Menilik Sejarah Keberadaan Kampung Pitu, Kampung Unik dan Sakral di Gunungkidul

Sejarah Kampung Pitu ini dapat ditelusuri melalui cerita rakyat atau cerita tutur.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 08 Jul 2023, 00:00 WIB
Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. (dok. Instagram @noviralarassati/https://www.instagram.com/p/BeHWuging53/?utm_source=ig_web_copy_link/Asnida Riani)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kampung Pitu merupakan salah satu kampung unik yang ada di Gunungkidul, Yogyakarta. Kampung ini hanya dihuni okeh 7 Kepala Keluarga (KK).

Kampung Pitu bisa dikunjungi di puncak Gunung Api Purba seluas 7 Ha. Tepatnya, kampung ini berada di Paduluhan Nglanggeran Wetan RT 19 RW 04 Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, sejarah keberadaan Kampung Pitu diawali dengan sebuah desa bernama Kampung Tlaga. Nama Kampung Pitu kemudian diberikan karena hanya 7 KK yang menghuni kampung ini.

Masyarakat Kampung Pitu sudah tinggal di kampung tersebut secara turun-temurun, tetapi tidak tahu pasti kapan mulai menempati wilayah tersebut. Meski demikian, sejarah Kampung Pitu ini dapat ditelusuri melalui cerita rakyat atau cerita tutur.

Konon, waktu itu di puncak bukit Gunung Nglanggeran ada pusaka yang memiliki kekuatan gaib menempel pada pohon kinah gadung wulung. Setiap ada warga yang berniat mengambil pusaka itu selalu gagal.

Kemudian pihak Keraton Yogyakarta membuat sayembara tentang siapa yang bisa mengambil pusaka itu akan diberikan imbalan berupa tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya. Meski banyak yang mengikuti sayembara tersebut, tetapi yang berhasil hanya Eyang Iro Kromo.

Eyang Iro Kromo pun mendapatkan hadiah berupa tanah dari Keraton Yogyakarta. Dari cerita tersebutlah cikal bakal Kampung Tlaga dan temannya yang berjumlah tujuh orang tercipta.

Mereka kemudian menetap dan tinggal dekat pohon. Namun, mereka juga membuat beberapa kesepakatan, di antaranya:

1. Kepala Keluarga yang tinggal di sekitar pohon tersebut hanya boleh tujuh kepala keluarga.

2. Jika ada keturunan dari tujuh orang tersebut berkeinginan tinggal di sekitar pohon tersebut maka harus menunggu sampai ada kepala keluarga yang meninggal.

3. Jika tetap ingin tinggal, sementara kepala keluarga sudah ada tujuh, maka keluarga mereka harus menginduk pada tujuh kepala keluarga yang ada dan tak boleh berdiri dalam kepala keluarga sendiri.

Kesepakatan adat tersebut pun tetap ditaati oleh para penghuni Kampung Pitu hingga saat ini. Ketika ada warga yang melanggar kepercayaan tersebut, maka sesuatu yang buruk akan terjadi, seperti salah satu dari kepala keluarga menjadi sering sakit-sakitan, merasa tidak betah ingin pergi dari rumahnya, adanya kejadian gaib yang mengganggu kehidupannya, hingga meninggal dunia.

Hingga kini, kesepakatan tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Tak heran jika kawasan Kampung Pitu menjadi wilayah yang unik dan sakral.

Selain itu, masyarakat Kampung Pitu juga masih melaksanakan beberapa ritual sebagai wujud rasa syukur atas kehidupan yang mereka jalani saat ini. Beberapa tradisi atau ritual masyarakat Kampung Pitu yang masih dilestarikan sampai saat ini, di antaranya tingalan, tayub atau ledek, dan rasulan.

Tingalan merupakan perayaan ulang tahun untuk warga kampung pitu yang dianggap sesepuh, sedangkan tayub merupakan kesenian tari-tarian warisan budaya yang masih dilestarikan keberadaannya di Kampung Pitu. Adapun rasulan merupakan tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen yang melimpah.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya