Sukses

Raperda KTR Atur Larangan Penjualan Rokok, Pakar Ingatkan Dampak Sosial Ekonominya

Menurut Rizal, pasal-pasal pelarangan penjualan dalam Raperda KTR mengabaikan realitas sosial-ekonomi urban yang selama ini bertumpu pada perputaran sektor informal.

Diterbitkan 05 November 2025, 00:04 WIB
Share
Copy Link
Batalkan
Jadi intinya...
  • Raperda KTR DKI Jakarta dinilai berpotensi menekan pedagang kecil dan ekonomi rakyat.
  • Pelarangan penjualan rokok dapat menurunkan omzet, daya beli, dan meningkatkan pengangguran.
  • Pemprov DKI disarankan transisi fiskal gradual dan edukasi, bukan memangkas penerimaan.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Rizal Taufikurahman menyoroti sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta.

Rizal menilai, diterapkannya zona pelarangan penjualan rokok di radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, perluasan kawasan tanpa rokok hingga pasar tradisional, pasar rakyat bisa menekan aktivitas pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi rakyat.

“Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung,” kata Rizal dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (4/11/2025).

Menurutnya, pasal-pasal pelarangan penjualan dalam Raperda KTR mengabaikan realitas sosial-ekonomi urban yang selama ini bertumpu pada perputaran sektor informal.

“Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah,” ucapnya.

Rizal berujar, proyeksi hilangnya pendapatan daerah hingga 50 persen dari sektor tembakau harusnya menjadi sinyal fiskal serius bagi para pembuat kebijakan di DKI Jakarta. Terlebih, kata dia di tengah efisiensi transfer dana dari pusat.

Dia menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta perlu menempuh strategi transisi fiskal yang gradual, di antaranya memaksimalkan cukai hasil tembakau (CHT) untuk pemberdayaan dan pembangunan.

“Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Diminta Fokus Edukasi

Rizal menambahkan, Raperda KTR DKI Jakarta harus dibahas dengan pendekatan yang adaptif dan proporsional lebih efektif. Anggota Dewan diminta berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap memberikan ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru.

Sebelumnya, Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta telah merampungkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan draf berisi 27 pasal dalam 9 bab.

Selanjutnya, draf yang telah diselesaikan itu akan diberikan kepada Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta.

 

3 dari 3 halaman

Draf Pelarangan Penjualan Rokok

Dalam Raperda itu, zona pelarangan penjualan rokok di radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak tetap dipertahankan, meski sebelumnya mendapat penolakan dari berbagai kelompok pedagang.

Selain itu, pasal pelarangan pemajangan, perluasan kawasan tanpa rokok hingga pasar tradisional, pasar rakyat hingga kewajiban memiliki izin berusaha khusus bagi penjualan rokok juga tetap dipertahankan.

Produksi Liputan6.com