Sukses

Stagnasi Ekonomi Landa Eropa dan AS, Indonesia Diminta Hati-Hati

Pemerintah diminta untuk berhati-hati dengan kondisi stagnasi yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR-RI mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dengan kondisi stagnasi yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Tingkat inflasi yang tinggi di luar negeri, lambat laun bisa berdampak pada perekonomian domestik. Sehingga pemerintah diminta berhati-hati dalam mengelola keuangan negara.

"Pengelolaan keuangan APBN 2022 harus dilakukan secara hati-hati di tengah memburuknya ancaman stagnasi di belahan Eropa dan Amerika Serikat yang bisa berdampak ke ekonomi domestik," kata Juru Bicara Fraksi PPP, Muhammad Aras dalam Sidang Paripurna Ke-27 di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (5/7).

Menurutnya, kondisi saat ini bisa membuat belanja APBN bengkak. Mengingat harga-harga komoditas mengalami lonjakan, salah satunya komoditas energi. Diperkirakan belanja pemerintah untuk subsidi juga akan bengkak.

"Ancaman nyata saat ini bengkaknya subsidi BBM," kata dia.

Selain itu, pemerintah juga perlu mewaspadai dampak buruk dari kenaikan suku bunga yang ditetapkan The Fed. Dia khawatir, tanpa mitigasi yang baik bisa mengguncang kinerja sektor keuangan di Tanah Air.

"Dan dampak buruk kenaikan suku bunga The Fed terhadap guncangan sektor keuangan," sambungnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga Komoditas

Di sisi lain, naiknya harga-harga komoditas memang memberikan keuntungan bagi penerimaan negara. Tercermin dari realisasi pendapatan yang melebihi target yakni Rp 2.011,3 triliun atau 115,35 persen.

Bahkan selama semester I-2022 pendapatan negara telah mencapai Rp 1.317,2 triliun. Hasil tersebut telah mencapai 58,1 persen dari target Rp 2.266,2 triliun.

Juru Bicara Fraksi Partai Gerindra meminta pemerintah tidak terlena dengan besarnya uang yang masuk ke kas negara. "Kami meminta pemerintah untuk jangan terjebak dengan hasil penerimaan yang lebih dari target,," katanya.

Sebab, kenaikan harga komoditas ini bersifat sementara. Sehingga pemerintah diminta untuk tetap waspada. "Ini sifatnya tidak permanen karena dari kenaikan harga komoditas," kata dia.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Ramalan Nomura: AS, Inggris, Eropa Hingga Jepang Bakal Resesi 12 Bulan Kedepan

Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi. 

Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.

"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022). 

"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.

Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.

Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.

"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi,” jelasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.