Sukses

Kata Pedagang Kaki Lima dan Sektor Periklanan Soal Rencana Revisi PP Tembakau

Penolakan wacana revisi PP 109/2012 tidak hanya dilakukan oleh pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), tapi juga oleh pengusaha iklan dan perkumpulan pedagang kaki lima.

Liputan6.com, Jakarta Penolakan wacana revisi PP 109/2012 tidak hanya dilakukan oleh pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), tapi juga oleh pengusaha iklan dan perkumpulan pedagang kaki lima. Rencana revisi PP 109/2012 ini disinyalir akan mengancam pendapatan pengusaha iklan dan pedagang kaki lima.

Sebelumnya, 27 komunitas yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil juga menyampaikan penolakannya terhadap wacana larangan penjualan rokok batangan.

Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia Semesta (KERIS), Ali Mahsun, sebagai bagian dari ke-27 komunitas tersebut mengatakan larangan penjualan rokok batangan akan memberatkan para pedagang kecil. Pasalnya, banyak pedagang yang mengandalkan pendapatan dari penjualan rokok secara batangan.

“Usulan larangan ini dapat merenggut hak warga negara pelaku ekonomi rakyat untuk mencari penghasilan, menafkahi keluarga, dan membesarkan generasi penerusnya. Pemerintah harus lebih realistis dan strategis untuk menanggapi masalah ini,” ujar Ali dikutip Kamis (16/3/2023).

Ketua Paguyuban Warung Kopi Surabaya Husin Ghozali mengatakan menjual rokok secara batangan dapat menopang usaha selama ini, oleh karenanya, pihaknya menolak rencana revisi PP 109/2012.

“Margin yang kita dapat dari jual rokok per bungkus berbeda dibandingkan per batang , keuntungannya jauh. Jual rokok per bungkus bagi kami itu gak masuk akal, tapi sebagai warung kopi itu gak bisa lepas dari penjualan rokok,” papar Husin.

Sementara itu, Pengurus Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Jawa Timur Agus Wiyono mengatakan larangan iklan rokok pada poin revisi PP tersebut akan mengancam keberlangsungan usaha periklanan terutama di daerah. Dalam catatan Agus, pemasukan dari iklan rokok mencapai hingga Rp 28 triliun di tahun 2022.

“Mewakili teman-teman periklanan dan kreatif, kami sepakat untuk menolak revisi PP 109/2012. Intinya bahwa kami bersama masyarakat tembakau Indonesia menolak revisi tersebut,” ujar Agus dalam agenda Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan baru-baru ini.

Agus juga menjelaskan selama ini pelaku industri periklanan maupun industri rokok telah mematuhi aturan periklanan yang ditetapkan dan mematuhi jam tayang. Menurutnya, revisi PP 109/2012 tidak diperlukan seiring dengan kepatuhan pengusaha terhadap aturan yang ada saat ini.

“Klaim iklan membuat banyak anak merokok sebenarnya tidak juga. Iklan itu selalu melakukan survei target pasar siapa,” paparnya.

Selain pengusaha di sektor periklanan, penolakan revisi PP 109/2012 juga terus berdatangan dari kalangan pedagang kecil. Khususnya, poin larangan penjualan rokok batangan yang dapat mengancam pendapatan pedagang kecil.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pekerja Industri Rokok Tolak Revisi Aturan Produk Tembakau

Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menegaskan kembali penolakannya terhadap rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Rencana revisi ini dinilai akan mengancam kesejahteraan pekerja yang menggantungkan penghidupan pada industri tembakau yang selama ini menjadi sawah ladang bagi mereka.

E Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menjelaskan rencana revisi tersebut merampas hak-hak pekerja.

“Sesuai Pasal 17 UUD 1945 setiap warga negara Indonesia berhak atas jaminan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Revisi PP 109/2012 berdampak kepada keberlangsungan industri, sehingga dapat menjadi sebuah pelanggaran terhadap hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi pekerja. Sebagai serikat yang menaungi sekitar 227.000 pekerja, FSP RTMM-SPSI akan membela industri tembakau untuk memastikan kesejahteraan anggotanya,” ujarnya Selasa (14/3/2023).

Sudarto melanjutkan, sebanyak hampir 144.000 anggota RTMM adalah pekerja di industri tembakau yang turut berkontribusi dalam pembangunan nasional.

"Kami berhak atas jaminan kepastian dan kelangsungan industri agar bisa ikut terus berperan dan berkontribusi terhadap perekonomian dan pembangunan nasional ke depannya,” paparnya.

 

3 dari 3 halaman

Poin Usulan

Revisi PP 109/2012 memiliki poin-poin usulan yang eksesif dan meresahkan bagi pekerja sebagai bagian dari industri. Dikhawatirkan, revisi PP 109/2012 akan memicu badai PHK besar di industri tembakau dan dampaknya meluas, termasuk akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional hingga kondisi sosial masyarakat.

Padahal, perekonomian sedang membaik saat ini. Apalagi mengingat terdapat keterbatasan lapangan kerja dan telah terjadi ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Industri tembakau selama ini memiliki peran yang besar dalam menyerap tenaga kerja, termasuk bagi yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.

“Sejauh ini tidak ada alternatif lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang sama seperti industri rokok dan mampu memberikan kesejahteraan yang sama. Kenyataannya  petani/buruh tani dan pekerja industri pabrik rokok semakin termarginalkan, menjadi korban dan pihak yang dikorbankan tidak berdaya serta tidak diperhatikan kelangsungannya,” tegasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.