Sukses

Minta Rencana PPN 12% di 2025 ditunda, Faisal Basri: Rasa Keadilannya di Mana?

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengusulkan agar kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen di 2025 ditunda.

Liputan6.com, Jakarta Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengusulkan agar kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen di 2025 ditunda.

"Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang. Kalau PPH Masih suka nilep-nilep kan kalau PPN itu kan setiap transaksi," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7/2024).

Dalam kesempatan itu, Faisal juga menyoroti terkait pemberian insentif yang dilakukan Pemerintah kepada para pengusaha, seperti tax holiday, tax deductible, hingga insentif mobil listrik.

Menurutnya, pemberian insentif tersebut tidak sejalan dengan tarif PPN yang justru dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat.

"Jadi, ya tinggal yang mau diutamakan itu demi investasi omnibuslaw memberikan fasilitas yang namanya tax holiday, tax deductible, super tax deductible segala macem gitu kan malah disubsidi, mobil listrik kan Rp40 juta per mobil kaya gitu," ujarnya.

"Sementara PPN yang mengenai seluruh rakyat dinaikkan, rasa keadilannya dimana. Tapi demi investasi semua itu, makin gelap mata," tambahnya.

Sebagaimana ketetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen sebelum 1 Januari tahun 2025.

Sebagai informasi, tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025.

2 dari 4 halaman

Kenaikan PPN jadi 12% di Tangan Prabowo-Gibran

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyerahkan sepenuhnya rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 ke pasangan presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Hal ini disampaikan Sri Mulyani saat menjawab pertanyaan awak media terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen.

"Pertanyaan mengenai PPN Saya sudah sampaikan, sekali lagi saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (24/6).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Airlangga mengatakan aturan untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

 

3 dari 4 halaman

Tarif PPN

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP,  tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.

Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya. Dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025 bulan depan.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN (12 persen),” kata Menko Airlangga.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

4 dari 4 halaman

Sri Mulyani Tolak Target Rasio Pajak 23%

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati keberatan menyusun peta jalan (roadmap) untuk mencapai target rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 23 persen pada 2025.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang tengah fokus melakukan reformasi. Dengan menekankan kepada berbagai upaya seperti integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, hingga meningkatkan tax ratio.

"Namun kami tidak secara spesifik apalagi sampai angka 23 persen. Jadi kami mohon mungkin angka 23 di-drop saja, karena saya takut menimbulkan suatu signaling yang salah," tegas Sri Mulyani, dikutip Kamis (13/6/2024).

Sebab, melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah telah menargetkan rasio pajak 10,09-10,29 persen terhadap PDB di tahun depan.

"Kami khawatirkan kalau seandainya ditulis seperti ini (rasio pajak 12-23 persen terhadap PDB), seolah-olah sudah ada roadmap yang nanti akan dibahas kembali pada nota keuangan tahun 2025," tegas Sri Mulyani.

Target Rasio Pajak

Oleh karenanya, Sang Bendahara Negara khawatir jika target rasio pajak 23 persen itu justru menimbulkan kesalahpahaman. Ia pun tak ingin hal tersebut malah membebankan menteri keuangan di periode berikutnya.

"Kami mengikuti apa yang ditulis di KEM-PPKF. Jadi supaya tidak menimbulkan misleading, karena ini kan nanti jadi sesuatu kesimpulan yang mengikat, dan oleh Menteri Keuangan selanjutnya tentu ini menjadi sesuatu yang harus di-deliver," tutur Sri Mulyani.