Sukses

Menteri ESDM Jelaskan Alasan Pajak Karbon Ditunda hingga 2025

Tahap awal penerapan pajak karbon berlaku pada pembangkit listrik dari batu bara. Kebijakan tersebut menetapkan tarif pajak karbon sejumlah Rp 30 per Kg emisi karbondioksida ekuivalen.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menargetkan pajak karbon dan pajak karbon berlaku mulai 2025. Rencana ini muncur dari target awal yang bakal diberlakukan pada tahun ini.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun menjelaskan alasan pemerintah mengundur pemberlakukan pajak karbon ini. Saat ini, pemerintah harus melakukan kalibrasi ulang implementasinya. Ketidakpastian ekonomi menjadi faktor utama penundaan pajak karbon.

Arifin menjelaskan, situasi ketidakpastian dampak dari faktor eksternal ini dipastikan akan berdmapak ke Indonesia. Tentu saja, banyak industri yang terdampak dan pemerintah tidak ingin pajak karbon ini menjadi beban lebih besar.

Selain itu, pemerintah juga melihat keperluan untuk melakukan uji coba sebelum menerapkan kebijakan secara penuh.

"Dengan situasi kaya sekarang ini kita harus rekalkulasi kembali dampak-dampaknya," katanya dikutip dari belasting.id, Senin (17/10/2022).

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pertama kali penundaan pajak karbon. Menurutnya, implementasi pajak karbon tidak berdiri sendiri.

Kebijakan fiskal tersebut bagian dari skema perdagangan karbon. Oleh karena itu, kedua instrumen tersebut diproyeksikan berlaku pada 2025.

"Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan target NCD pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu yang akan diterapkan diawal adalah perdagangan karbon dan pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi pada tahun 2025," katanya dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022.

Seperti diketahui, tahap awal penerapan pajak karbon baru berlaku pada pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari batu bara. Kebijakan tersebut menetapkan tarif pajak karbon sejumlah Rp 30 per Kg emisi karbondioksida ekuivalen.

Kemudian tahap kedua menggunakan skema tarif berdasarkan 1,2x harga karbon rata-rata atau Rp 30 per Kg CO2 tergantung skema mana yang paling tinggi ke pendapatan negara.

Implementasi pajak karbon berdasarkan amanat UU HPP berlaku mulai April 2022 dan kemudian kembali ditunda pada Juli 2022 tanpa ada kepastian waktu penerapan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

OJK Siap Dukung Penyelenggaraan Bursa Karbon

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menyiapkan penyelenggaraan bursa karbon untuk mendukung inisiatif Pemerintah menetapkan harga karbon dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

"OJK bersama industri jasa keuangan siap mendukung inisiatif ini," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam seminar internasional “Carbon Trading: The Journey to Net Zero” sebagai rangkaian kegiatan peringatan 45 tahun diaktifkannya kembali Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Selasa, 27 September 2022, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (29/9/2022).

Mahendra menuturkan, penetapan harga karbon yang diinisiasi oleh Pemerintah dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi dan disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi.

Mahendra juga mengatakan dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia bisa memiliki banyak keuntungan dari perdagangan emisi karbon global.

"Di sinilah Indonesia dapat melangkah dan memanfaatkan keunggulannya sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif bursa karbon dalam memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil,” ujar Mahendra.

Dia menuturkan, dengan hutan tropis seluas 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, belum termasuk hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan senilai 565,9 miliar dolar AS dari perdagangan karbon. 

3 dari 3 halaman

Butuh Kerangka Regulasi

Untuk mendukung peluang itu, menurut Mahendra dibutuhkan kerangka regulasi yang jelas mengatur mengenai kewenangan dan pengoperasian bursa karbon, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.

"Kita juga harus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder dan pasar sehingga dapat mendukung beroperasinya bursa karbon, serta mekanisme pengawasan yang sesuai untuk pasar karbon agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC),” tutur Mahendra.

OJK berharap regulasi terkait payung hukum mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon khususnya melalui bursa karbon dapat segera diterbitkan sehingga dapat mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.

Selain Mahendra, hadir sebagai pembicara adalah Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Laksmi Dewanti dan Direktur Eksekutif Abu Dhabi Global Market’s Financial Services Regulatory Authority Simon O’Brien.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.