Sukses

Fakta-Fakta Penting RUU HPP: Atur NIK Jadi NPWP hingga Tax Amnesty Jilid II

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak menjadi UU HPP dalam rapat paripurna ke-7 pada Kamis, 7 Oktober 2021.

Liputan6.com, Jakarta DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak menjadi UU HPP dalam rapat paripurna ke-7 pada Kamis, 7 Oktober 2021.

Kebijakan baru ini memuat beberapa perubahan penerapan pajak seperti penggunaan NIK sebagai NPWP, kenaikan tarif PPN, hingga pengenaan pajak untuk orang kaya.

Mengutip draft UU HPP, berikut ketentuan baru pajak yang akan segera diterapkan:

NIK sebagai NPWP

UU HPP bakal menambah fungsi KTP yang mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) bagi wajib pajak orang pribadi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Namun, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan, NIK sebagai pengganti NPWP bukan berarti masyarakat usia 17 tahun ke atas sudah harus membayar pajak.

"Penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh, tapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak), atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun," jelasnya usai pengesahan UU HPP, Kamis (7/10/2021).

Tarif PPN

Salah satu poin yang disepakati yakni soal perubahan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang akan naik perlahan mulai tahun depan. Mengutip Bab IV Pasal 7 RUU HPP, Kamis (30/9/2021), tarif PPN yang saat ini sebesar 10 persen akan naik jadi 11 persen pada 1 April 2022.

Selanjutnya, tarif PPN yang ditetapkan 11 persen akan kembali naik jadi 12 persen di tahun berikutnya. Ketetapan ini paling lambat akan berlaku pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, kenaikan tarif PPN ini masih sesuai ambang batas dari aturan yang berlaku saat ini. Adapun perubahan tarif PPN bisa terjadi paling rendah sebesar 5 persen, dan paling tinggi 15 persen.

Pajak Orang Kaya

Pasal 17 UU HPP juga turut mengatur pemungutan tarif pajak yang lebih besar dari orang-orang kaya. Aturan ini memuat perubahan pengenaan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Perubahan pertama terjadi pada kategori wajib pajak orang pribadi tingkat terkecil, yang batas penghasilan per tahunnya dinaikan dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta.

Selain itu, terdapat satu penambahan kategori wajib pajak orang pribadi, yakni berpenghasilan di atas Rp 5 miliar dan akan terkena pungutan pajak sebesar 35 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tax Amnesty Jilid II

Selain pungutan pajak, UU HPP juga turut membahas soal program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II pada 1 Januari 2022.

Mengutip Pasal 6 ayat (1), wajib pajak bisa menyampaikan surat pernyataan kepada pihak otoritas pajak mulai 1 Januari-30 Juni 2022.

"Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022."

Pajak Karbon

Misi pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca turut diimplementasikan melalui UU HPP, lewat pengenaan pajak karbon sebesar Rp 30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," bunyi Bab VI Pasal 13 ayat (9).

Adapun implementasi tarif pajak karbon ini lebih rendah dari usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, yang sebesar Rp 75 per kg CO2e.

Sembako Ikut Kena Pajak?

Usul penerapan tarif pajak untuk barang kebutuhan pokok atau sembako sempat mencuat dalam pembahasan UU HPP saat sebelum disahkan. Namun, rencana itu tidak jadi diimplementasikan.

Mengutip Bab IV Pasal 4a RUU HPP, sembako sebenarnya tetap dihapus sebagai jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai. Begitu pun pendidikan, pelayanan kesehatan medis, dan jasa sosial juga dihapus dari jenis jasa yang tidak dikenai pajak.

Namun, merujuk Pasal 16B RUU HPP, seluruh barang dan jasa tersebut masuk dalam ketentuan pajak terutang yang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.

Termasuk untuk barang barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti beras, jagung, kedelai, garam dan gula konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, hingga sayur-sayuran. Itu semua termasuk produk yang bersifat barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari PPN.

Pengenaan tarif PPN juga akan dibebaskan dari jasa pelayanan kesehatan medis yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional, pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, dan jasa pendidikan.

Di sisi lain, tarif pajak pertambahan nilai pun tidak akan dipungut untuk jasa tenaga kerja, hingga jasa angkutan umum di darat, air dan udara dalam negeri yang jadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.