Sukses

Covid-19 Redam Permintaan, Jualan Starbucks hingga Adidas Anjlok di China

Merk-merk global, mulai dari Starbucks hingga Adidas melaporkan penurunan penjualan di China karena terdampak lockdown Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Merk-merk global yang menjual perhiasan hingga pakaian mengalami penurunan penjualan di China, karena lockdown Covid-19 meredam permintaan konsumen di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Dilansir dari South China Morning Post, Starbuks menjadi franchise kopi yang paling terdampak lockdown Covid-19 di China. Franchise asal Amerika Serikat itu melaporkan penurunan penjualan lebih dari 40 persen pada kuartal ketiga 2022.

Seperempat gerai Starbucks di China pun ditutup karena terdampak kebijakan nol-Covid-19, dan 940 gerai lainnya.

Kemudian ada merk fashion mewah asal Inggris, Burberry hingga Richemont dan Adidas yang masing-masing melaporkan setidaknya penurunan 35 persen dalam kuartalan terbaru mereka.

Kering, perusahaan yang menaungi Gucci, juga mengalami penurunan lebih dari 30 persen di China. Namun Yum China Holdings dan Uniqlo bernasib sedikit lebih baik, dengan penurunan masing-masing sekitar 13 persen.

Sementara itu, Apple mencatat kemajuan terbaik di antara merk-merk asing di China, dengan penjualan tergelincir hanya 1,1 persen pada kuartal ketiga 2022, meskipun perusahaan memang menawarkan penjualan langka dari beberapa produk iPhone terbaru dan aksesori terkait bulan lalu.

Meski sudah ada beberapa peningkatan permintaan sejak melonggarnya pembatasan, gejolak ekonomi di wilayah China lainnya masih dirasakan, karena masih diberlakukan aturan ketat pada aktivitas luar ruangan yang menghambat  penjualan ritel.

Pimpinan Starbucks China, yakni Belinda Wong menggambarkan kuartal saat ini sebagai situasi yang cukup sulit, dengan pembatasan mobilitas dan lockdown Covid-19 diterapkan lebih cepat.

Namun, raksasa kopi global itu bersikeras bahwa mereka memiliki kepercayaan jangka panjang di China, yang merupakan pasar konsumen terbesar di dunia.

Ms Wong mengatakan dia sangat percaya diri tentang potensi pasar di China, di mana pertumbuhan akan meningkat setelah semua pembatasan terkait Covid-19 dicabut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Covid-19 Hambat Ekonomi China, Perusahaan Kakap Alibaba dan Tencent Perketat Pinggang

Perusahaan e-commerce terbesar di China, Alibaba dan media sosial Tencent merasakan efek dari perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh wabah terbaru Covid-19 di China, yang berdampak pada belanja konsumen hingga anggaran iklan.

Kedua perusahaan besar itu melaporkan perlambatan pendapatan untuk pertama kalinya di kuartal kedua 2022. 

Dilansir dari CNBC International, Senin (22/8/2022) Tencent membukukan penurunan pendapatan kuartalan year-on-year untuk pertama kalinya.

Karena pendapatan tetap berada di bawah tekanan, baik Alibaba maupun Tencent disebut lebih disiplin saat ini dalam pendekatan mereka terhadap pengeluaran.

"Selama kuartal kedua, kami secara aktif keluar dari bisnis non-inti, memperketat pengeluaran pemasaran kami, dan memangkas biaya operasional," ungkap CEO Tencent Ma Huateng kepada analis.

"Ini memungkinkan kami untuk meningkatkan pendapatan secara berurutan meskipun dalam kondisi yang sulit," jelasnya. 

Adapun Presiden Tencent Martin Lau yang mengatakan bahwa perusahaannya keluar dari bisnis non-inti seperti pendidikan online, e-commerce, dan game dari layanan streaming langsung.

Perusahaan juga memperketat pengeluaran pemasaran dan mengurangi area investasi yang rendah seperti akuisisi pengguna. Beban penjualan dan pemasaran Tencent turun 21 persen YoY di kuartal kedua.

Jumlah karyawan perusahaan yang berkantor pusat di Shenzhen juga turun hingga 5.000 personel dibandingkan kuartal pertama.

Sementara itu, Chief strategy officer di Tencent yakni James Mitchell meyakini bahwa dengan inisiatif ini ditambah investasi di area baru, perusahaan dapat "mengembalikan bisnis ke pertumbuhan pendapatan year-on-year, bahkan jika lingkungan makro tetap seperti sekarang ini dan bahkan jika pertumbuhan pendapatan tetap datar".

3 dari 4 halaman

Covid-19 Hambat Ekonomi China, Alibaba Potong Biaya Pengeluaran

Sementara itu Alibaba juga melakukan pemotongan biaya pengeluaran awal tahun ini, ketika penyebaran Covid-19 masih menghantui China.

"Pada kuartal mendatang dan sisa tahun fiskal ini, kami akan terus mengejar strategi optimalisasi biaya dan pengendalian biaya," ungkap Toby Xu, chief financial officer di Alibaba, selama pembicaraan soal pendapatan perusahaan bulan ini.

Toby Xu juga mengatakan raksasa e-commerce China itu telah berupaya memperkecil kerugian di beberapa bisnis strategisnya.

Profesor hukum di New York University, Winston Ma mengatakan kepada CNBC melalui pesan email bahwa Alibaba dan Tencent perlu mengambil tindakan penyeimbangan yang rumit untuk meyakinkan investor bahwa meskipun biaya sedang dipotong, mereka masih berinvestasi di masa depan.

"Bagi mereka untuk kembali ke jalur pertumbuhan pendapatan, optimalisasi biaya saja tidak cukup. Mereka perlu menemukan pendorong pertumbuhan baru," ucap Winston Ma.

Alibaba telah berfokus untuk meningkatkan bisnis komputasi awannya, sebuah area yang diyakini oleh para eksekutif dan investor sebagai kunci untuk profitabilitas yang lebih baik di perusahaan di masa depan.

Cloud pun menjadi area dengan pertumbuhan pendapatan tercepat di Alibaba pada kuartal kedua 2022.

Sementara itu, Tencent berbicara tentang potensi iklan dalam fitur video pendek WeChat untuk menjadi sumber pendapatan "substansial" di masa depan. Diketahui bahwa Tencent menjalankan WeChat, aplikasi perpesanan terbesar di China dengan lebih dari satu miliar pengguna.

4 dari 4 halaman

Ekonomi Lesu, Perdana Menteri China Desak 6 Provinsi Terkaya Bantu Tingkatkan Pertumbuhan

Perdana Menteri China Li Keqiang meminta 6 provinsi terkaya di negara itu untuk menawarkan dukungan ekonomi China dalam upaya meningkatkan pertumbuhan.

Provinsi-provinsi ini meliputi Guangdong, Jiangsu, Zhejiang, Shandong, Henan dan Sichuan - yang menyumbang sekitar 40 persen dari output ekonomi China.

China, telah melihat perlambatan konsumsi dan output secara tak terduga di bulan Juli 2022, imbas dampak lockdown dan pembatasan terkait Covid-19.

"Rasa urgensi harus diperkuat untuk mengkonsolidasikan fondasi bagi pemulihan ekonomi," kata PM Li Keqiang dalam pertemuan daring dengan pejabat senior 6 provinsi China, dikutip dari BBC, Kamis (18/8/2022).

Li Keqiang menyebut, maski ada fluktuasi kecil pada ekonomi China meski sudah menunjukkan pemulihan, masih ada flu.

Pemerintah akan mengambil lebih banyak langkah untuk meningkatkan konsumsi dan memperluas investasi yang efektif, tambah Li.

Diketahui bahwa kebijakan nol-Covid-19 telah secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tahun ini.

Dalam langkah yang jarang terjadi, bank sentral China memangkas suku bunga pinjaman pada Senin (15/8) untuk memungkinkan permintaan kembali datang.

Dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022, Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen.

Indikator ekonomi utama menunjukkan China mengalami kesulitan meredakan dampak lockdown terhadap bisnis manufaktur dan ritelnya.

Pada bulan Juli, penjualan ritel di China naik hanya 2,7 persen dibandingkan tahun lalu. Angka terbaru juga menunjukkan jumlah pengangguran di antara usia muda berada pada rekor tertinggi.

Adapun penurunan pada investasi properti hingga 12,3 persen bulan lalu, tingkat tercepat tahun ini, ketika China menghadapi krisis sektor properti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.