Sukses

Indonesia Terima Keketuaan ASEAN 2023, Kemunduran Demokrasi Jadi Tantangan Utama

Menurut Wakil Indonesia untuk AICHR, Yuyun Wahyuningrum, tantangan terbesar Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 adalah kemunduran demokrasi, Selasa (13/12/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah menerima ASEAN Chairmanship atau Keketuaan ASEAN dari Kamboja akhir tahun ini. Setelah KTT G20, Indonesia akan memimpin rangkaian pertemuan tingkat regional di Asia Tenggara (ASEAN) selama setahun pada 2023.

Bagaimana Indonesia akan memimpin ASEAN cukup menjadi perbincangan yang hangat akhir-akhir ini, mengingat dunia – termasuk ASEAN – belum selesai menghadapi pasca-pandemi COVID-19 dan telah dihadapkan dengan berbagai krisis yang ada.

Menurut Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Yuyun Wahyuningrum, ada banyak tantangan yang dihadapi Indonesia.

"Tantangan terbesarnya adalah kemunduran demokrasi," ujar Yuyun dalam diskusi tentang Challenges and Opportunities for ASEAN Under Indonesia's Chairmanship (Tantangan dan Kesempatan ASEAN di bawah Keketuaan Indonesia) di Menara Batavia, Jakarta, Selasa 13 Desember 2022.

Dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesian Council on World Affairs (ICWA) kerja sama dengan Taipei Economic and Trade Office (TETO), Yuyun mengatakan bahwa pada 2022, demokrasi di Asia Tenggara mengalami kemunduran, terutama di Myanmar, Thailand, dan Kamboja.

Terlebih, menurutnya dampak pandemi COVID-19 dan keadaan darurat hak asasi manusia (HAM) – termasuk kemiskinan, terenggutnya hak-hak dasar di daerah konflik, atau adanya kebijakan neoliberal yang berlebihan – dapat memperparah situasi.

Akibatnya, pada 2023 demokrasi di kawasan Asia Tenggara seolah menjadi semakin kejam, ujar anggota badan konsultatif ASEAN di bidang HAM itu.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang dikhawatirkan terjadi tahun depan, termasuk pemilu dan perkembangan politik lainnya dapat semakin merugikan demokrasi di kawasan ASEAN (yang terjadi di Kamboja, Myanmar, dan Thailand), hilangnya ruang publik untuk pejuang HAM, dan kebebasan pers yang dikontrol.

Sepaham dengan Yuyun, pengurus ICWA Ibrahim Yusuf mengatakan, “Itu penting. Mempromosikan demokrasi, perlindungan HAM, dan pemerintahan yang baik.” Menurutnya, ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia harus memiliki strategi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Komitmen Indonesia untuk Promosi dan Pelindungan HAM melalui

Kendati demikian, Yuyun mengatakan bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk mempromosikan HAM yang secara tidak langsung tercantum dalam tema "ASEAN Matters: Epicentrum of Growth".

"Presiden Jokowi mengatakan pada bulan November bahwa ASEAN harus menjadi kawasan yang bermartabat, serta menegakkan nilai kemanusiaan dan demokrasi," ujar Yuyun.

Yuyun menjelaskan, menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan berarti ASEAN itu penting dan harus relevan untuk penduduknya, baik secara internal untuk orang-orang yang tinggal di Asia Tenggara, maupun secara eksternal di wilayah Indo Pasifik dan dunia.

"Dari perspektif hak asasi manusi, tema itu berarti ASEAN, di dalamnya ada AICHR – badan konsultatif ASEAN yang memiliki mandat di bidang perlindungan HAM – harus relevan dengan masyarakat, kawasan, dan sekitarnya," tambah Yuyun.

Dari perspektif HAM, ada beberapa kesempatan yang dapat dilakukan ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia. Di antaranya, memperkuat kapasitas AICHR untuk memajukan dan melindungi HAM.

"Inisiatif yang sudah dilakukan AICHR dan akan diteruskan, termasuk mekanisme komunikasi atau komplain dan dialog interaktif HAM, ASEAN Human Rights Dialogue yang sudah ada sejak 2013," ujarnya.

Kemudian, meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan dengan berbagai sektor melalui forum-forum dialog – termasuk antar negara ASEAN, antar badan kepengurusan ASEAN, dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau mitra lainnya seperti Uni Eropa.

"Dengan ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia sekarang, memiliki kesempatan untuk duduk dengan multi-stakeholders,” ujar Yuyun.

3 dari 4 halaman

Menjadikan HAM sebagai Arus Utama dalam Forum ASEAN dan Menghentikan Myanmar Junta

Sementara itu, AICHR juga berusaha mengarusutamakan HAM di ASEAN melalui Pengaturan Standar, di antaranya melalui ASEAN Framework on Environmental Rights dan ASEAN Blueprint Post-2025.

“Kita harus memastikan bahwa hak-hak dasar menjadi bagian kerangka kerja regional ASEAN secara inklusif di tahun-tahun berikutnya, khususnya HAM yang menjadi arus utama di tiga pilar ASEAN Community setelah 2025,” kata Yuyun.

Ia juga menyinggung bahwa Five Point Consensus harus lebih menggunakan perspektif HAM bukan hanya pendekatan politik dan diplomasi, serta ASEAN centrality harus menjadi relevan untuk penduduk ASEAN khususnya di Myanmar yang mencari demokrasi, HAM, penegakan hukum, dan keadilan.

Seorang dosen Hubungan Internasional di President University, Harryanto Aryodiguno juga mengungkapkan hal yang sama bahwa sentralitas ASEAN menjadi kunci untuk menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara.

“Inilah saatnya mengangkat hak asasi manusia di ASEAN, signifikansi tantangan HAM, termasuk krisis sosial dan ekonomi setelah COVID-19, khususnya krisis yang dialami penduduk Myanmar”, ujar Harryanto.

Ibrahim Yusuf menanggapi, “Kita tahu Myanmar Junta cukup bebal, keras kepala. Bagaimanapun, kudeta militer Myanmar harus dihentikan”.

4 dari 4 halaman

2.000 Pejuang Demokrasi di Myanmar Tewas Melawan Junta Militer

Sementara itu, bagaimana dengan kondisi Myanmar? Dua minggu lalu, sedikitnya 2.000 pejuang pro-demokrasi tewas di Myanmar dalam pertempuran melawan junta militer. Ini mendesak sekutu untuk memberikan bantuan militer.

Dilansir Channel News Asia, Kamis (1/12/2022), Duwa Lashi La, penjabat presiden Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), terdiri dari sisa-sisa pemerintahan pemimpin terguling Aung San Suu Kyi dan lainnya, berbicara pada konferensi Reuters NEXT dari lokasi yang dirahasiakan di Myanmar.

"Kami menganggap (kematian) sebagai harga yang harus kami bayar," kata Duwa Lashi La, seorang mantan guru dan pengacara berusia tujuh puluhan yang meninggalkan rumahnya di Negara Bagian Kachin di Myanmar utara bersama keluarganya.

Militer telah mencap dia dan rekan-rekannya sebagai teroris dan melarang warga berkomunikasi dengan mereka, tetapi pemerintah sipil paralel mereka mendapat dukungan luas. Kelompok bersenjata sekutu yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat itu pun telah muncul di seluruh negeri.

Duwa Lashi La telah digambarkan sedang mengunjungi pasukan, termasuk mantan pelajar dan profesional yang dibawa ke hutan oleh tindakan keras militer, mengenakan jaket antipeluru dan helm.

"Saya tidak tahu kapan saya akan menyerahkan hidup saya," katanya.

"Terserah kehendak Tuhan. Saya sudah berkomitmen untuk mengorbankan apapun untuk negara saya," katanya.

Selengkapnya klik di sini ...

 

Penulis: Safinatun Nikmah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.