Sukses

Menko Airlangga: Pajak Karbon Mulai Diterapkan 2025

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kebijakan pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025 mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjawab rasa penasaran publik terkait waktu penerapan pajak karbon. Pasalnya, pemerintah telah menunda penerapan kebijakan ramah lingkungan tersebut sebanyak dua kali di tahun 2022 ini.

Menko Airlangga menyampaikan, kebijakan pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025 mendatang. Meski begitu, Airlangga tidak menyebut alasan pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan pajak karbon sampai tiga tahun mendatang itu.

"Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025," kata Menko Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022 (CMSE 2022) di Jakarta, Kamis (13/10).

Selain pajak karbon, pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya berbasis listrik di sektor industri. Hal ini demi mempercepat terwujudnya green industry di Indonesia.

Menko Airlangga berharap, penerapan sejumlah kebijakan tersebut akan membantu pemerintah dalam mencapai target emisi nol persen atau net zero emission pada 2060 mendatang. Menyusul, kian berkurangnya pemanfaatan sumber energi berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.

"Di sektor energi terbarukan pemerintah terus untuk penyediaan tenaga listrik untuk green economy," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ini Alasan Pemerintah Tunda Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan pajak karbon untuk sektor PLTU batu bara yang seharusnya mulai berlaku pada 1 April 2022. Pengenaan pajak untuk menurunkan emisi karbon ini ditunda pelaksanaannya hingga 1 Juli 2022 mendatang.

"Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022. Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Jakarta, Jumat (1/4).

Dia menjelaskan, saat ini pihaknya sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon. Mulai dari tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.

Agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021. Antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

"Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim," kata Febrio.

Dia melanjutkan, proses penyusunan peta jalan (roadmap) pajak karbon perlu memperhatikan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon di antaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.

"Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi," tutupnya.

 

 

3 dari 4 halaman

Sri Mulyani Hitung Ulang Waktu Tepat Terapkan Pajak Karbon

Pemerintah menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua penerapan pajak karbon di tahun ini setelah sebelumnya juga ditunda pada April 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih menghitung eaktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon guna mendorong seluruh kegiatan ekonomi rendah emisi.

“Rencana ini perlu terus dikalibrasi ulang, mengingat keadaan masih rentan, pemulihan ekonomi kita masih sangat rapuh, terutama karena pandemi dan sekarang dilanda krisis energi dan pangan,” katanya dikutip dari Belasting.id, Rabu (14/9/2022).

Sri Mulyani menjelaskan instrumen atau kebijakan pajak karbon tidak berdiri sendiri, melainkan terbentuk dari paket kebijakan yang komprehensif.

Itu mencakup aturan pelaksanaan perdagangan karbon, tarif karbon, serta metode pengenaan pajak karbon. Tujuannya sama, untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong lebih banyak ekonomi hijau.

Kendati pajak karbon belum diterapkan, Sri Mulyani menuturkan pemerintah telah menyediakan kebijakan yang relevan untuk menciptakan lingkungan hijau rendah karbon bagi sektor manufaktur.

Dia mencontohkan ada peraturan pemerintah (PP) No.73/2019 stdd PP No.74/2021 yang mengatur tentang pajak penjualan atas barang mewah berupa kendaraan bermotor.

Melalui aturan itu, kata Sri Mulyani, pajak dikenakan pada kendaraan sesuai kapasitas silinder atau CC. Dimana semakin tinggi CC-nya dianggap semakin mewah dan pajak yang dikenakan lebih tinggi.

Menkeu menambahkan tidak hanya menilik kapasitas mesin kendaraan, apabila kendaraan tersebut semakin berpolusi maka tarif yang dikenakan juga semakin tinggi. Berbeda dengan kendaraan listrik atau battery electric vehicle (BEV) yang dikenakan pajak penjualan 0 persen.

Sekedar informasi, penerapan pajak karbon dituangkan dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang seharusnya sudah dieksekusi pada bulan Juni 2022.

4 dari 4 halaman

Usai PLTU, Pajak Karbon Bakal Menyasar Sektor Transportasi

Pajak karbon yang tadinya bakal diterapkan pada 1 Juli 2022 kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri dalam menerapkan pajak karbon.

Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama. Ke depan setelah PLTU batu bara, pajak karbon bakal menyasar ke sektor transportasi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meminta masyarakat menggunakan sumber energi bersih untuk kebutuhan transportasi dengan berevolusi dalam kendaraan bermotor. Jika saat ini dominasi kendaraan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan akan didorong bergeser menggunakan sumber energi listrik.

Pergeseran pola transportasi dibutuhkan dalam jangka panjang. Pasalnya, harga energi fosil akan makin mahal dan ditambah potensi bertambahnya beban pajak untuk penggunaan energi tidak terbarukan.

"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar menjadi berlistrik. Apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi ke depannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (6/9/2022).

Oleh karena itu, Menteri ESDM mendukung penuh upaya transisi kendaraan bermotor menjadi berbasis baterai listrik.

Menurutnya, pemerintah membuka kesempatan kepada semua pihak dalam upaya transisi energi ramah lingkungan. Hal tersebu berlaku pada sektor transportasi seperti mobil listrik atau motor listrik.

"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik," terangnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.