Sukses

Wajib Tahu, Begini Awal Mula Tradisi Pemberian THR Idul Fitri menurut Pakar Antropologi

Pakar Antropologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Djoko Adi Prasetyo mengungkap asal usul tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) saat Hari Raya Idul Fitri.

Liputan6.com, Surabaya - Pakar Antropologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Djoko Adi Prasetyo mengungkap asal usul tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) saat Hari Raya Idul Fitri.

Menurutnya, tradisi pemberian uang diyakini berasal dari budaya Timur Tengah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Walaupun sejarahnya belum tertulis dengan jelas, tetapi tradisi THR kemungkinan berasal dari pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam.

Tradisi tersebut, lanjut Djoko, tidak lepas dari proses akulturasi budaya yang dilakukan masyarakat Indonesia.

“Beberapa catatan sejarah Kerajaan Mataram Islam, pada abad ke-16 hingga ke-18, para raja dan bangsawan biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idul Fitri," ujarnya, Senin (1/4/2024).

"Hadiah uang tersebut diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” imbuh Djoko.

Djoko mengatakan, dalam catatan sejarah, terungkap bahwa pertama kali budaya THR tercetus pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.

"Hingga saat ini masyarakat masih mempertahankan tradisi pemberian uang sebagai wujud kasih sayang dan rasa persaudaraan di antara keluarga dan kerabat," ucapnya.

Selain itu, Djoko juga menyebut adanya fenomena pergeseran kebiasaan berbagi THR karena teknologi uang elektronik.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Budaya Tidak Abadi

Menurutnya, meskipun THR saat ini bisa berwujud uang elektronik, hal ini tidak mengurangi makna simbol tentang kesucian dan kebersihan, ucapan terima kasih, rasa hormat, rasa bangga jika bisa berbagi, serta rasa bersyukur.

“Kita juga harus paham bahwa budaya itu tidak abadi. Selama budaya itu masih ada masyarakat pendukungnya, maka budaya itu akan tetap lestari," ujarnya.

Demikian sebaliknya, apabila masyarakat pendukung budaya tersebut sudah tidak mendukung lagi, maka budaya itu akan terkikis dan bahkan musnah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.