Sukses

Sederet Hal Menarik di MA Goes to Campus 2021, Bedah UU ITE Hingga Keistimewaan Profesi Hakim

Mengundang sejumlah mahasiswa/mahasiswi dari berbagai Universitas di Yogyakarta, MA Goes To Campus menjadi wadah edukasi sekaligus diskusi seputar UU ITE, kebebasan berekspresi di media sosial, serta mengetahui perkembangan Mahkamah Agung.

Liputan6.com, Jakarta MA Goes to Campus bertema 'Bedah UU ITE: Kebebasan Berekspresi Dalam Media Sosial" yang secara hybrid di Ballroom Hotel Royal Ambarrukmo Kamis (7/10) dan dapat disaksikan secara online di Vidio pada Sabtu (16/10) kemarin berlangsung menarik dan menambah wawasan. 

Mengundang sejumlah mahasiswa/mahasiswi dari berbagai Universitas di Yogyakarta, MA Goes To Campus menjadi wadah edukasi sekaligus diskusi seputar UU ITE, kebebasan berekspresi di media sosial, serta mengetahui perkembangan Mahkamah Agung. 

MA Goes to Campus 2021 menghadirkan narasumber diantaranya Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Dr. Riki Perdana Raya Wawuru, SH. MH; Senior Manager Creative Planning & Strategy Emtek Digital, Evanggala Rasuli; Content Creator dan Musician, Fathia Izzati. 

Keberadaan UU ITE di Indonesia

Dalam pemaparannya, Dr. Riki Perdana Raya Wawuru, SH. MH menyebutkan bahwa ada beberapa faktor UU ITE keberadaannya sangat diperlukan. Pertama adalah terkait pembangunan nasional berkelanjutan. 

"Ketika kita sebutkan Indonesia akan melanjutkan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Maka harus diatur bagaimana tata kelola informasi dan teknologi," ujar Riki. 

Kedua, karena Indonesia merupakan bagian dari masyarakat informasi dunia. 

"Kita bisa contoh Korea Utara yang menutup diri, mereka terbatas pengetahuan dan pengembangan dan lain sebagainya. Karena Indonesia negara terbuka maka perlu pengaturan UU ITE," kata Riki. 

Selain kedua hal tersebut masih alasan lain UU ITE diperlukan diantaranya adalah untuk pengelolaan informasi dan transaksi elektronik, lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru, hingga pemanfaatan TI dalam perdagangan anak, komunikasi, belajar dan lain sebagainya. 

Adapun jenis pelanggaran UU ITE yang dipaparkan oleh Riki diantaranya penipuan, penghinaan atau pencemaran nama baik, hak cipta, berita bohong hingga perjudian. 

Selain mengulas beberapa kasus yang terkait UU ITE, MA Goes to Campus 2021 menghadirkan sejumlah paparan menarik. Berikut ulasannya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Personal Branding

Pada kesempatan ini, Fathia Izzati secara khusus mengulas tentang cara membuat Personal Branding dan tips agar tidak terjerat UU ITE. 

Fathia menyebutkan Personal Branding itu bagaimana seseorang mengembangkan dan memaksimalkan potensi atau keterampilan diri (skill), perilaku (behaviour) dan memahami nilai unggul (value) apa yang ingin dilakukan dan ingin dicapai dalam dirinya. 

Menurutnya, di era saat ini memiliki personality berbeda secara real dan online itu sangat wajar. 

"Diinternet kita bebas membuat persona yang baru, baik buruknya tergantung kita yang mengaturnya," ujar Fathia. 

Terkait kebebasan berekspresi di media sosial, Fathia mengingatkan untuk berhati-hati dalam memposting sesuatu. Sebab apa yang diutarakan di internet tanpa sadar bisa jadi personal branding. 

"Kalian harus hati-hati dengan apa yang kalian post. Jejak digital itu akan selama ada internet. Memang sudah dihapus tapi bisa saja sudah ada orang yang save," ujarnya. 

Agar tidak terjebak UU ITE, seseorang perlu melihat kembali tujuan memposting sesuatu.

"Kalau kita menyampaikan penilaian, pendapat, hasil evaluasi dan sebuah kenyataan itu tidak bisa dikriminalisasi," ujarnya. 

Menurutnya keberadaan UU ITE diperlukan sebab saat ini sudah banyak berubah yang seiring perkembangan teknologi informasi. Misalnya penyebaran berita hoax, pembobolan situs dan akun, pengaturan transaksi elektronik hingga tanda tangan digital yang telah diakui.

3 dari 6 halaman

2. Creative Expression & Boundaries

Sebagai pelaku industri media digital, Evanggala Rasuli memaparkan tentang Creative Expression & Boundaries. 

Menurutnya UU ITE dapat menjadi sesuatu yang baik, selama sebagai profesional melihat segala sesuatunya dengan konteks. Seperti halnya, hakim yang hebat itu bisa menggunakan pikiran dan hatinya. 

Di mata media konteksnya seperti apa supaya bisa menghadapi atau mengikuti UU ITE, Gala menyebut setidaknya ada tiga hal penting yakni. Fact Check, Focus on the content impact, dan Consensual content. 

"Ini sangat penting dalam konten dan kehidupan nyata. Bukan sekadar membuat konten, tapi orang lain terganggu gak dengan konten kita. Di media itu paling penting consensual content," ujarnya. 

Lebih lanjut ia mengatakan UU ITE itu tidak jahat, tapi membantu kita untuk meregulasi yang bisa terjadi di dunia digital. 

"Supaya konten kita tidak terlalu bebas tetapi punya impact yang bagus dan makna bagus," imbuhnya.

4 dari 6 halaman

3. Penguatan Motivasi Mahasiswa

Menghadapi tantangan zaman dan dunia praktisi, penguatan motivasi mahasiswa sangat penting. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa ada beberapa hal yang perlu dipahami. 

Dr. Riki Perdana Raya Wawuru, SH. MH menyampaikan "Masa depan seseorang ditentukan dari bagaimana ia mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan kebutuhan zaman, bukan sekadar lulus dan puas dengan nilai-nilai".

Sejumlah motivasi itu antara lain menjadi sarjana, lanjut kuliah, kerja, memiliki penghasilan dan menggapai mimpi. 

"Semakin  banyak tanamkan motivasi untuk lulus, dengan begitu memiliki tekad kuat untuk kemudian mempersiapkan masa depan lagi," ujarnya.

 

5 dari 6 halaman

4. Hakim dan Segala Keistimewaannya

Riki Perdana mengatakan mahkota hakim terletak pada putusannya.Di dalam putusan hakim ada irah-irah, Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

"Itu artinya, putusan hakim dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan, kepada masyarakat dan pencari keadilan. Jadi tidak main-main," ujarnya. 

Kenapa ada irah-irah? Karena putusan hakim bisa menentukan seseorang itu hidup atau mati. Bisa memutuskan apakah seseorang itu diputuskan bebas atau terkurung. Bisa menentukan apakah tanah itu milik Si A dan Si B. 

"Satu-satunya instansi yang bisa menentukan hak hidup dan menentukan hak properti sah tidaknya adalah putusan hakim," kata Riki. 

Begitu besarnya kekuasaan hakim, maka sangat wajar bila hakim harus memiliki wawasan yang sangat luas. "Hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dasar tidak ada hukumnya, atau kurang jelas dasar hukumnya. Jadi dia harus menemukan hukum," ujarnya. 

Dalam kesempatan tersebut, Riki juga menyampaikan sejumlah privilege atau keistimewaan menjadi seorang hakim. Diantaranya pengaturan khusus dalam konstitusi, statusnya sebagai pejabat negara, memiliki kemandirian dalam menjalan kekuasaan, hingga penghasilan yang mencapai ratusan juta rupiah.

6 dari 6 halaman

5. Mahkamah Agung di Era Digital

Seiring perkembangan zaman, Riki mengatakan bahwa Mahkamah Agung juga melakukan transformasi digital. Sejumlah produk digital yang ada diantaranya;

1. SIPP dan SIAP

2. Direktori Putusan

3. Website/Medsos

4. e-court 

"Sekarang Mahkamah Agung punya e-court dengan adanya e-court maka kemudian ada pemberian akses yang lebih besar kepada pencari keadlian," kata Riki. 

Riki mencontohkan bila pencari keadilan ingin mendaftarkan gugatannya, maka dengan berlakunya e-court bisa mendaftarkan dari gadgetnya. Termasuk untuk panggilan sidang. 

"Oleh karena itu, teman-teman mahasiswa juga punya keharusan untuk mengetahui perkembangan yang ada dari sisi hukum di bidang teknologi yang dikembangkan dalam praktek pengadilan," kata Riki. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.