia yang lebih terpecah akan terjadi terlepas dari apakah Donald Trump atau Joe Biden yang nantinya terpilih.

"Itu sebuah kenyataan," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini