Sukses

Respons KPAI hingga Mendikbud Soal Viral Siswi SMKN 2 Padang Dipaksa Pakai Jilbab

Mendikbud Nadiem Makarim menyebut, pihaknya langsung mengambil tindakan usai menerima laporan kejadian siswi nonmuslim wajib pakai jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat.

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini SMK Negeri atau SMKN 2 Padang, Sumatera Barat menjadi sorotan. Hal itu lantaran beredar sebuah video yang memperlihatkan adu argumen antara pihak sekolah dan salah satu wali murid soal kewajiban memakai jilbab.

Pasalnya, salah satu orangtua murid EH, tak terima saat SMKN 2 Padang meminta anaknya mengenakan jilbab. Sebab, mereka nonmuslim.

Video tersebut diunggah di media sosial dan hingga Jumat 22 Januari 2021 telah dikomentari 5,8 ribu warganet dan dibagikan 3,5 ribu kali.

Beragam tanggapan pun bermunculan usai video SMKN 2 Padang tersebut viral. Salah satunya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md.

Mahfud menekankan, tidak boleh ada pemaksaan pemakaian jilbab kepada siswi nonmuslim di sekolah. Dia mengatakan pada akhir 1970-1980 anak-anak sekolah dilarang memakai jilbab. Namun, kala itu masyarakat menentang aturan tersebut kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).

"Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah," kata Mahfud melalui akun twitternya @mohmahfudmd, Minggu (24/1/2021).

Tak hanya Menko Polhukam, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim juga angkat bicara.

Menurut dia, pihaknya langsung mengambil tindakan usai menerima laporan kejadian di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat.

Berikut beragam tanggapan yang bermunculan dari berbagai pihak terkait video viral siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang diwajibkan memakai jilbab dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

KPAI

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kasus siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang yang dipaksa mengenakan jilbab merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut dia, pihak sekolah tidak boleh melarang dan memaksa peserta didiknya untuk mengenakan jilbab.

"Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab jelas melanggar HAM. Namun, memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dikutip dari siaran persnya, Minggu (24/1/2021).

Dia mengatakan sekolah negeri seharusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Terlebih, sekolah negeri merupakan sekolah pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk.

"KPAI prihatin dengan berbagai kasus di beberapa sekolah negeri yang terkait dengan intoleransi dan kecenderungan tidak menghargai keberagaman, sehingga berpotensi kuat melanggar hak-hak anak," katanya.

"Seperti kasus mewajibkan semua siswi bahkan yang beragama non-islam untuk mengenakan jilbab di sekolah," sambung Retno.

Terkait peristiwa tersebut, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya. Retno menekankan pentingnya pemberian sanksi untuk memberikan efek jera, meski hanya surat peringatan.

KPAI juga mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meningkatkan sosialisasi Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan secara masif.

Kemudian, memberikan edukasi kepada para guru dan kepala sekolah untuk memiliki perspektif HAM. "Terutama pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik," ucap Retno.

 

3 dari 4 halaman

Menko Polhukam

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menekankan bahwa tidak boleh ada pemaksaan pemakaian jilbab kepada siswi nonmuslim di sekolah.

Hal ini disampaikan Mahfud Md, setelah kasus siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat yang dipaksa mengenakan jilbab menjadi sorotan publik.

Dia mengatakan pada akhir 1970-1980 anak-anak sekolah dilarang memakai jilbab. Namun, kala itu masyarakat menentang aturan tersebut kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).

"Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah," kata Mahfud melalui akun twitternya @mohmahfudmd, Minggu (24/1/2021).

Menurut dia, hingga akhir 1980 memang terdapat diskriminasi terhadap orang Islam di Indonesia. Kendati begitu, perjuangan yang kuat dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya membuat Islam menguat di tanah air.

"Berkat perjuangan yang kuat dari NU Muhammadiyah dan lain-lain, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat," jelasnya.

Saat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri pada awal 1990, Mahfud mengatakan masjid dan majelis taklim tumbuh. Bukan hanya di berbagai kantor pemerintah, namun juga di kampus-kampus.

Kemudian, pada awal 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bahder Djohan membuat kebijakan di mana sekolah umum dan sekolah agama mempunyai 'civil effect' yang sama. Mahfud menilai kebijakan tersebut kini menunjukkan hasilnya.

"Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah "wasarhiyah Islam": moderat dan inklusif," tutur Mahfud.

 

4 dari 4 halaman

Mendikbud

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan pihaknya langsung mengambil tindakan usai menerima laporan kejadian di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Laporan terkait polemik siswi nonmuslim yang disuruh memakai busana muslimah atau jilbab saat kegiatan belajar-mengajar.

"Sejak menerima laporan, Kemendikbud telah berkoordinasi dengan pemda untuk segera mengambil tindakan tegas. Saya mengapresiasi gerak cepat pemda terhadap pihak yang melakukan pelanggaran," ujar Nadiem dalam keterangannya, Minggu (24/1/2021).

Nadiem meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk memberikan sanksi terhadap pihak yang terbukti melakukan pelanggaran mengenai siswi nonmuslim harus memakai jilbab tersebut. Bahkan, Nadiem meminta sanksi pencopotan jabatan bisa diberikan kepada pihak yang terbukti terlibat.

"Selanjutnya saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan," kata Nadiem.

Nadiem menyatakan, tindakan mewajibkan penggunaan jilbab dalam sekolah merupakan bentuk pelanggaran. Nadiem menyebut, tindakan tersebut sama dengan melanggar nilai-nilai Pancasila.

"Hal tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagamaan, sehingga bukan saja melanggar peraturan undang-undang, melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan," ucap dia.

Kemudian, Nadiem menekankan, dalam Pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia disebutkan setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua atau wali.

Kemudian dalam Pasal 4 ayat 1 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keamanan, nilai kultular, dan kemajemukan bangsa.

Dalam Pasal 3 ayat 4 Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jejang Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.

"Maka sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik," kata Nadiem.

Menurut Nadiem, hal tersebut merupakan bentuk intoleransi atas keberagamaan, sehingga bukan saja melanggar peraturan undang-undang, melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan.

Nadiem memastikan pemerintah tidak akan mentolelir pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi tersebut.

"Kemendikbud akan terus berupaya mencegah praktik intoleransi di sekolah, sebagai tindakan konstruktif, kami akan segera mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline pengaduan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa," jelas Nadiem.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.