Sukses

Demi Bantuan IMF, Negara Ini Naikkan Tarif Listrik hingga 275 Persen

Dilanda utang besar, Sri Lanka menaikkan tarif konsumen hingga 275 persen. Hal ini dilakukan demi memperoleh dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF).

Liputan6.com, Jakarta Sri Lanka melakukan langkah drastis demi memperoleh dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF).

Melansir AFP, Senin (20/2/2023) Dewan kelistrikan Sri Lanka menaikkan tarif listrik konsumen hingga 275 persen, kenaikan tajam kedua dalam beberapa bulan karena krisis ekonomi dan tengah berusaha mendapat dana talangan IMF.

"Kami harus menaikkan biaya listrik agar sesuai dengan ketentuan IMF bahwa kami tidak bisa mendapatkan bantuan dari bendahara," kata menteri energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera.

"Kita perlu menghasilkan pendapatan untuk menutupi biaya kita," tambahnya.

Rumah tangga di Sri Lanka sekarang akan membayar setidaknya 30 rupee per kilowatt-jam untuk listrik, angka yang sejalan dengan tarif rata-rata di negara tetangga India.

Kenaikan tarif terendah 275 persen itu menyusul kenaikan 264 persen yang mulai berlaku enam bulan lalu.

Konsumen dengan penghasilan yang lebih besar juga telah dinaikkan tarifnya sebesar 60 persen setelah kenaikan 80 persen di bulan Agustus 2022.

Kenaikan Tarif Listrik

Wijesekera mengatakan kenaikan tarif listrik akan memungkinkan untuk mengakhiri pemadaman harian 140 menit yang saat ini berlaku di negara itu.

"Dengan pendapatan yang meningkat, kami akan dapat membeli bahan bakar yang diperlukan untuk memastikan listrik tidak terputus mulai hari ini," jelasnya.

Krisis keuangan di Sri Lanka, yang belum pernah terjadi sebelumnya tahun lalu membuat 22 juta orang di negara itu mengalami kekurangan makanan dan bahan bakar, bersama dengan pemadaman listrik yang berkepanjangan.

Seperti diketahui, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya sebesar USD 46 miliar atau Rp. 697,6 triliun dan sedang berupaya menyelesaikan kesepakatan paket bantuan dari IMF. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pakistan Krisis Ekonomi, Kini Jadi Pasien IMF

Pakistan tengah dilanda krisis ekonomi, salah satunya termasuk krisis neraca pembayaran.

Melansir CNN Business, Jumat (3/2/2023) krisis itu didorong oleh besarnya biaya belanja untuk aktivitas perdagangan. Namun besarnya dana yang dkeluarkan tidak menghasilkan keuntungan. 

Mata uang Pakistan, rupee, baru-baru ini turun ke posisi terendah terhadap dolar AS setelah pihak berwenang negara itu melonggarkan kendali mata uang untuk memenuhi salah satu persyaratan pinjaman IMF.

Pakistan sementara itu juga dilaporkan menolak usulan dari IMF, salah satunya pelonggaran subsidi BBM, karena akan menyebabkan lonjakan harga baru dalam jangka pendek.

Pemerintahan Perdana Menteri Shehbaz Sharif juga tengah mengupayakan kesepakatan pembiayaan darurat miliaran dolar dari Dana Moneter Internasional (IMF).

IMF pun telah mengirim delegasi untuk melakukan pembicaraan dengan Pakistan terkait bantuan tersebut.

“Kami membutuhkan persetujuan IMF untuk dilaksankannya (bantuan) sesegera mungkin agar kami dapat menyelamatkan (ekonomi)," kata Maha Rehman, seorang ekonom dan mantan kepala analitik di Pusat Riset Ekonomi di Pakistan.

Selain itu, Pakistan juga menghadapi lonjakan inflasi. Bank sentral negara itu telah menaikkan suku bunga utamanya menjadi 17 persen dalam upaya untuk menekan inflasi konsumen tahunan yang hampir mencapai 28 persen.

Belum lagi, Pakistan beberapa waktu lalu dilanda oleh bencana banjir terbesar dalam sejarahnya, juga pemadaman listrik yang luas, menyebabkan tagihan besar untuk rekonstruksi dan bantuan.

Bank Dunia memperkirakan bahwa negara itu memerlukan setidaknya dana USD 16 miliar untuk mengatasi kerusakan dan kerugian.

Namun kondisi global juga memperburuk situasi. Perlambatan ekonomi telah membebani permintaan ekspor Pakistan, sementara nilai dolar AS tahun lalu menambah tekanan pada negara-negara yang mengimpor makanan dan bahan bakar dalam jumlah besar. 

3 dari 4 halaman

Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan Sudah Jadi Pasien IMF, Siapa Menyusul?

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa tiga negara Asia Selatan telah menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF). Ketiga negara tersebut adalah Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan.

Sri Mulyani menjelaskan, tiga negara Asia Selatan tersebut tengah menghadapi kondisi terlilit utang dalam jumlah besar. Rasio utang negara telah memasuki kondisi stress debt. Oleh karena itu, ketiga negara tersebut meminta bantuan kepada IMF.

"Bank Sentral India mengatakan negara-negara di sekitar Asia Selatan semuanya dalam kondisi stress debt. Bangldesh, Sri Lanka, Pakistan semuanya masuk pasien IMF," kata dia saat memberikan sambutan di acara CEO Banking Forum di Jakarta, Senin (9/1/2023).

Tak hanya itu, negara-negara timur tengah seperti mesir juga akan menghadapi situasi yang tidak mudah. Utamanya dalam hal impor bahan bakar.

Mantan Direktur Pelaksana Dunia ini menyebut terdapat 63 negara dunia dalam kondisi memiliki rasio utang yang tinggi atau tidak suistainable. Oleh karena itu setiap negara harus bisa mengendalikan tingkat inflasi di tahun ini.

Alasannya, menaikkan suku bunga dalam kondisi seperti ini kan memberikan dampak yang lebih besar. Tidak hanya menimbulkan resesi tetapi bisa menimbulkan krisis utang.

"Jadi hal ini menjadi satu kewaspadaan, 2023 menang prediksi dari lembaga-lembaga global mengenai dunia kurang menggembirakan. Bukan hanya inflasi dan kemungkinan resesi, kemungkinan juga akan ada masalah dengan debt suistainability di berbagai dunia," kata dia.

Sri Mulyani mengatakan proyeksi ekonomi yang dirilis IMF juga perlu menjadi perhatian. Sebab tahun 2023, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan hanya tumbuh 2,7 persen. Angka ini lebih rendah dari proyeksi yang dilakukan sejak tahun 2021 yang diramal tumbuh 6 persen dan tahun 2022 yang hanya mampu tumbuh 3,2 persen.

"Jadi bisa kita lihat bagaimana turunnya pertumbuhan ekonomi dunia," kata dia.

4 dari 4 halaman

IMF Ramal Sepertiga Ekonomi Dunia Bakal Resesi di 2023

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa sepertiga dari ekonomi global akan mengalami resesi tahun ini.

"Kami memperkirakan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami resesi," kata Georgieva, dikutip dari BBC, Selasa (3/1/2023).

"Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," ujarnya dalam program berita CBS Face the Nation.

Georgieva sebelumnya juga sudah mengatakan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang "lebih sulit" daripada tahun lalu karena Amerika Serikat, Eropa, dan China melihat perlambatan ekonomi.

Perlambatan ini didorong sejumlah isu global yang membebani ekonomi global, salah satunya adalah perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, suku bunga yang tinggi, dan penyebaran Covid-19 di China.

Georgieva pun memperingatkan bahwa China, yang merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia, akan menghadapi awal tahun 2023 yang sulit.

"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, pertumbuhan global juga bisa negatif," sebutnya.

Tak hanya negara Barat, Komentar Georgieva juga tidak terkecuali bagi negara Asia yang mengalami tahun yang sulit di 2022.

IMF pada Oktober 2022 telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2023 ini. Penurunan proyeksi IMF didorong oleh perang di Ukraina yang berkepanjangan serta suku bunga yang tinggi di berbagai bank sentral di seluruh dunia untuk mengendalikan inflasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.