Sukses

Terkait Perang Yaman, Malaysia Berencana Tarik Pasukan dari Arab Saudi

Malaysia mempertimbangkan menarik pasukan yang ditempatkan di Arab Saudi sejak meletusnya Perang Yaman 2015.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Pemerintah Malaysia, baru-baru ini, tengah mempertimbangkan untuk menarik personel angkatan bersenjata yang mereka tempatkan di Arab Saudi sejak meletusnya Perang Yaman pada 2015.

Negeri Jiran, pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, mengirim sejumlah personel militer guna membantu proses evakuasi warga Malaysia yang terjebak Perang Yaman dan pendistribusian bantuan humaniter bagi warga sipil terdampak konflik bersenjata.

Namun, sejumlah pihak sempat mendistorsi langkah itu, dengan menuding bahwa Malaysia sengaja terlibat dalam konflik geo-politik di Timur Tengah.

Meski Kuala Lumpur telah menjelaskan duduk perkara terkait pengiriman pasukan ke Yaman, beberapa pihak masih mempersoalkan kebijakan tersebut.

Menteri Pertahanan Malaysia kabinet PM Mahathir Mohammad --yang baru dilantik-- kini meluruskan kembali duduk perkara tentang pengiriman pasukan ke Arab Saudi.

"Malaysia tidak pernah terlibat dalam penyerangan kepada Yaman, yang juga merupakan negara muslim," kata Menhan Mohamad Sabu seperti dikutip dari The Star Malaysia, Kamis (21/6/2018).

"Kendati demikian, kehadiran ATM (Angkatan Tentera Malaysia) di Arab Saudi seakan-akan membuat Malaysia terlibat dalam konflik di Timur Tengah --yang sebetulnya tidak," tambahnya.

Sabu mengatakan bahwa pemerintah Malaysia saat ini juga tengah mempertimbangkan kembali mengenai kebijakan penempatan personel ATM di Arab Saudi.

Pada Mei 2015, Kepala Staf ATM Jenderal Zulkifeli Bin Mohd Zain dalam sebuah pernyataan tertulis mengatakan bahwa "Satu-satunya misi tentara kita di Arab Saudi adalah untuk memfasilitasi evakuasi yang aman dan lancar bagi warga negara Malaysia di Yaman." Demikian seperti dikutip dari The Diplomat.

Di sisi lain, media Iran Press TV pada 21 Juni 2018 melaporkan bahwa "sejumlah media Arab Saudi telah lama menyebut Malaysia sebagai satu dari 34 negara yang bekerjasama dengan Kerajaan Saudi untuk melawan terorisme."

Press TV juga melaporkan bahwa tentara Malaysia dan Arab Saudi berpartisipasi dalam latihan gabungan bernama Gulf Shield 1 di Damman pada April 2018.

Mengomentari hal itu Menhan Mohamad Sabu menegaskan bahwa Malaysia merupakan negara yang "menganut politik luar negeri bebas aktif dan tidak pernah berpihak kepada ideologi atau negara besar manapun."

Desakan Kelompok HAM di Malaysia

Pernyataan dari Menhan Mohamad Sabu muncul selang sehari usai kelompok pengacara hak asasi manusia di Malaysia, Lawyers for Liberty, mendesak Kuala Lumpur untuk "menghentikan keterlibatan ATM di Yaman" menyusul langkah koalisi Saudi-UEA menyerang Hodeida dari tangan kelompok pemberontak Houthi yang didukung Iran pekan lalu.

"Jika pasukan ATM benar-benar dikerahkan untuk membantu proses evakuasi warga negara Malaysia, seharusnya pekerjaan itu sudah selesai sekarang," kata Eric Paulsen, direktur eksekutif Lawyers for Liberty seperti dikutip dari New Strait Times.

"Dan, jika sudah selesai, tak perlu lagi personel Malaysia ditempatkan di sana selama tiga tahun lebih."

"Kecuali diamanatkan oleh Dewan Keamanan PBB, pasukan Malaysia seharusnya sudah tak punya kepentingan di Perang Yaman," tambahnya.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pertempuran di Hodeidah

Kabar itu muncul setelah koalisi Arab Saudi dan pemerintah Yaman melancarkan serangan udara atas bandara Hodeidah, Yaman, pada Minggu 17 Juni.

Serangan udara itu ditujukan untuk mendukung pasukan yang berusaha merebut kendali bandara Hodeidah dari gerilyawan Houthi sekutu Iran. Demikian seperti dikutip dari Antara.

Jet-jet tempur melancarkan lima serangan atas kota pelabuhan Hodeidah, yang memiliki arti strategis bagi jutaan warga Yaman, demikian laporan kantor berita resmi Houthi, SABA.

Televisi milik Saudi Al Arabiya juga melaporkan serangan-serangan atas bandara itu.

Pasukan darat, temasuk tentara Uni Emirat Arab, Sudan dan Yaman dari berbagai faksi, mengepung kompleks bandara utama tersebut pada Sabtu, 23 Juni 2018, kata sebuah sumber di militer Yaman yang bersekutu dengan koalisi.

Tujuan utama dari sekutu, pimpiunan UEA, ialah mengalahkan pengikut Houthi di Hodeidah, satu-satunya pelabuhan di Laut Merah di bawah kekuasaan mereka, dan memutus jalur pasokan mereka ke Sanaa, ibu kota Yaman.

Uni Emirat juga menjelaskan bahwa operasi militer itu dirancang untuk membantu utusan khusus PBB ke Yaman, Martin Griffiths, guna membujuk Houthi agar menghentikan perlawanan dan bersedia melakukan perundingan.

"Kami berada pada titik balik, karena selama Houthi memegang Hodeidah, mereka akan terus menghalangi proses politik," kata Anwar Gargash, menteri luar negeri UEA via Twitter, seperti dikutip dari Arab News.

"Kami sangat yakin bahwa pembebasan Hodeidah akan mendorong Houthi kembali ke meja perundingan."

Orang-orang Hodeidah tidak ingin diperintah oleh "ekstremis yang didukung Iran," katanya. "Kami akan terus berfokus pada dua tujuan utama kami; melindungi aliran bantuan kemanusiaan dan melindungi warga sipil."

Militer Yaman mengatakan sekitar 500 Houthi tewas dalam pertempuran untuk Hodeidah, yang merupakan jalur pasokan bantuan penting, tetapi juga saluran untuk pasokan senjata Iran kepada militan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.