Sukses

Setara Institute: Polemik TWK KPK Tidak Produktif, Sebaiknya Dihentikan

Hendardi menilai pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat, tetapi juga terkesan mengada-ada.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Setara Institute Hendardi menilai polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini terus bergulir tak perlu diperpanjang. 

"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka," kata Ketua Setara Institute Hendardi kepada wartawan, Kamis (10/6/2021).

Hendardi menilai seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lainnya tidak terseret dalam kasus yang kendati cepat populer, tapi bukan merupakan bagian mandatnya. Dia berpendapat bahwa hukum itu adalah mekanisme bernegara dan demokratis yang tersedia.

"Bukan dengan manuver-manuver politik picisan seperti ke PGI atau MUI atau lainnya. Ini sejatinya persoalan tidak lulus, bukan soal agama. Ngapain harus ke lembaga-lembaga agama misalnya," katanya.

Menurut dia, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat, tetapi juga terkesan mengada-ada karena seperti hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Hendardi memperkirakan jumlahnya kurang dari 5,4% dari total pegawai KPK.

Hendardi melanjutkan, TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN). TWK merupakan perintah undang-undang dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

"Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana. Pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM," ujar Hendardi.

Menurut dia, seharusnya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.

"Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM?" imbuhnya.

Dia berpendapat bahwa dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM. Sehingga Komnas HAM tidak bisa dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan kepentingan apapun. 

"Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights)," katanya.

Dia menambahkan bahwa dalam persoalan alih status menjadi ASN di manapun, sangat wajar jika pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena, lanjut dia, untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.

"Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4%) yang menuntut diistimewakan," kata Hendardi.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Setuju Pancasila Tidak Lulus

Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi. Misalnya seseorang tidak diluluskan karena dicurangi atau diskriminasi atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya.

"Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid," katanya.

Diketahui, ada sembilan poin yang membuat karyawan KPK tidak lulus TWK. Antara lain mengakui setuju Pancasila diubah dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI. Mengenai hal tersebut, Pakar Hukum Petrus Selestinus menilai sudah sepatutnya para pegawai KPK yang setuju Pancasila diubah dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI, tidak lulus uji menjadi ASN.

"Mereka sudah sepatutnya dan sangat berlasan hukum untuk dinyatakan tidak lulus. Organisasinya saja dibubarkan karena tidak sepakat dengan ideologi Pancasila, bahkan orangnya bisa dipidana," kata Petrus.

Menurut Petrus, TWK itu wajib diikuti seluruh calon pegawai bahkan pegawai yang hendak naik pangkat atau jabatan, meski menggunakan istilah berbeda. "Juga harus diingat ASN itu wajib memiliki karakter nilai dasar, kode etik dan kode perilaku yang menjadi prinsip dasar seluruh ASN," kata Petrus.

Petrus berharap KPK setelah ada TWK bisa bersih dari orang-orang yang menyimpang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.