Sukses

Rupiah Lesu, IHSG Merosot 4,2 Persen dalam Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot selama sepekan dipicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot selama sepekan. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga sentuh posisi 15.100 menekan laju IHSG.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (6/10/2018), IHSG melemah 4,2 persen dari posisi 5.976 pada Jumat 28 September 2018 menjadi 5.731 pada Jumat 5 Oktober 2018.

IHSG melemah sepekan didorong nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sentuh level psikologis 15.000. Tekanan rupiah dipicu imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) dan harga minyak dunia yang menguat.

Saham-saham berkapitalisasi besar juga merosot 5,09 persen selama sepekan. Investor asing jual saham USD 157 juta atau sekitar Rp 2,37 triliun (asumsi kurs Rp 15.150 per dolar AS).

Di pasar obligasi cenderung mendatar seiring rupiah melemah terhadap dolar AS. Imbal hasil obligasi negara bertenor 10 tahun ke posisi 8,4 persen. Investor asing masuk ke pasar obligasi mencapai USD 356 juta atau sekitar Rp 5,39 triliun.

Dalam sepekan, nilai tukar rupiah cenderung melemah hingga ke posisi 15.183 per dolar AS dari periode sebelumnya 14.903 per dolar AS.

Sejumlah sentimen eksternal dan internal pengaruhi pasar keuangan global termasuk IHSG. Dari eksternal, Amerika Serikat (AS), Kanada dan Meksiko merenegosiasi perjanjian NAFTA dan sepakat perjanjian dagang setelah setahun negosiasi.

Pemerintah AS dan Kanada setuju kesepakatan yang akan mendorong petani AS memiliki akses lebih besar ke pasar susu Kanada. Ini mengatasi kekhawatiran tentang kemungkinan tarif impor AS. Kesepakatan tersebut memiliki nama baru yaitu perjanjian AS-Kanada-Meksiko.

Data manufaktur AS pun lebih baik dari yang diharapkan. Indeks ISM non-manufaktur PMI untuk AS naik menjadi 61,6 pada September 2018 dari posisi 58,5 pada Agustus 2018. Angka itu mengalahkan harapan pasar sebesar 58.

Sementara itu, aktivitas bisnis swasta di AS mampu merekrut 230 ribu pekerja pada September 2018 dibandingkan pada Agustus 2018 sebesar 168 ribu. Angka tersebut juga mengalahkan harapan pasar di kisaran 185 ribu.

Sentimen lainnya bank sentral India mempertahankan suku bunga. Reserve Bank of India secara tak terduga patok suku bunga tetap 6,5 persen pada 5 Oktober 2018. Keputusan tersebut juga untuk mencapai target inflasi empat persen plus minus dua persen dan mendukung pertumbuhan.

 

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sentimen Internal

Dari sentimen internal, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa pada September turun USD 3,1 miliar menjadi USD 114,8 miliar dari posisi akhir Agustus 2018 menjadi USD 117,9 miliar. Cadangan devisa Indonesia tertinggi tercatat USD 131 miliar pada Januari 2018 dan terendah mencapai USD 27 miliar pada Juli 2000.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi September 2018 sebesar 0,18 persen dari perkiraan konsensus 0,03 persen. Secara tahunan, inflasi melambat menjadi 2,88 persen dari 3,2 persen. Inflasi inti 2,82 persen dari posisi 2,9 persen pada Agustus 2018.

Dampak rupiah melemah dan harga minyak tinggi belum menunjukkan pada inflasi. Ini karena produsen menunda kenaikan harga, harga energi lebih tinggi belum tercermin pada inflasi, dan inflasi pangan yang rendah.

 

3 dari 4 halaman

Rupiah Jadi Sorotan

Pada pekan ini, Ashmore menyoroti soal depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Rupiah sentuh 15.100 per dolar AS pada pekan ini.

Ada dua hal yang terjadi dalam 10 hari terakhir sehingga pengaruhi sikap investor global. Pertama, imbal hasil obligasi AS naik ke posisi 3,2 persen untuk pertama kali sejak 2011. Kedua, harga minyak melonjak menjadi USD 85 per barel yang didorong antisipasi sanksi Iran ke depan.

Ada beberapa data positif dari AS pada pekan ini mendorong imbal hasil obligasi AS menguat. Sentimen itu membuat harapan bank sentral AS akan terus menaikkan suku bunga.

Bank sentral AS menaikkan prediksi pertumbuhan ekonomi pada 2018-2019. Selain itu, pertumbuhan kuat untuk barang tahan lama dan menguatnya aktivitas non manufaktur. Tak hanya itu, harga minyak dunia sentuh USD 85 per barel juga mendorong inflasi AS, sehingga mempertimbangkan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga.

Namun, masih ada hal mendasar yang Ashmore lihat untuk kenaikan suku bunga the Federal Reserve. Salah satunya defisit fiskal AS yang makin memburuk pada 2018 usai reformasi pajak dilakukan pada awal 2018 sementara belanja terus tumbuh. Hingga September 2018, defisit fiskal AS mencapai USD 895 miliar.

 

 

4 dari 4 halaman

Untung Rugi Kenaikan Harga Minyak Dunia

Harga minyak dunia juga jadi sorotan. Hal ini karena persepsi kenaikan harga minyak dunia akan pengaruhi defisit transaksi berjalan Indonesia yang menjadi alasan melemahnya rupiah terhadap dolar AS pada pekan ini.

Namun, dampak dari kenaikan harga minyak netral terhadap fiskal Indonesia. Hal ini karena setiap kenaikan harga minyak sebesar USD 10 per barel, pendapatan pemerintah Indonesia akan naik 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meski demikian, harga minyak dunia naik juga akan meningkatkan beban subsidi sebesar 0,2 persen dari PDB.

"Jadi sementara inflasi Indonesia stabil, ada beberapa risiko penurunan fiskal dari kenaikan harga minyak dunia," tulis Ashmore.

Lalu apa yang harus dilakukan seiring pasar respons pelemahan rupiah? Ashmore melihat laju indeks saham relatif lambat sebelum kembali ke wilayah positif menjelang akhir tahun. Antara imbal hasil surat berharga AS dan harga minyak, Ashmore lebih mempertimbangkan imbal hasil surat berharga AS dan arah kebijakan the Federal Reserve atau bank sentral AS.

Ada beberapa poin data dari AS yang diperkirakan dapat pengaruhi keputusan the Federal Reserve pada pertemuan Desember termasuk defisit perdagangan. Pada Juli 2018, defisit perdagangan AS mencapai USD 50 miliar atau naik 9,5 persen.

"Dengan perang dagang yang meningkat pada Agustus-September kami perkirakan defisit mungkin tumbuh," tulis Ashmore.

Imbal hasil obligasi AS juga meningkat menjadi 8,4 persen. "Kami pikir pasar telah sangat memperhitungkan kemungkinan tingkat lebih tinggi dan kemungkinan pelemahan yang dapat diciptakan oleh pelemahan rupiah terutama dalam defisit transaksi berjalan," tulis Ashmore.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.