Sukses

Saran IMF ke Negara Asia: Bersiap Naikkan Suku Bunga di Tengak Tekanan Inflasi

IMF memperingatkan, bank sentral di sejumlah negara Asia perlu segera menaikkan suku bunga karena tekanan inflasi yang meningkat.

Liputan6.com, Jakarta - Pejabat senior Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bank sentral di beberapa negara Asia harus menaikkan suku bunga dengan cepat, karena tekanan inflasi meningkat yang ditambah dengan lonjakan biaya pangan dan BBM secara global.

"Tekanan inflasi di Asia tetap tumbuh tetap lebih moderat dibandingkan dengan kawasan lain, tetapi kenaikan harga di banyak negara telah bergerak di atas target bank sentral," kata direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (29/7/2022). 

"Beberapa negara perlu menaikkan suku dengan cepat karena inflasi meluas ke harga inti, yang mengecualikan kategori pangan dan energi yang lebih bergejolak, untuk mencegah spiral ekspektasi inflasi dan upah yang nantinya akan membutuhkan kenaikan yang lebih besar untuk diatasi jika dibiarkan tidak terkendali," jelas dia melalui sebuah tulisan dalam blog yang diterbitkan pada Kamis (28/7).

Menurut Srinivasan, sebagian besar negara berkembang di Asia telah mengalami arus keluar modal yang sebanding dengan yang terjadi pada tahun 2013.

Ini ketika imbal hasil obligasi global melonjak karena isyarat Federal Reserve AS terkait pengurangan pembelian obligasi yang lebih cepat.

Dia menyebut, arus keluar sangat besar untuk India, yang telah mengeluarkan dana USD 23 miliar sejak perang Rusia-Ukraina. Arus keluar juga terlihat di negara Asia lainnya seperti Korea Selatan dan Taiwan.

IMF sebelumnya mengungkapkan, total utang kawasan Asia telah meningkat dari 25 persen sebelum krisis keuangan global menjadi 38 persen pasca-Covid-19. 

Hal ini meningkatkan kerentanan kawasan tersebut terhadap perubahan kondisi keuangan global, demikian menurut Srinivasan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

4 Negara Ini Masuk Radar IMF Berisiko Punya Utang Menggunung

Dana Moneter Internasional (IMF) turut prihatin pada meningkatnya tingkat utang yang didorong oleh inflasi dan pengetatan kondisi keuangan di kawasan Asia.

Direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF, Krishna Srinivasan, mengungkapkan bahwa utang di kawasan Asia telah meningkat dari 25 persen sebelum pandemi menjadi 38 persen sekarang.

"Jika Anda melihat utang kawasan, dan melihat bagian Asia dari total utang, utang agregat, itu naik cukup tajam," kata Srinivasan, dikutip dari CNBC International, Kamis (28/7/2022). 

Lebih lanjut, Srinivasan menyebut negara-negara yang berisiko dengan beratnya utang termasuk Laos, Mongolia, Maladewa dan Papua Nugini, serta Sri Lanka yang telah gagal membayar utangnya.

Inflasi di Laos telah mencapai 23,6 persen pada bulan Juni.

Adapun Asian Development Bank yang memperkirakan inflasi tahunan Mongolia akan mencapai 12,4 persen di tahun 2022 ini. Maladewa telah berjuang dengan utang yang tinggi selama bertahun-tahun.

Sementara rasio utang terhadap PDB Maladewa telah turun selama dua tahun terakhir, dan masih tinggi sekitar 100 persen dari PDB.

"Jadi ada banyak negara di Asia yang menghadapi angka utang yang tinggi. Dan beberapa dari negara-negara ini berada di wilayah kesulitan utang. Jadi itu yang harus kita waspadai," ucap Srinivasan kepada CNBC Squawk Box Asia.

Sementara secara global, IMF dalam prospek terbarunya memperkirakan perlambatan tajam dalam pertumbuhan ekonomi dari 6,1 persen tahun lalu menjadi 3,2 persen tahun ini.

3 dari 4 halaman

IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi

China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.

Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara. 

"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.

Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.

Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.

Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.

Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.

Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.

"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.

"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

IMF Ikut Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi RI 2022 jadi 5,3 Persen

Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 ini menjadi 5,3 persen.

Penurunan itu terjadi di tengah perekomonian global yang memasuki periode perlambatan, di tengah kekhawatiran resesi di sejumlah negara besar.

Pertumbuhan PDB global pun diprediksi melambat menjadi 3,2 persen pada 2022 dari perkiraan semula 3,6 persen pada April 2022.

Dilansir dari laman imf.org, Rabu (27/7/2022) IMF memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh lebih rendah 0,1 poin persentase dibandingkan perkiraan sebelumnya pada bulan April.

Ini menandai pemangkasan kedua sejak awal tahun 2022 setelah perkiraan pada bulan April juga sudah direvisi ke bawah 0,2 poin presentase. 

"Output global berkontraksi pada kuartal kedua tahun ini, karena penurunan di China dan Rusia, sementara belanja konsumen di AS di bawah ekspektasi. Beberapa guncangan telah menghantam ekonomi dunia yang sudah melemah akibat pandemi: inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan di seluruh dunia– terutama di AS dan negara ekonomi utama Eropa yang memicu kondisi keuangan yang lebih ketat," demikian keterangan IMF terkait laporan Work Economic Outlook terbarunya.

Untuk tahun 2023 mendatang, IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,8 poin persentase menjadi 5,2 persen, dimana tahun depan masih akan terjadi perlambatan.

Adapun negara Asia Tenggara lainnya atau negara tetangga, salah satunya Malaysia dan Thailand yang proyeksi pertumbuhan ekonominya juga dipangkas masing-masing 0,5 poin persentase tahun ini.

Ekonomi Malaysia diperkirakan tumbuh 5,1 persen tahun ini dan menurun 4,7 persen di tahun selanjutnya.

Sementara Thailand, diperkirakan hanya tumbuh 2,8 persen tahun 2022, tetapi akan menguat pada 2023 mendatang ke 4 persen. 

Kemudian berlanjut di Filipina, dimana ekonominya diramal naik 0,2 poin menjadi 6,7 persen tetapi bakal melambat 5 persen pada 2023.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.