Sukses

ADB Ungkap Kunci Indonesia Jadi Negara Maju

Indonesia juga harus menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa menjadi developed country pada 2045.

Liputan6.com, Nusa Dua - Asian Development Bank (ADB) menyambut baik target Indonesia menjadi negara maju dunia pada 2045. Institusi ini menilai, Indonesia memiliki potensi ekonomi besar merujuk pada pertumbuhan generasi muda yang besar.

Direktur Jenderal ADB Ramesh Subraniam menilai, Indonesia bisa menggapai cita-cita tersebut jika mampu meningkatkan produktivitas hingga mendongkrak daya saing.

"Untuk mewujudkan goal tersebut, Indonesia harus meningkatkan productivity dan competitiveness. Poin-poin tersebut perlu untuk decreasing ketimpangan yang ada," jelas dia di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019).

Selain itu, Ramesh menambahkan, negara juga perlu mengatasi isu perubahan iklim serta mampu membangun ketahanan terhadap bencana alam.

Menengok kondisi terkini, ia pun memuji Pemerintah RI yang bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen hingga mengurangi kemiskinan sampai 1 digit.

"Reformasi struktural juga berjalan, ada perbaikan pelayanan publik dan kemudahan berusaha. Itu adalah perjalanan untuk menjadi negara maju dengan target 2045," urainya.

Namun, Ramesh memperingatkan bahwa Indonesia juga harus menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa menjadi developed country pada 2045.

"Tantangannya berupa ketidakpastian global, disrupsi teknologi, generasi pada demografi berubah menjadi semakin uzur. Tantangan terbesar Indonesia adalah shifting economic power. Bagaimanapun, Indonesia harus mampu menangkap peluang," imbuhnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengamat: Konsumsi Masyarakat Bisa Lindungi Ekonomi Indonesia

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengingatkan bahwa perang dagang akan membawa krisis finansial dunia.

Ia pun mengutip laporan Bank Dunia bahwa krisis itu akan datang pada satu sampai satu setengah tahun ke depan. Namun, Enggar yakin masuknya investasi dan meningkatnya ekspor bisa melindungi ekonomi Indonesia dari dampak terburuk.

"Indonesia akan bisa survive kalau investasi dan ekspor," ucap Menteri Enggar pada Minggu, 6 Oktober 2019 di Sarinah, Jakarta Pusat.

Ekonom Lana Soelistianingsih berkata solusi ekspor kurang tepat mengingat saat ini banyak negara sedang menghadapi perlambatan ekonomi. Fokus pemerintah seharusnya berada di sisi fiskal, seperti menjaga konsumsi rumah tangga. 

Namun, Lana melihat data-data penjualan emiten sedang menurun, sehingga ada indikasi masyarakat mengurangi belanja.

Pemerintah pun diharap bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat agar meningkatkan spending. Konsumsi inilah yang menurut Lana masih penting bagi ekonomi Indonesia di kala terjadi pelemahan global.

"Itu supaya membuat ekonomi kita relatif turunnya enggak banyak, walaupun negara lain itu turun, itu yang diperkuat adalah dari sisi konsumsi rumah tangga. Bukan ekspor. Di saat (ekonomi negara lain) semua pada turun kita jual ekspor, jualan apa?" ujar Lana kepada Liputan6.com

"Setidaknya kalau ekonomi melambat biasanya harga turun," tambahnya.

Lana masih enggan memakai istilah "krisis" dan memilih menyebut perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini.

Solusi lain untuk menjaga ekonomi adalah agar pemerintah mulai membangun industri substitusi bahan baku impor di dalam negeri. Ini terutama menyangkut pabrik-pabrik dalam negeri yang masih bergantung pada impor, Lana memberi contoh seperti pabrik obat-obatan dan smartphone yang masih banyak kandungan impor.

Ia menjelaskan sekadar "merakit" sebetulnya berbeda dengan pabrik karena tetap membutuhkan impor berbagai komponen.

Di sinilah menurut Lana investasi diperlukan demi mengembangkan bahan baku lokal. Namun, pada akhirnya daya beli konsumen masih menjadi kunci agar penjualan dari pabrik-pabrik itu tetap terjaga dan roda ekonomi berjalan.

"Daya beli diperbaiki, konsumen belanja, produksi meningkat, artinya pekerja tetap bisa bekerja. Kalau misalnya konsumen mengalami kelemahan daya beli atau enggak mau belanja, mau enggak mau pabrik mengurangi produksi. Kalau pabrik mengurangi produksi, apa yang dia lakukan? Mengurangi tenaga kerja. Akhirnya lebih parah lagi," jelas Lana.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini