Sukses

Jadi Ketua ASEAN 2023, Indonesia Harap Indikator Keberhasilan Tak Hanya Isu Myanmar

Dalam keketuaannya di ASEAN pada 2023, Indonesia memiliki tanggung jawab besar yakni krisis Myanmar.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memegang keketuaan ASEAN tahun 2023, di mana isu Myanmar menjadi fokus utama organisasi regional tersebut.

Pasalnya, kudeta militer yang berjalan di Myanmar sudah memasuki tahun kedua, dan selama itu pula ASEAN terus berupaya menengahi dan menemukan solusi demi menemukan titik penyelesaian krisis di negara tersebut. 

Dengan menjadi ketua ASEAN, negara anggota tentu memiliki harapan besar terhadap Indonesia. Namun, Indonesia sendiri ingin indikator keberhasilannya tidak hanya diukur dari isu Myanmar saja. 

"Tentunya harus sedari awal dipahami oleh masyarakat ASEAN pada umumnya, kita tidak mau setahun berjalan keketuaan kita, indikator pelaksanaan kita hanya pada isu Myanmar," ujar Teuku Faizasyah, Jubir Kementerian Luar Negeri usai acara PPTM, Rabu (11/1/2023). 

Sebagai latar belakang, tema keketuaan Indonesia adalah ASEAN Matters: Epicentrum of Growth.

"Dari dua frase tersebut, menjadi arah kerja yang kita lakukan, memastikan ASEAN tetap memiliki peranannya sebagai ASEAN Matters apakah dalam isu ekonomi, tadi disebutkan juga masalah politik dan lainnya," ujar Fauzasyah lagi. 

Faizasyah juga mengatakan bahwa Epicentrum of Growth berarti kemajuan ekonomi ASEAN harus terus dijaga dan para negara ASEAN berkontribusi bagi semua kemajuan di kawasan.

"Tadi Bu Menlu juga merujuk kepada berbagai indikator ekonomi anyg tetap menempatkan sebagai satu satunya pusat pertumbuhan ekonomi dunia," sambungnya lagi. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Konsensus Myanmar Belum Efektif

Sejauh ini Indonesia yang terus mendorong implementasi 5PC (Five points of consensus) antara lain melalui inisiasi Pertemuan Menteri Luar Negeri di Jakarta dan Phnom Penh serta Pertemuan pada tingkat Leaders di Phnom Penh.

Namun terkait isu ini, ASEAN juga kecewa atas implementasi 5PC yang belum menunjukkan kemajuan. 

"ASEAN kecewa terlepas semua upaya Ketua dan semua anggota ASEAN, implementasi 5PC oleh junta militer Myanmar tidak mengalami kemajuan signifikan," ujar Menlu Retno dalam pidatonya di PPTM 2023. 

Kendati demikian, Menlu Retno tetap mengapresiasi yang tinggi kepada Kamboja dalam menjalankan keketuaan ASEAN yang baik, termasuk upaya mendorong pelaksanaan 5PC untuk Myanmar. 

3 dari 4 halaman

Indonesia Gagap di Myanmar

Pakar hubungan luar negeri dari CSIS, Lina Alexandra, menyorot bahwa ASEAN memang gagap di masalah Myanmar. Ia pun menyorot potensi dari revisi Piagam ASEAN. 

"Untuk membuat ASEAN lebih relevan, lebih kredibel, dan sebagainya, terutama dalam menghadapi krisis-krisis internal dari ASEAN," ujar Lina Alexandra pada media briefing di markas CSIS, Jakarta.

Salah satu isi Piagam ASEAN adalah prinsip non-interference, sehingga ASEAN tak bisa ikut campur urusan internal suatu negara. Lina menyebut prinsip itu penting untuk hubungan luar negeri, namun perlu adanya mekanisme khusus untuk menangani krisis seperti di Myanmar. 

"Piagam ASEAN itu mencantumkan prinsip-prinsip ASEAN, democracy, rule of law, good governance, promotes and protection of human rights. Bagaimana kalau kemudian ada negara anggota yang secara jelas melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ASEAN. Apa yang kemudian dapat dilakukan?" jelas Lina.

Akibatnya, ketika ada pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional seperti di Myanmar, lantas "ASEAN gagap" karena tidak memiliki klausul khusus di piagamnya untuk menuntaskan krisis regional tersebut. 

 

4 dari 4 halaman

ASEAN Perlu Mekanisme Penuntasan Krisis Internal

 

Lebih lanjut, Lina menegaskan bahwa ASEAN perlu memiliki mekanisme untuk menuntaskan krisis internal pada anggotanya. Pasalnya, ini terkait dengan kredibilitasnya sebagai organisasi. 

Pada kasus Myanmar, Lina melihat bahwa ASEAN berusaha mengalihkan kasus ini kepada ASEAN Summit, tetapi itu tidak efektif. 

"Itu kan kita lihat menjadi sangat tidak efektif untuk menunjukkan relevansi ASEAN," ujar Lina.

Ia lantas menegaskan bahwa prinsip non-interference agar tetap menjadi suatu pegangan, namun perlu ada tools untuk menghadapi krisis di dalam negara anggota ASEAN.

"Prinsip non-interference sendiri tetap harus menjadi pegangan bersama. Tetapi ketika mengadapi suatu krisis regional yang sangat krusial yang mengancam kredibilitas, relevansi dari organisasi, nah ini bagaimana menghadapi hal-hal seperti itu? Bagaimana ASEAN bisa punya tools untuk itu? Dan itu tidak ada kita lihat," jelasnya.

Saat ini, ASEAN hanya memiliki mekanisme seperti settlement, namun Lina berkata itu hanya berlaku ketika ada masalah antar-negara, bukan krisis internal suatu negara. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.