Sukses

Mengikuti Wall Street, Bursa Asia Menguat

Indeks MSCI Asia Pasifik naik 1 persen ke level 147,39 pada pukul 09.00 waktu Tokyo, Jepang.

Liputan6.com, Sydney - Saham-saham di kawasan Asia Pasifik (bursa Asia) menguat menuju level tertinggi dalam enam bulan terakhir. Kenaikan dipicu oleh pernyataan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga acuan akan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.

Mengutip Bloomberg, Kamis (19/3/2015), indeks MSCI Asia Pasifik naik 1 persen ke level 147,39 pada pukul 09.00 waktu Tokyo, Jepang. Penguatan tersebut menuju jalur untuk meraih rekor tertinggi yang ditorehkan pada 9 September 2014 lalu.

Bursa di Amerika juga menguat karena The Fed menurunkan estimasi median untuk Federal Funds rate, yang merupakan kunci untuk suku bunga overnight. Di akhir tahun kemarin, The Fed memperkirakan Federal Funds rate akan berada di kisaran 1,25 persen di akhir tahun ini. Namun pada pertemuan kali ini diturunkan menjadi 0,625 persen.

"Ini adalah perkembangan yang sangat penting karena The Fed yakin bahwa pertambahan tenaga kerja di Amerika belum mencapai tingkat yang sesuai untuk menaikkan suku bunga," jelas analis Perpetual Ltd, Sydney, Australia, Matthew Sherwood.

Indeks S&P/ASX 200 Australia naik 1,3 persen. Indeks NZX 50 Selandia Baru naik 0,2 persen karena data menunjukkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut melaju ke level tercepat sejak 2007 lalu. Indeks Kospi Korea Selatan naik 0,9 persen. Indeks Topix Jepang turun 0,1 persen setelah yen melonjak pada pada Rabu kemarin.

Bank Sentral Amerika sedang menyiapkan stategi untuk keluar dari pelonggaran moneter yang paling agresif dalam sejarah mereka selama 100 tahun terakhir. The Fed sedang melihat data-data yang ada apakah bisa menaikkan suku bunga dengan segera.

Dalam ringkasan proyeksi ekonominya, The Fed memangkas outlook inflasi untuk tahun 2015. Selain itu mereka juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Hal tersebut menandakan bahwa langkah-langkah untuk mengelola inflasi selama ini tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi.

Salah satu penyebabnya adalah penurunan harga minyak yang cukup drastis. Sejak akhir tahun kemarin harga minyak terus mengalami kemerosotan yang tajam dari kisaran US$ 100 per barel menjadi berada di bawal US$ 50 per barel. Dengan penurunan harga minyak tersebut maka harga barang menjadi murah sehingga target inflasi tak tercapai. (Gdn)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.