Sukses

Polemik Siswi Nonmuslim Wajib Berjilbab, Disebut Intoleransi hingga Langgar HAM

Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, aturan yang mewajibkan siswi nonmuslim memakai jilbab merupakan bentuk intoleransi atas keberagamaan.

Liputan6.com, Jakarta - SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat tengah menjadi sorotan. Penyebabnya, ada aturan yang mewajibkan siswi nonmuslim mengenakan jilbab.

Kasus ini tersingkap ke khalayak lewat unggahan video viral di media sosial Facebook. Video itu menunjukkan sebuah adu argumen antara orangtua siswa dengan Wakil Kepala SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat soal aturan jilbab.

Video itu diunggah oleh akun Facebook Elianu Hia pada 20 Januari 2021. Ia merupakan orangtua dari siswi yang diminta mengenakan jilbab oleh pihak sekolah. Dalam video itu ia menyampaikan keberatan, karena sebagai nonmuslim ia merasa terganggu dengan aturan tersebut.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai, kewajiban tersebut terlalu berlebihan dan mengancam kebhinekaan. Kasus ini pun dinilai intoleransi.

"Kami sangat prihatin dengan fenomena maraknya sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Banyak tenaga-tenaga pendidik yang tidak tepat dalam mengajarkan semangat keberagamaan di kalangan siswa," ujar Syaiful Huda, Sabtu 23 Januari 2021.

Huda mengatakan, fenomena di Sumbar bukanlah kejadian pertama yang menunjukkan menguatnya sikap intoleransi di sekolah-sekolah negeri.

"Kejadian-kejadian tersebut cukup memprihatinkan karena diduga dilakukan oleh tenaga kependidikan di sekolah negeri yang harusnya mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila dengan inti penghormatan terhadap nilai kebhinekaan," kata dia.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, pihak sekolah tidak boleh membuat peraturan kewajiban penggunaan seragam model agama tertentu.

"Sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah, apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik," ujar Nadiem dalam keterangannya, Minggu 24 Januari 2021.

Nadiem menyebut, tindakan Kepala SMKN 2 Padang yang mewajibkan siswi nonmuslim mengenakan jilbab merupakan suatu pelanggaran. Hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

"Hal tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagamaan, sehingga bukan saja melanggar peraturan undang-undang, melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan," kata Nadiem.

Dia memastikan pihaknya tidak akan mentolelir aksi pelanggaran yang dilakukan pihak sekolah tersebut. Pihaknya langsung mengambil tindakan pasca-menerima laporan kejadian kepala sekolah SMKN 2 Padang yang mewajibkan siswi nonmuslim memakai jilbab saat kegiatan belajar-mengajar.

Ia meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk memberikan sanksi terhadap pihak yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut. Bahkan, Nadiem meminta sanksi pencopotan jabatan bisa diberikan kepada pihak yang terbukti terlibat.

Saksikan video pilihan di bawah ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

KPAI Sebut Pelanggaran HAM

Reaksi tegas juga ditunjukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga itu menilai kasus siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang yang dipaksa mengenakan jilbab merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut dia, pihak sekolah tidak boleh melarang dan memaksa peserta didiknya untuk mengenakan jilbab.

"Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab jelas melanggar HAM. Namun, memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dikutip dari siaran persnya, Minggu (24/1/2021).

Dia mengatakan sekolah negeri seharusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Terlebih, sekolah negeri merupakan sekolah pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk.

"KPAI prihatin dengan berbagai kasus di beberapa sekolah negeri yang terkait dengan intoleransi dan kecenderungan tidak menghargai keberagaman, sehingga berpotensi kuat melanggar hak-hak anak," kata dia.

"Seperti kasus mewajibkan semua siswi bahkan yang beragama non-islam untuk mengenakan jilbab di sekolah," sambung Retno.

Terkait peristiwa tersebut, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya. Retno menekankan pentingnya pemberian sanksi untuk memberikan efek jera, meski hanya surat peringatan.

KPAI juga mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meningkatkan sosialisasi Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan secara masif.

Kemudian, memberikan edukasi kepada para guru dan kepala sekolah untuk memiliki perspektif HAM. "Terutama pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik," ucap Retno.

3 dari 4 halaman

Jangan Ada Pemaksaan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menekankan bahwa tidak boleh ada pemaksaan pemakaian jilbab pada siswi nonmuslim di sekolah.

Dia mengatakan pada akhir 1970-1980 anak-anak sekolah dilarang memakai jilbab. Namun, kala itu masyarakat menentang aturan tersebut kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).

"Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah," kata Mahfud melalui akun twitternya @mohmahfudmd, Minggu (24/1/2021).

Menurut dia, hingga akhir 1980 memang terdapat diskriminasi terhadap orang Islam di Indonesia. Kendati begitu, perjuangan yang kuat dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya membuat Islam menguat di tanah air.

"Berkat perjuangan yang kuat dari NU Muhammadiyah dan lain-lain, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat," jelasnya.

Saat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri pada awal 1990, Mahfud mengatakan masjid dan majelis taklim tumbuh. Bukan hanya di berbagai kantor pemerintah, namun juga di kampus-kampus.

Kemudian, pada awal 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bahder Djohan membuat kebijakan di mana sekolah umum dan sekolah agama mempunyai 'civil effect' yang sama. Mahfud menilai kebijakan tersebut kini menunjukkan hasilnya.

"Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah "wasarhiyah Islam": moderat dan inklusif," tutur Mahfud.

 

4 dari 4 halaman

Pernyataan pihak sekolah

Setelah kasus ini bergulir cukup besar, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi menyampaikan klarifikasinya. Ia mengatakan tidak ada paksaan kepada siswi nonmuslim untuk menggunakan jilbab, hanya saja dalam tata tertib sekolah memang ada disebutkan pada hari Jumat siswa/i memakai baju muslim.

"Saya sebagai kepala sekolah memohon maaf, yang kami takutkan karena kejadian ini kemudian ada gesekan antarumat beragama. Padahal tidak ada maksud seperti itu," katanya, Jumat (22/1/2021).

Menurutnya yang menghadapi orang tua dan siswi dalam video yang viral di media sosial Facebook tersebut merupakan bawahannya, yakni Wakil Kepala Kesiswaan SMKN 2 Padang, Zakri Zaini dan seorang guru Bimbingan Konseling (BK).

Ke depan, ia akan menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan dengan orangtua siswi. Kemudian juga akan mengubah aturan terkait tata berpakaian.

"Kami tidak membedakan siswa/i baik itu yang muslim dan nonmuslim, semuanya anak didik kami," jelasnya.

Di SMKN 2 Padang terdapat 46 siswa nonmuslim. Selain siswi yang viral saat ini, siswi nonmuslim lainnya memakai jilbab ketika sekolah.

Kepala Dinas Pendidikan Sumbar, Adib Alfikri menegaskan bahwa tidak ada aturan yang memberlakukan pelajar nonmuslim wajib memakai jilbab.

Menyikapi persoalan yang terjadi di SMKN 2 Padang, Dinas Pendidikan Sumbar sudah mengirim tim untuk mengumpulkan data dan informasi di lapangan.

"Jika memang ada yang dilanggar oleh pihak sekolah, saya siap memberi sanksi tegas," ujar Adib.

Persoalan ini, lanjutnya masih dalam ranah tanggung jawab pihak kepala sekolah. Dinas pendidikan masih menunggu hasil tim yang turun untuk proses selanjutnya.

Selain itu, ia menyebut tidak ada maksud sektor pendidikan melakukan atau memberikan semacam sikap, apalagi bentuknya berupa pemaksaan. Apalagi ini menyangkut agama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.