Sukses

Ketemu Menko Luhut, Ini Curhatan Bos BPJS Kesehatan

Menko Luhut Binsar Panjaitan bertemu dengan Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris membahas kondisi terkini BPJS Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bertemu dengan Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Pertemuan tersebut membahas kondisi terkini BPJS Kesehatan, termasuk defisit anggaran.

Luhut mengatakan, ada sejumlah hal yang disampaikan Dirut BPJS Kesehatan kepada dirinya. Salah satunya terkait jenis penyakit yang harus ditanggung BPJS.

"Tadi Kepala BPJS juga melihat enggak adil juga dong, penyakit yang diobati itu tidak sesuai dengan apa yang tertera di Undang-Undang. Jadi ada perbaikan-perbaikan," kata dia, saat ditemui, di Kantornya, Jakarta, Jumat (23/8).

Kepada dia, Fachmi juga menyampaikan terkait tarif iuran yang diberlakukan selama ini. Karena iuran yang berlaku selama ini dianggap tergolong murah.

"Apa pembayaran mesti begitu. Kan terlalu murah pembayaran itu," ujar dia.

Tak hanya itu. Penerima manfaat BPJS Kesehatan pun perlu dikaji lagi. Apalagi mereka yang masuk dalam kategori 'orang mampu' secara ekonomi.

"Terutama pada orang-orang yang sakit, orang kaya misalnya, orang yang sudah berpunya pakai gitu. Mesti adil dong. Seperti itu," ungkapnya.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

BPJS kesehatan Belum Bisa Cegah Praktik Kecurangan Pembengkakan Tagihan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap beberapa faktor yang menyebabkan difisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus terjadi setiap tahun. Salah satunya, menurut laporan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) badan usaha tersebut belum mampu melakukan pencegahan kecurangan yang menyebabkan tagihan bengkak.

"Ini menurut BPKP pencegahan kecurangan ini masih belum optimal atau belum berjalan efektif. Seperti apakah jumlah klaim, kemudian bagaimana dinas kesehatan bisa ikut melakukan pengawasan. Terutama untuk rumah sakit di daerah dan bagaimana sistem klaim yang disampaikan oleh fasilitas kesehatan tersebut kepada BPJS yang bisa dijaga dari kemungkinan terjadinya kecurangan atau fraud," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019). 

Dalam pelaksanaan pemberian BPJS kesehatan di lapangan banyak ditemukan kesalahan data serta pengadaan kegiatan yang sebenarnya belum tentu terjadi. Bahkan, ada suatu daerah yang tercatat melakukan operasi katarak besar-besaran dalam kurun waktu tertentu yang sebelumnya tidak tercatat.

"Ini yang merupakan salah satu yang menjadi fokus. Anekdot, mungkin anekdot hanya beberapa kasus seperti waktu itu sempat terjadi ada suatu daerah kecamatan atau kabupaten yang tadinya tidak ada operasi katarak tiba-tiba satu tahun, satu bulan, ada ratusan orang operasi katarak. Ini juga sesuatu yang muncul sempat terjadi," paparnya.

Selain adanya kegiatan operasi katarak mendadak, ada juga fenomena melahirkan secara caesar untuk ibu-ibu. Padahal seharusnya masih bisa disarankan untuk melakukan lahiran secara normal.

"Atau yang kemudian terjadi bahwa semua, lebih banyak ibu-ibu yang melahirkan disuruhnya melakukan sectio padahal seharusnya bisa normal. Ini juga sesuatu hal-hal yang ditengarai ada. Dan oleh karena itu, mekanisme BPJS untuk bisa melakukan pengawasan itu menjadi sangat penting," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com  

3 dari 3 halaman

Ternyata, Defisit BPJS Kesehatan Berlangsung Sejak 2014

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mengalami defisit sejak 2014. Pada awal penerapannya, badan usaha pelayanan kesehatan tersebut mencatatkan defisit sekitar Rp 1,9 triliun.

"Defisit BPJS dari tahun ke tahun. Kalau dilihat PMN pemerintah pada 2015 sebesar Rp 5 triliun, defisitnya tadi pada 2014 sebesar Rp 1,9 triliun," ujar Sri Mulyani saat menghadiri rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Pada 2015, defisit kemudian berlanjut menjadi Rp 9,4 triliun pemerintah pun turun tangan menyuntikkan dana sebesar Rp 5 triliun. Hal tersebut dilakukan agar BPJS kesehatan tetap dapat menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 

"Setahun kemudian di 2015 langsung meledak ke 9,4 triliun, 2016 agak turun sedikit ke 6,7 triliun karena ada kenaikan iuran. Sesuai dengan Prepres iuran itu tiap 2 tahun di-riview namun semenjak 2016 sampai sekarang belum diriview lagi," jelas Sri Mulyani.

Defisit masih terus terjadi pada tahun berikutnya. Pada 2017 membengkak menjadi Rp 13,8 triliun, tak tinggal diam pemerintah pada saat itu menyuntik lagi dana kepada BPJS kesehatan sebesar Rp 3,6 triliun. Demikian pula 2018 defisit sebesar Rp 19,4 triliun dan 2019 yang diprediksi akan lebih besar.

"Di tahun 2018 defisitnya mencapai Rp 19,4 triliun, kami menginjeksinya Rp 10,3 triliun. Masih ada Rp 9,1 triliun di 2018 yang belum tertutup, 2019 ini akan muncul lagi defisit yang lebih besar lagi," tandasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.