Sukses

Cerita Nelayan Cirebon Sulit Andalkan Sistem Navigasi Alam Saat Melaut

Sebagian besar nelayan Cirebon beralih profesi lantaran cuaca buruk.

Liputan6.com, Cirebon - Cuaca buruk menjadi kendala utama nelayan khususnya kawasan Pantura Cirebon. Hal ini menyebabkan dia enggan melaut. Tidak sedikit para nelayan Cirebon beralih profesi sembari menunggu cuaca di laut kembali normal.

Keluhan para nelayan tak hanya dirasakan pada musim ini. Dalam beberapa bulan terakhir, para nelayan Kota Cirebon kerap mengeluh tidak bisa melaut lantaran kesulitan membaca cuaca di alam.

Seorang nelayan asal Kampung Pesisir, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Sadikin (40), mengungkapkan, angin kencang dan gelombang tinggi memengaruhi situasi di laut sehingga sangat membuat khawatir nelayan.

Dia mengaku, saat ini, nelayan Cirebon kerap tidak bisa lagi mengandalkan sistem navigasi alam. Perubahan cuaca yang tidak menentu membuat nelayan memilih tidak melaut.

"Saya sendiri hanya membantu istri di rumah kalau tak sedang melaut," kata Sadikin di sela Sekolah Lapang Iklim Nelayan Provinsi Jawa Barat yang digelar Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Kota Cirebon, Kamis, 2 Agustus 2018.

Dia menyebutkan, di kampungnya terdapat sekitar 75 nelayan. Sebagian besar nelayan mengandalkan kapal di bawah 5 GT untuk menangkap ikan.

Menurut Sadikin, dalam setahun terakhir kondisi cuaca tidak bisa diprediksi. Tak jarang, saat tengah melaut, angin kencang dan gelombang tinggi tiba-tiba menerpa, sehingga mereka balik arah ke daratan tanpa hasil.

"Dulu kami bisa tahu harus melaut atau tidak dari bintang-bintang, sekarang sudah tidak bisa begitu," aku Sadikin.

Dari kondisi itu, nelayan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kapal berkekuatan 5GT yang biasa mereka gunakan hanya mampu membawa sejauh minimal dua mil dari bibir pantai.

Bertiupnya angin selatan (angin kumbang) saat ini dikeluhkannya telah membuat nelayan sepi tangkapan. Bila cuaca bagus atau kala angin timur bertiup, nelayan bisa meraup 20-30 kg ikan dari laut.

"Sekarang sedang sepi, paling cuma dapat 5kg ikan," ujar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penjelasan BMKG

Deputi Kepala BMKG Bidang Meteorologi BMKG, Mulyono R Prabowo menjelaskan, memudarnya sistem navigasi alam tak lepas dari perubahan lingkungan. Siklus alam berbanding linier dengan perubahan lingkungan.

"Dulu, perubahan lingkungan belum banyak sehingga siklus alam lebih teratur dan sekarang jsutru banyak berubah," tutur dia.

Dia menyebutkan, lahan tutupan hijau kini telah berkurang sehingga daerah resapan air menjadi daerah terbuka. Saat hujan, lahan tutupan hijau yang sebelumnya dapat menyerap air hujan sehingga banjir berkurang, justru kehilangan fungsinya.

Terbukanya lahan tutupan hijau membuat air langsung ke hilir dan menyebabkan banjir. Dia mengakui, perubahan di darat memengaruhi kondisi laut.

Tak hanya konsentrasi hujan, perubahan tersebut juga karena terjadi perpindahan sedimen.

"Ketika hujan turun, di hulu air mengalir ke hilir. Bukan cuma airnya saja, tapi juga sedimennya turut serta hingga menumpuk di muara-muara sungai," kata dia.

Penumpukan sedimen di muara sungai membuat nelayan kesulitan berlabuh di pantai. Mereka pun banyak melabuhkan kapalnya di tengah laut.

Sementara itu, pemanasan global (global warming) dianggap memberi pengaruh. Pencairan es di kutub akibat pemanasan global mengakibatkan naiknya permukaan laut di daerah tropis.

"Kondisi itu membuat daerah-daerah pantai yang rendah akan terendam," sebut dia.

Untuk mengetahui cuaca saat ini, BMKG pun menyiapkan teknologi informasi prediksi cuaca melalui aplikasi bernama 'infoBMKG'. Sekolah lapang iklim yang digelar hari itu pun dimaksudkan memberi pengetahuan bagi nelayan dan pengguna 'infoBMKG' memahami info cuaca.

Potensi gelombang tinggi diprediksi akan terjadi hingga September mendatang. Di kawasan pantai selatan, gelombang tinggi mencapai 3-5 meter, sedangkan di kawasan pantai utara tinggi gelombang hanya 1-1,5 meter.

"Namun, pada kondisi yang cukup konsisten gelombang tinggi di selatan, celah Selat Sunda bisa memberi kontribusi sehingga di utara (gelombang) agak lebih tinggi sekitar 3 meter," dia menandaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.