Sukses

Benang Kusut Kemiskinan Indonesia

Kemiskinan telah mengakibatkan berbagai persoalan seperti malagizi, busung lapar, penyakit menular, dan kasus kriminalitas. Padahal dana yang dianggarkan pemerintah untuk memberantas kemiskinan tak sedikit.

Liputan6.com, Jakarta: Kemiskinan di Indonesia mungkin sudah menjadi benang kusut yang sulit diurai kembali. Kondisi ekonomi yang lemah disinyalir mengakibatkan busung lapar dan malagizi meluas. Padahal pengentasan kemiskinan, menjadi perhatian pemerintah setiap menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Demikian informasi yang dihimpun SCTV di Jakarta, baru-baru ini.

Pengentasan kemiskinan mandapat jatah lumayan besar dalam APBN. Untuk tahun ini misalnya, pemerintah menganggarkan lebih dari Rp 11 triliun. Dana ini di antaranya terbagi atas program sekolah gratis dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat pertama sebesar Rp 6,27 triliun, perawatan rumah sakit gratis di kelas III dengan total anggaran Rp 3,8 triliun, serta pembangunan infrastruktur 13 ribu desa dengan anggaran Rp 3,34 triliun. Anggaran ini belum ditambah dengan dana kompensasi kenaikan bahan bakar minyak Rp 10,5 triliun.

Dana sebesar ini masih belum cukup untuk memberantas kemiskinan. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 36,1 juta orang atau setara dengan 16,66 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, Provinsi Jawa Timur menduduki posisi puncak dalam daftar penduduk miskin di Tanah Air. Di provinsi ini, jumlah penduduk miskin sekitar 7,3 juta atau sama dengan 23 persen dari jumlah penduduk miskin di Indonesia. Daerah lain di luar Pulau Jawa yang memiliki angka kemiskinan tertinggi adalah Nusatenggara Barat, Nusatenggara Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatra Selatan.

Kemiskinan yang terjadi di daerah di atas telah menimbulkan berbagai persoalan. Sebut saja gizi buruk, busung lapar, penyakit menular, hingga meningkatnya angka kriminalitas. Menurut sejumlah pengamat kemiskinan, kondisi ini terjadi karena pemerintah kurang perhatian menangani kemiskinan sejak tujuh tahun terakhir. Keterkejutan terhadap demokrasi pascareformasi telah mengabaikan penanganan kemiskinan di berbagai daerah.

Berbagai persoalan yang timbul telah mengakibatkan beban si miskin semakin berat. Apalagi ditambah kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok menyusul perubahan harga minyak sejak awal tahun ini. Akibat kenaikan BBM ini, BPS mencatat, kenaikan jumlah masyarakat miskin sekitar 16,7 persen. Jumlah ini jauh lebih kecil dari data Bank Dunia yang menyatakan, prosentase orang miskin di Indonesia mencapai 53,4 persen.

Dari angka ini dipastikan, masih ada sekitar 30 persen masyarakat miskin yang akan semakin miskin. Karena itu, pengamat ekonomi Rina Oktaviani menyatakan, pengentasan kemiskinan tak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Perlu dukungan berbagai pihak untuk mensukseskan program ini, dengan prioritas meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.

Gayung bersambut. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani menyatakan, pemerintah akan segera memprioritaskan berbagai program pengentasan kemiskinan. Sri juga tidak menutup kemungkinan akan menghidupkan lagi program-program pembangunan masa Orde Baru. Antara lain, merevitalisasi program kesejahteraan rakyat, program pekan imunisasi nasional, dan kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu) sehingga seluruh masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan secara merata.

Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendesak para menteri hingga kepala daerah untuk mempercepat program pengentasan kemiskinan. Desakan ini disampaikan Presiden Yudhoyono dalam berbagai kesempatan setelah kasus busung lapar dan kemiskinan mencuat. Ungkapan penyesalan ini disampaikan SBY pertama kali saat pembukaan acara Musyawarah Nasional Kamar Dagang dan Industri di Istana Negara, pekan lalu [baca: Kadin Mengubah AD/ART].

Untuk menunjukkan keseriusannya terhadap masalah kemiskinan, Presiden mengelar rapat kerja dengan seluruh gubernur se-Indonesia di Kantor Kepresidenan. Presiden meminta setiap gubernur mengenali setiap daerah wilayahnya dengan teliti. Dengan cara ini, masalah gizi buruk dan busung lapar dapat dicegah lebih dini [baca: Gubernur NTT Diminta Memperbaiki Pelayanan Kesehatan].

Teguran serupa juga dilontarkan SBY saat pencanangan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Menurut Presiden, kasus ini terjadi bukan hanya karena masalah pola hidup masyarakat, tapi karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Untuk itu SBY berjanji, akan menangani kasus ini dengan serius [baca: SBY: Program Revitalisasi Tak Main-Main].

Belakangan ini, kasus busung lapar mulai dilirik sejumlah partai politik. Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa membentuk gerakan nasional antikemiskinan dan laskar antibusung lapar yang bertugas mencari warga yang terkena busung lapar ke pelosok daerah. Gerakan ini dideklarasikan di halaman Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah.

Koordinator gerakan ini adalah Zanuba Arifah Chafsoh Wahid, putri Ketua Dewan Syuro PKB K.H. Abdurrahman Wahid. Para deklarator juga menyempatkan diri membesuk Nova Mustofa, bayi berusia 2,7 tahun yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Sragen akibat gizi buruk. Berat tubuh Nova hanya lima kilogram, padahal berat normal bayi seumurnya sekitar 10-15 kilogram.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.