Sukses

HEADLINE: Draft Final RKUHP Ancam Penghina Presiden dan Wapres 3,5 Tahun Bui, Pasal Karet?

Pemerintah kembali memasukkan pasal pidana terhadap penghina Presiden dan Wapres pada draft final RKUHP. Padahal pasal ini menjadi salah satu isu krusial yang ditolak masyarakat pada 2019 lalu hingga memaksa DPR menunda pembahasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyerahkan draft final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI. Rancangan undang-undang ini masih menjadi sorotan setelah sempat memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat pada 2019 lalu.

Hingga akhirnya DPR dalam rapat paripurna terakhir yang digelar pada 30 September 2019 memutuskan menunda pembahasan RUU KUHP. Ketua DPR sekaligus pimpinan sidang saat itu Bambang Soesatyo menyatakan bahwa RKUHP menjadi salah satu dari lima RUU yang ditunda dan akan dilanjutkan atau carry over pada periode berikutnya. 

Kini setelah hampir tiga tahun berselang, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah akhirnya menyerahkan draft final RKUHP kepada DPR untuk dibahas. Setidaknya ada tujuh hal yang dilakukan pemerintah dalam revisi atau penyempurnaan RKUHP tersebut, salah satunya soal 14 isu krusial.

"Terkait 14 isu krusial berdasarkan hasil diskusi publik yang diselenggarakan di 12 kota di Indonesia. Tim pembahasan RKUHP telah menjelaskan dan menyampaikan isu krusial RKUHP yang meliputi ada 14 isu," kata Eddy --sapaan akrab Edward-- di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (6/7/2022).

Salah satu isu krusial yang masih dipertahankan dalam draf final RKUHP ini adalah Pasal tentang penyerangan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres).

Berdasarkan draft final RKUHP yang diperoleh Liputan6.com, pasal tentang penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wapres ini tertuang dalam BAB II. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut:

Bagian Kesatu

Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 217

Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Bagian Kedua

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 218

(1) Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden. 

Wamenkumham mengungkapkan, dalam draft terbaru ada penjelasan tambahan mengenai perbedaan kritik dan penghinaan.

"Jadi, kami menambahkan di penjelasan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden," ucap Eddy. 

Eddy menyebut kritik diperbolehkan selama bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan dilakukan dengan cara yang objektif. 

Kritik boleh mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat. Namun kritik tidak boleh dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat presiden dan wapres.

"Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wapres yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut," jelas Eddy.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden seharusnya dihapus dalam RKUHP.

“Soal penghinaan terhadap lembaga kepresidenan ini seharusnya ditiadakan ketika kita telah memilih sebagai negara demokrasi. Tindak pidana yang dilakukan terhadap presiden selaku manusia Indonesia sudah diakomodasi dalam pasal-pasal KUHP yang lain,” kata Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (7/7/2022).

Fickar menyebut, pasal tentang penyerangan terhadap martabat presiden dan wapres ini sangat berpotensi menjadi pasal karet dan memunculkan sikap berlebihan aparat penegak hukum.

“Jika tetap diadakan sudah dapat diperkirakan akan menjadi pasal karet dalam pelaksanaannya. Karena bagaimanapun juga, presiden itu lembaga politik yang sangat mungkin dalam kerangka menjaganya akan melahirkan sikap over acting petugas,” ucapnya.

Meski menjadi delik aduan, Fickar meyakini pasal tersebut tetap saja akan membawa masalah.

“Delik biasa atau delik aduan tidak berpengaruh, karena penegakannya akan didasari pada 'kehendak' presiden. Dalam konteks politik dan kekuasaan akan sulit membedakan kritik dan penghinaan, karena akar feodalisme pada masyarakat kita belum terkikis habis, bahkan tumbuh subur dalam beberapa sisi kehidupan. Pola relasi atasan bawahan (paternalisme) itu sulit dirasionalisasi, apalagi sikap ini sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita, terkadang hukum pun bisa dikalahkan,” jelas dia.

Selain itu, ia menyebut, dalam pelaksanaannya akan sulit membedakan antara kritik dan penghinaan.

“kritik tidak dapat dipidana. Persoalannya sulit memisahkan atara ide, pelaksanaan ide atau program dengan orangnya, sehingga dalam konteks kekuasaan sering baur antara kritik dengan penghinaan pada praktiknya. Di situlah sifat subjektifitas politis sering memainkan peran dominan,” katanya.

Ia memprediksi akan ada gelombang besar penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah di RKUHP, sama seperti pada 2019 lalu. Untuk itu, ia meminta pemerintah melakukan sosialisasi secara masif.

“Sangat mungkin (banyak penolakan) jika tidak ada upaya serius pemerintah untuk menggencarkan sosialisasi RUU-nya. Sosialisasi harus dilakukan terus menerus terutama pada ketentuan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, dengan memberi pengertian tentang pentingnya KUHP buatan Indonesia,” ujar Abdul Fickar memungkasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masih Banyak Pasal Karet

Hal senada juga disampaikan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani, mewakili Koalisi Masyarakat Sipil. Dia menyatakan bahwa penyusun draf RKUHP hanya memainkan diksi, namun poinnya tetap sama yakni mengekang kebebasan sipil.

"Ini eranya membuat undang-undang seperti puisi, jadi dia nggak ngomong langsung tapi maknanya kita tahu. Pertama dia bilang ini bukan penghinaan kok, tapi penyerangan terhadap harkat dan martabat. Kita lihat dari awal konsepnya udah salah, jadi mau ngeles dalam bentuk apapun udah salah," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (7/7/2022).

Dia menjelaskan bahwa harkat dan martabat itu kaitannya adalah personal atau pribadi. Sementara Presiden dan Wapres adalah lembaga negara. Sehingga, menurut dia, Presiden dan Wapres tidak memiliki harkat dan martabat, yang ada adalah tugas dan wewenang.

"Kedua, merendahkan atau merusak nama baik, ini jelas pribadi. Merendahkan itu maksudnya seperti apa? Kehormatannya yang tadinya tingginya 10 meter jadi 5 meter? Itu ukuran absurd juga," ucap Julius.

Lebih lanjut, PBHI Nasional juga menyoroti Pasal 218 ayat (2) yang menyatakan bahwa kritik demi kepentingan umum tidak termasuk dalam kategori tindak pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wapres. Namun kritik yang diperbolehkan harus bersifat konstruktif dan memberikan solusi atau jalan keluar.

"Ini udah luar biasa kelirunya, seolah mengatakan 'udah lu kalau bukan lu yang ngerjain lu jangan ngoceh' intinya gitu. Kenapa? Karena solusi dan jalan keluar itu tugasnya si pejabatnya, bukan tugas masyarakatnya (yang memberi kritik)," ujar Julius.

"Jadi kan pemilihan kata-katanya saja. Diksinya berbeda, tapi maknanya sama kriminalisasi terhadap kebebasan sipil untuk mengkritik pejabat negara, itu poinnya," sambung dia.

Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bukan satu-satunya pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil, setidaknya masih ada 24 isu krusial di dalam draft RKUHP, antara lain soal kohabitasi, penyebaran kondom, pemidanaan terhadap living law atau hukum adat, hingga contempt of court.

"Contempt of court ini sangat menimbulkan ketidakpastian hukum setiap orang. (Misal) dalam persidangan itu harus bertutur kata sopan. Sopan itu apa aturannya? Saya bisa bilang Anda berbicara dengan saya tidak sopan, sementara Anda bilang sudah sopan. Ini kan perspektif subjektif yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan sampai sekarang pasal itu masih ada," kata Julius.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan gelombang penolakan terhadap RKUHP kembali terjadi seperti pada 2019 lalu. Menurut dia, respons tersebut sangat wajar karena kebebasan sipil dan hak warga negara yang dijamin konstitusi justru didegradasi dengan RKUHP. 

"Karena ini menunjukkan supremasi kekuasaan atau supremasi penguasa. Kekuasaan ini dengan sendirinya akan menyerang masyarakat sipil. Mereka (rakyat) membayar pajak untuk kerja-kerja pemerintah yang menghasilkan sesuatu (produk hukum) yang malah hendak memenjarakan mereka. Ini lucu. Jadi sudah wajar masyarakat sipil di manapun marah berteriak dan kemudian menolak isi RKUHP," ucapnya.

Selain itu, Julius menilai bahwa penyusunan RKUHP ini masih jauh dari cita-cita para pendahulu yang ingin Indonesia memiliki KUHP produk bangsa sendiri, bukan warisan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

"Kalau yang sekarang (KUHP) katanya kan ini dari era kolonial, tapi draft (RKUHP) yang kemarin ini sih bukan dekolonialisasi, tapi 'demi' kolonisasi. Paling sederhana kita lihat, ini (RKUHP) wataknya kolonial, karena mengagung-agungkan kekuasaan dan penguasa memenjarakan rakyatnya," ujarnya.

"Jadi apakah ini produk dari anak bangsa? Tidak. Ini sama sekali bukan produk anak bangsa," kata Julius menandaskan.

 

3 dari 3 halaman

Penantian Setengah Abad Lebih

Penantian akan lahirnya KUHP yang benar-benar hasil karya bangsa sendiri sudah berlangsung lama. Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional yang segera disahkan lahir lebih setengah abad silam, yakni saat berlangsung Seminar Hukum Nasional I di Semarang.

Dalam seminar yang berlangsung pada 1963 tersebut muncul berbagai masukan untuk KUHP asli Indonesia. Antara lain, perlunya perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, juga kesusilaan.

Gagasan ini lahir karena selain KUHP yang ada merupakan produk pemerintahan kolonial yang sejumlah pasalnya tak bisa dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan jajahan, juga lantaran perlu ada aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.

Sumber KUHP sendiri adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.

Pemerintah kemudian merespons hasil seminar dengan membentuk sebuah tim perumus. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro Prof Soedarto. Tim beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia.

Mereka antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, dan J.E. Sahetapy.

Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain dengan melibatkan Prof Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, dan Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.

Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda, menghilangkan Buku III dan membuat penjelasan setiap pasal. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda untuk memberi masukan RKUHP. Keduanya, yaitu Prof D Schaffmeister dan Prof N Keijzer dari Universitas Leiden.

Pada 1986 penyusunan Buku I yang berisi asas-asas dan penjelasan pasal-pasal selesai yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Buku II, yakni dengan memasukkan pasal yang dinilai tim masih relevan ke dalam buku II, yang mengatur tindak pidana berikut ancaman pidananya.

Saat Menteri Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut.

Akhirnya pada 1993 Ketua Tim, saat itu dipegang Mardjono Reksodiputro menyerahkan naskah lengkap RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Mardjono menjadi ketua tim sejak 1987 hingga 1993.

Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, peraktis tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP itu. Bisa disebut, hampir selama lima tahun RKUHP ini hanya tersimpan di Kementerian Kehakiman. RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan lagi ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman.

Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. RKUHP ini juga pernah diberikan ke DPR. Baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP. Benny K Harman dari Fraksi Demokrat memimpin Panitia Kerja pembahasan RKUHP.

Pada 5 Juni 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR dan pemerintah sepakat merampungkan pembahasan itu dalam tempo dua tahun yaitu sampai akhir 2017 yang akhirnya terlewati.

RKUHP nyaris bisa disahkan pada 2019, namun akhirnya ditunda karena banyaknya gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. DPR akhirnya menunda pembahasan.

Setelah hampir tiga tahun kemudian, pemerintah akhirnya menyerahkan draft revisi RKUHP kepada Komisi III DPR. Meski begitu, belum ada kepastian kapan RKUHP bakal dibawa ke paripurna.

Jika dihitung dari Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963 silam, maka pembahasan RKUHP sudah memakan waktu sekitar 59 tahun. Jika nanti disahkan, maka inilah RUU yang paling lama pembuatannya dalam sejarah bangsa Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.