Sukses

Jurus Kemenkeu Redam Kekhawatiran Utang RI yang Tembus Rp 6.000 Triliun

BPK mengkhawatirkan utang pemerintah yang terus melonjak, bahkan sudah mencapai 6.074,56 triliun hingga Desember 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menanggapi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK mengkhawatirkan utang pemerintah yang terus melonjak, bahkan sudah mencapai 6.074,56 triliun hingga Desember 2020.

Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan kebijakan countercyclical dari pemerintah untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonomi di tengah pandemi Covid-19, berdampak pada pelebaran defisit.

International Monetary Fund (IMF) memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30 persen per Produk Domestik Bruto (PDB) pada kondisi normal.

Namun, kata Yustinus, dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran tersebut. Rasio utang Indonesia dibandingkan beberapa negara masih lebih kecil.

Misalnya saja pada akhir 2020, Indonesia 38,5 persen, Filipina 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan 48,4 persen, dan Amerika Serikat 131,2 persen.

Yustinus menjelaskan, pemerintah pada 2020 telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary untuk menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang dengan berbagai cara.

Salah satunya melalui kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia, sebagai wujud sinergi pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, yakni BI ikut menanggung biaya bunga utang.

Kemudian, juga ada kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam US Dolar dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. Sehingga ini mengurangi risiko dan beban bunga kedepan.

"Strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250bps mencapai 5,85 persen di akhir tahun (turun 17 persen, ytd)," jelas Yustinus kepada Liputan6.com pada Kamis (24/6/2021).

Adanya berbagai respon kebijakan tersebut, membuat ekonomi Indonesia pada 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain.

Selain itu, kata Yustinus, lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi pengelolaan ekonomi dan pembiayaan Indonesia selama ini dengan mempertahankan peringkat Indonesia, terutama di masa pandemi.

Kendati demikian, Yustinus menegaskan bahwa pemerintah akan terus waspada dan berhati-hati, kredibel dan terukur dalam pengelolaan pembiayaan.

"Sejalan dengan itu, pemerintah juga meningkatkan upaya reformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara," tuturnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tembus Rp 6.000 Triliun, DPR: Rasio Utang Terhadap PDB Harus Dikaji Ulang

Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati, mengatakan persoalan utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 6.000 triliun diperlukan kajian lebih dalam mengenai rasio utang terhadap PDB agar Indonesia tidak semakin terjebak dalam utang.

“Kita perlu mengkaji lebih dalam, bahwa rasio utang terhadap PDB harus benar-benar mencerminkan kondisi riil. Selama ini perhitungan tersebut hanya utang pemerintah pusat terhadap PDB, sedangkan utang  BUMN itu tidak dimasukan. Praktek di negara-negara lain utang BUMN termasuk dalam kalkulasi rasio tersebut,” kata Anis kepada Liputan6.com, Kamis (24/6/2021).

Menurutnya, persoalan utama utang di Indonesia ini lebih kepada bagaimana agar penerimaan negara ini lebih dipacu dibanding utangnya. Namun yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun  dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang.

Disamping itu, Anis menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan utang Pemerintah Indonesia semakin besar, diantaranya dilihat dari porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 33 persen dari total utang pemerintah.

“Akan tetapi nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang kita semakin riskan baik dalam hal cicilan pokok maupun bunganya,” ujarnya.

Sejalan dengan itu perlu diklarifikasi, apakah perhitungan rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB sudah apple to apple, yaitu membandingkan perhitungan di negara lain.

“Tidak masuknya utang BUMN menyebabkan rasio utang di Indonesia menjadi cukup rendah,” imbuhnya.

Kemudian, rasio utang terhadap ekspor yang sudah mencapai 209 persen, menyebabkan rasio utang ini semakin mengkhawatirkan. Karena ekspor Indonesia menghadapi tantangan penolakan dari negara-negara lain karena alasan lingkungan.

“Ekspor yang ditolak di negara lain itu seperti CPO dan Batubara,” pungkasnya.    

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.