Sukses

Eks Mendag Mari Pangestu: Negara Berkembang Butuh USD 1 Triliun untuk Transisi Energi

Mantan Mendag Mari Pangestu mengungkapkan bahwa kurangnya dana persulit negara berkembang untuk beralih ke energi bersih.

Liputan6.com, Jakarta Negara-negara berkembang akan membutuhkan dana lebih dari USD 1 triliun setiap tahunnya untuk membuat kemajuan signifikan dalam transisi energi.

Hal itu diungkapkan oleh Mari Pangestu, mantan menteri perdagangan dan pariwisata Indonesia sekaligus pejabat Bank Dunia.

"Perkiraannya sekitar USD 1 (triliun) hingga USD 3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang untuk dapat melakukan transisi," kata Pangestu, seperti dikutip dari CNBC International, Senin (7/8/2023).

Pangestu mengatakan kepada CNBC Squawk Box Asia, bahwa kurangnya dana telah mempersulit negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon tinggi mereka dan beralih ke energi bersih.

Hal ini menyebabkan ketegangan antara negara berkembang dan negara maju, yang mendorong lebih banyak kemajuan dalam isu terkait iklim.

"Perdebatan ini akan berlanjut kecuali negara-negara maju dapat melihat bahwa ini adalah tentang pembangunan dan iklim – bukan hanya tentang iklim," jelasnya.

"Dan itu telah menjadi sumber ketegangan. Anda tidak dapat memisahkan keduanya. Kata kunci sebenarnya adalah – transisi. Bagaimana Anda beralih dari emisi tinggi sekarang ke energi bersih? Itu akan membutuhkan kita untuk memiliki sumber daya," imbuh Pangestu.

Dilaporkan sebelumnya, pembicaraan iklim pada akhir Juli lalu ditutup tanpa konsensus tentang hal-hal penting untuk mengatasi krisis, seperti masalah pembiayaan untuk mendukung negara-negara berkembang,.

Menteri perubahan iklim India Bhupender Yadav, yang memimpin pertemuan tersebut, pun mengakui adanya beberapa masalah tentang isu energi, dan beberapa masalah berorientasi target dalam diskusi tersebut.

Pertemuan iklim bulan Juli dipandang sebagai kesempatan untuk mengambil langkah konkret menjelang pertemuan para pemimpin negara G20 pada bulan September di New Delhi dan KTT COP28 di Uni Emirat Arab pada bulan Desember mendatang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Butuh Upaya besar

"Eropa dan Afrika Utara terbakar, Asia dilanda banjir, namun menteri iklim G20 gagal menyepakati arah bersama untuk menghentikan krisis iklim yang meningkat dari hari ke hari," ujar Alex Scott, dari lembaga think-tank perubahan iklim E3G.

Pangestu melihat, ada skala dan urgensi untuk mengatasi krisis iklim. Tetapi langkah itu membutuhkan upaya yang lebih besar dari semua pemangku kepentingan.

"Sebagian dari itu harus berasal dari sumber daya negara sendiri," ungkapnya.

"Sebagian juga harus datang dari bank pembangunan multilateral dan sumber lain, yang akan mengurangi biaya dan risiko – sehingga Anda bisa mendapatkan sektor swasta untuk terlibat," jelas Pangestu.

3 dari 3 halaman

Negara Berkembang Perlu Dukungan

Pangestu berpendapat bahwa jika negara-negara maju ingin beralih dari bahan bakar fosil dan menghentikan pembangkit batubara lebih awal, lebih banyak dukungan harus diberikan kepada negara-negara berkembang.

"Apa yang telah dilakukan Afrika Selatan dan Indonesia baru-baru ini dalam masalah khusus ini adalah mengatakan: 'Tidak apa-apa, Anda ingin kami keluar lebih awal' — tetapi siapa yang akan mendanai biaya untuk keluar lebih awal?," ujarnya.

"Ini adalah perusahaan swasta, Anda juga harus memberikan kompensasi kepada mereka. Ada masalah hukum, masalah keuangan. Jadi di sinilah kita harus benar-benar masuk ke dalam kebijakan dan reformasi," jelas Pangestu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.