Sukses

Kasus Bom Bali: Hambali Mulai Sidang di Guantanamo Bay

Dalang bom Bali, Encep Nurjaman (Hambali) mulai sidang di Guantanamo Bay.

, Guantanamo Bay - Dalang kasus bom Bali 1, yakni Encep Nurjaman (Hambali), mulai disidang di pangkalan militer Amerika Serikat di Guantanamo Bay. Pihak pengacara terdakwa meragukan peradilan ini bisa berjalan adil.

Dilaporkan ABC Australia, Selasa (31/8/2021), Encep diajukan ke meja hijau setelah ditahan tanpa tuntutan selama 18 tahun oleh militer AS. Ia diadili bersama dua warga Malaysia, Muhammad Nazir Lep dan Muhammad Farik Amin.

Serangan terorisme yang dilakukan kelompok Jamaah Islamiah di kawasan Kuta itu menewaskan 202 orang, 88 di antaranya warga Australia.

Ketiga terdakwa itu dihadirkan ke peradilan militer selama hampir lima jam, dengan dakwaan melakukan berbagai kejahatan termasuk pembunuhan, konspirasi, dan terorisme.

Terhambat oleh masalah penerjemah selama persidangan hari Senin, peradilan militer tidak dapat menyelesaikan pembacaan dakwaannya, dan diperkirakan akan dilanjutkan pada hari Selasa (31/08).

Persidangan ketiga terdakwa diperkirakan akan makan waktu bertahun-tahun sebelum vonis.

Peradilan kejahatan perang untuk ketiganya menghadapi banyak masalah yang sama dengan kasus tahanan Guantanamo lainnya yang tertunda selama bertahun-tahun.

Mulai dari bukti-bukti yang diperoleh melalui metode penyiksaan oleh badan intelijen CIA, serta tantangan hukum yang muncul dari penahanan selama hampir dua dekade tanpa tuduhan resmi.

"Kini sudah hampir 20 tahun kemudian, saksi-saksi telah meninggal, situasi telah berubah secara dramatis," kata Brian Bouffard, pengacara Muhammad Nazir Lep.

"Menurut pandangan saya, hal itu sangat fatal terhadap kemampuan menghadirkan pengadilan yang adil," ujar Brian kepada kantor berita AP.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Saat Joe Biden Ingin Tutup Guantanamo Bay

Persidangan ini dilaksanakan di tengah rencana Pemerintahan Joe Biden untuk menutup pusat penahanan Guantanamo Bay, yang hingga kini masih menahan 39 dari 779 orang yang ditangkap setelah serangan 11 September 2001 dan invasi AS ke Afghanistan.

Ketiga terdakwa sebelumnya ditahan di penjara rahasia CIA selama tiga tahun, menerapkan metode yang secara halus disebut oleh Pemerintah AS sebagai "interogasi yang ditingkatkan". Mereka selanjutnya dipindahkan ke Guantanamo Bay selama 15 tahun sampai sekarang. 

Menurut Brian Bouffard, keputusan mengadili ketiganya, yang dibuat oleh pejabat hukum Departemen Pertahanan AS pada akhir Pemerintahan Donald Trump, semakin membuat rumit upaya penutupan pangkalan Guantanamo Bay.

Pasalnya, kata Brian, Pemerintah AS akan cenderung untuk tidak membebaskan orang-orang yang menghadapi penuntutan aktif, bahkan setelah ditahan selama bertahun-tahun.

"Bahkan akan lebih sulit lagi setelah adanya dakwaan ini," katanya.

Dalam persidangan hari pertama kemarin, pengacara terdakwa menyebutkan bahwa para terdakwa tidak dapat memahami penerjemah mereka, yang berbicara secara terbata-bata dalam bahasa Inggris dan Bahasa Melayu.

Mereka juga mengungkapkan bahwa penerjemah lain yang bekerja dengan pihak jaksa penuntut telah ditugaskan membantu mereka saat bersiap menghadapi dewan pembebasan bersyarat di Guantanamo.

"Dia (penerjemah) memiliki informasi rahasia yang mungkin dia bagikan dengan jaksa penuntut sekarang," kata Christine Funk, pengacara terdakwa Muhammad Farik Amin.

Tim hukum Nazir Lep mengungkapkan pihaknya akan mengajukan bukti tertulis, berisi pernyataan penerjemah untuk terdakwa asal Indonesia, Encep Nurjaman, yang diduga telah mengatakan:

"Saya tidak tahu mengapa Pemerintah telah menghabiskan begitu banyak uang untuk teroris ini; mereka seharusnya dibunuh sejak lama."

3 dari 3 halaman

Pengacara dari Angkatan Laut

Hakim dalam persidangan ini, seorang komandan Angkatan Laut, mengatakan bahwa penerjemah memenuhi persyaratan, dan akan tetap melanjutkan persidangan dengan mempertimbangkan masalah yang diajukan oleh pihak pembela.

Encep Nurjaman diketahui sebagai salah satu pemimpin Jamaah Islamiah, sebuah kelompok militan Asia Tenggara yang memiliki hubungan erat dengan Al Qaeda.

Pemerintah AS menyatakan Encep alias Hambali berperan merekrut para militan, termasuk Nasir Lep dan Farik Amin, untuk melakukan operasi jihad.

Serangan yang dilakukan Al Qaeda dan Jamaah Islamiah termasuk bom bunuh diri pada Oktober 2002 di Paddy's Pub dan Sari Club di Bali, serta bom bunuh diri pada Agustus 2003 di Hotel Marriot Jakarta. 

Kedua serangan itu menewaskan 213 orang dan melukai 109 lainnya. Puluhan korban adalah turis asing, sebagian besar warga Australia.

Jaksa menuduh Nasir Lep dan Farik Amin bertindak sebagai perantara dalam transfer uang yang digunakan untuk mendanai operasional kelompok itu.

Menurut laporan Komite Intelijen Senat AS pada 2014, ketiga orang ini ditangkap di Thailand pada 2003 kemudian dipindahkan ke "tempat gelap" yang dioperasikan CIA, di mana mereka mengalami siksaan.

Pada tahun 2006, mereka dipindahkan ke Guantanamo Bay.

Tidak jelas mengapa butuh waktu begitu lama untuk mengajukan mereka ke pengadilan militer.

Pihak jaksa sebenarnya telah mengajukan ketiga terdakwa pada Juni 2017, namun pejabat hukum Pentagon yang mengawasi kasus-kasus Guantanamo menolak dakwaan tersebut dengan alasan yang belum diungkapkan kepada publik.

Kasus ini memiliki banyak elemen yang membuatnya jadi rumit, termasuk apakah pernyataan yang dibuat para terdakwa bisa dijadikan bukti di persidangan, mengingat siksaan yang mereka alami dalam tahanan CIA.

Selain itu, fakta-fakta bahwa sejumlah terdakwa kasus Bom Bali telah dihukum, dan bahkan menjalani hukuman mati di Indonesia, serta waktu yang begitu lama untuk mulai menyidangkan kasus ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.