Sukses

KPK Periksa Anggota DPR Vita Ervina Terkait Kasus Syahrul Yasin Limpo

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil anggota DPR Komisi IV Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Vita Ervina, Selasa (28/11/2023).

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil anggota DPR Komisi IV Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Vita Ervina, Selasa (28/11/2023). Dia bakal dimintai keterangan terkait dugaan rasuah di Kementerian Pertanian (Kementan) yang menjerat mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo alias SYL.

"Saksi Vita Ervina, yang bersangkutan sudah hadir jam 10.30 WIB," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (28/11/2023).

Selain Vita, KPK juga memanggil lima saksi lain untuk mendalami perkara ini. Mereka yakni Dirjen Tanaman Pangan Suwandi, Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto, Karo Organisasi dan Kepegawaian Zulkifli, Sespri Sekjen Merdian Tri Hadi, dan Direktur PT Indo Raya Mitra Persada 168 Atik Chandra.

Rumah Vita diketahui pernah digeledah KPK pada Rabu, 15 November 2023. Penyidik menemukan sejumlah dokumen dan bukti elektronik yang diduga berkaitan dengan perkara.

Diketahui, KPK resmi mengumumkan status mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

Selain Syahrul Yasin Limpo, KPK juga menjerat dua anak buah Syahrul Yasin Limpo, mereka yakni Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Awal Mula Kasus

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, awal mula kasus ini saat Syahrul Yasin Limpo menduduki jabatan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengangkat kedua anak buahnya itu menjadi bawahannya di Kementan. Kemudian Syahrul Yasin Limpo membuat kebijakan yang berujung pemerasan dalam jabatan.

"SYL kemudian membuat kebijakan personal kaitan adanya pungutan maupun setoran di antaranya dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi termasuk keluarga intinya," ujar Johanis dalam jumpa pers di gedung KPK, Rabu (11/10/2023).

Johanis menyebut, Syahrul Yasin Limpo menugaskan Kasdi dan Hatta melakukan penarikan sejumlah uang dari unit eselon I dan eselon II dalam bentuk penyerahan tunai, transfer rekening bank hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa.

Sumber uang yang digunakan di antaranya berasal dari realisasi anggaran Kementerian Pertanian yang sudah di mark up, termasuk permintaan uang pada para vendor yang mendapatkan proyek di Kementerian Pertanian.

"Atas arahan SYL, KS dan MH memerintahkan bawahannya mengumpulkan sejumlah uang dilingkup eselon I, para Direktur Jenderal, Kepala Badan hingga Sekertaris dimasing-masing eselon I dengan besaran nilai yang telah ditentukan SYL dengan kisaran besaran mulai USD4 ribu hingga USD10 ribu," kata Johanis.

 

3 dari 3 halaman

Penerimaan Uang Melalui Orang Kepercayaan SYL

Penerimaan uang melalui Kasdi dan Harta sebagai representasi sekaligus orang kepercayaan Syahrul Yasin Limpo dilakukan secara rutin tiap bulan dengan menggunakan pecahan mata uang asing.

"Penggunaan uang oleh SYL yang juga diketahuai KS dan MH antara lain untuk pembayaran cicilan kartu kredit dan cicilan pembelian mobil Alphard milik SYL," kata Johanis.

Selain untuk cicilan kartu kredit dan Alphard, KPK menyebut uang itu juga digunakan untuk umrah para pejabat di Kementan dan untuk kebutuhan keluarga Syahrul Yasin Limpo.

"Sejauh ini uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sejumlah sekitar Rp13,9 miliar dan penelusuran lebih mendalam masih terus dilakukan tim penyidik," Johanis menandaskan.

Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan Tersangka SYL turut pula disangkakan melanggar pasal 3 dan atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.