Sukses

HEADLINE: Indonesia Terapkan Sanksi untuk Pelanggar Protokol Covid-19, Efektif?

Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Beragam upaya terus dilakukan pemerintah untuk menekan laju penyebaran virus corona (Covid-19). Terbaru, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Inpres tersebut mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Dalam Inpres ini, Jokowi meminta gubernur, bupati, atau wali kota menetapkan dan menyusun peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Sanksi ini berlaku perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab fasilitas umum.

"Sanksi sebagaimana dimaksud berupa teguran lisan atau tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha," tulis Inpres tersebut dikutip Liputan6.com, Kamis, (6/8/2020).

Inpres protokol kesehatan ini diteken Jokowi pada Selasa 4 Agustus 2020. Inpres tersebut mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Efektifkah jurus Jokowi tersebut menekan laju Covid-19?

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengatakan, pemerintah tak boleh tanggung-tanggung dalam menerapkan penindakan atau sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.

"Kalau orang tidak pakai masker di tengah kerumunan, dia membahayakan orang lain. Tangkap orang itu. Kenakan sanksi kalau tidak penjarakan. Kalau tidak, mesti tidak pernah selesai urusan ini," tegasnya kepada Liputan6.com, Kamis (6/8/2020).

Menurutnya, Indonesia seharusnya bisa mencontoh negara tetangga terdekatnya yaitu Malaysia. "Kalau mau seperti Malaysia sekarang. Yang tidak pakai masker kena denda Rp 3,4 juta. Kalau tidak, masuk penjara," katanya.

Jika tidak Malaysia, Indonesia, kata dia, bisa juga menengok cara Jepang dalam hal penggunaan masker untuk mengendalikan Covid-19.  

"Jepang dari dulu orang-orangnya memang sudah budaya masker," kata Ari.

Ari membandingkannya dengan Amerika Serikat. Menurutnya, negara yang dipimpin oleh Donald Trump ini merupakan negara dengan penanganan Covid-19 terparah di dunia.

"Anda lihat saja itu orang di jalan demo tidak pakai masker. Karena komitmen pemerintah tidak tegas dan segala macam. Jadi akhirnya dia paling parah sekarang ini," ujarnya.

Selain penegakan sanksi terhadap masyarakat yang melanggar protokol kesehatan secara individu, ia juga mengatakan penindakan juga harus dilakukan terhadap instansi atau tempat usaha yang membiarkan adanya pelanggaran tersebut.

"Misalnya di instansi-instansi atau di mal-mal dan segala macam, ketika ada orang berkeliaran tidak pakai masker di dalam suatu mal, didiamkan, mestinya kena sanksi malnya," kata dokter spesialis penyakit dalam ini.

"Itu saja sebenarnya sederhana. Kalau cuma mengimbau saja ya susah," pungkasnya.

Infografis 4 Sanksi Pelanggar Protokol Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Daisy Indira Yasmine menilai, pemberlakukan sanksi kepada pelanggar seperti yang tertera dalam Inpres Nomor 6 tahun 2020, tidak cukup untuk membentuk kesadaran masyarakat soal pentingnya menerapkan protokol kesehatan. Sanksi hukum tapi harus dibarengi dengan mekanisme sosialisasi lain.

"Intinya edukasi mengapa kita harus melakukan hal-hal tersebut,” ujar Daisy kepada Liputan6.com, Kamis (6/8/2020).

Selain itu, supaya penerapan protokol kesehatan itu bisa dijalankan oleh seluruh masyarakat, kata Daisy hal mesti dilakukan adalah mempermudah warga untuk menerapkan aturan tersebut.

"Hal ini mencakup aksesibilitas dan 'kemasukakalan' perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari warga," tutur dia.

Menurut Daisy, internalisasi akan kesadaran warga untuk menerapkan protokol kesehatan bisa lebih cepat tercipta dengan melibatkan tokoh internal dalam komunitas masyarakat.

"Baik komunitas permukiman misal kader PKK, Posyandu, kelompok arisan dan lain-lain. Komunitas pasar, komunitas pekerjaan dan lain-lain," ucapnya.

Kendati begitu, keempat jenis sanksi yang dikeluarkan dalam Inpres Jokowi itu masih efektif dijalankan, demi terbentuk sebuah kebiasaan awal di tengah publik.

"Untuk tahap awal pembiasaan menurut saya sanksi yang jelas dapat digunakan, karena ini untuk mensosialisasikan nilai bersama," jelasnya.

Sementara itu jika dibandingkan sanksi yang bersifat online shaming atau mempermalukan pelanggar di internet, menurut Daisy justru kurang efektif. Sebab, menurut dia hal itu bisa saja jadi tak terkendali.

"Sebagai panduan nilai bersama, sanksi hukum yang jelas tetap perlu ada karena kalau tidak, nanti jadi bola liar. Online shaming memang dapat digunakan tetapi bisa menjadi bola liar yang tidak bisa dikontrol. Kita nggak bisa prediksi reaksi netizen. Karena pada intinya masyarakat bisa memilik berbagai pandangan tentang hal ini. Dan itu sah sah saja," paparnya.

Daisy menimbang online shaming dapat efektif jika masyarakat telah memiliki kesadaran bersama tentang nilai anti-Covid-19.

"Perilaku anti-Covid-19 maksudnya perilaku hidup bersih dan sehat. Karena sebenarnya yang kita lawan sekarang harusnya bukan sekedar virus Covid-19 tapi semua jenis penyakit ya," pungkasnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Timbulkan Efek Jera?

 

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menyatakan,  efektif atau tidaknya Inpres Jokowi sangat bergantung pada bagaimana melaksanakannya.

"Sanksi akan efektif kalau dilaksanakan tanpa tebang pilih," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (6/8/2020).

Menurutnya, sebelum ada Inpres beberapa daerah sudah menerapkan aturan sanksi terlebih dahulu. bahkan, di DKI Jakarta  sanksi 250 ribu bagi yang tidak bermasker sudah diberlakukan.

"Artinya daerah itu sudah melakukannya," jelasnya.

Ede mempertanyakan pelaksanaan tindak lanjut Inpres ini nantinya seperti apa. Sebab, gubernur tidak bisa memerintah wali kota atau bupati di wilayahnya.

"Sekarang ada sanksi. Artinya ada tindakan dalam rangka mencegah Covid-19, kalau tidak dilakukan akan diberikan sanksi, kan begitu. Nah sekarang bagimana mekanisme pemberian sanksinya?"

Ede memandang Inpres Jokowi ini hanyalah sebagai bentuk penguat kepada para kepala daerah supaya lebih serius dalam penegakan protokol kesehatan. Namun, tidak tidak menolak jika Inpres ini merupakan sebuah inovasi yang patut diapresiasi.

"Hanya juga perlu dicek juga pembiayaannya pelaksanaan Inpres ini dari mana, sumber dayanya dari mana. Bukan hanya sekedar menerbitkan Inpres tapi juga harus betul-betul jalan," tegasnya.

Terpisah, Pelaksana Harian Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay berharap Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 bisa pemutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia.

"Sanksi yang terdapat di inpres ini kita harapkan dapat menimbulkan efek jera bagi orang-orang yang sering melanggar protokol kesehatan," kata Saleh, Kamis (6/8/2020).

Dia mengajak semua pihak untuk mendukung inpres tersebut, karena bukan untuk kepentingan pemerintah namun untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Saleh menilai, selama ini aturan dan regulasi sudah banyak diterbitkan namun yang masih kurang adalah sanksi tegas terhadap para pelanggar.

"Tidak heran, banyak aturan yang tidak efektif dan tidak dilaksanakan. Orang tidak takut melakukan pelanggaran, karena tidak ada sanksi tegas yang diterapkan," ujarnya.

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu menyoroti ada dua hal terkait Inpres 6/2020, yaitu terkait dengan jenis sanksi dan pembuatan turunan inpres tersebut dalam bentuk peraturan kepala daerah.

Terkait jenis sanksi, menurut dia, inpres tersebut telah menjelaskan bahwa sanksi bagi para pelanggar adalah teguran lisan atau teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, atau penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

"Masalahnya adalah apakah sanksi-sanksi di atas bisa dilaksanakan dengan baik. Lalu, apakah sanksi-sanksi tersebut bisa menimbulkan efek jera," katanya lagi.

Saleh mengatakan, kalau teguran lisan dan tertulis, sudah biasa diterapkan dan saat ini para petugas sudah sering melakukan teguran namun pelanggaran tetap saja terjadi.

"Kalau kerja sosial, bagaimana mengawasinya. Di mana mereka harus dipekerjakan. Begitu juga dengan sanksi administratif yang ada masih perlu diperjelas agar dapat dilaksanakan secara efektif," ujarnya.

Selain itu, anggota Komisi IX DPR RI itu menilai Inpres 6/2020 belum bisa langsung diaplikasikan, karena masih menunggu aturan turunan dalam bentuk peraturan kepala daerah.

Hal itu, menurut dia, tentu akan sangat tergantung koordinasi dengan seluruh provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

"Kalau mau cepat, Menteri Dalam Negeri harus memonitor pembuatan peraturan kepala daerah ini. Kalau perlu, mendagri memberikan batas waktu," ujarnya.

Dia menilai dengan langkah tegas tersebut, turunan Inpres 6/2020 dapat dilaksanakan secara bersamaan di seluruh Indonesia.

 

3 dari 3 halaman

Sanksi Berbasis Kearifan Lokal

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, Inpres Nomor 6 tahun 2020 diterbitkan untuk mendorong mendorong TNI/Polri serta gubenur, bupati dan wali kota untuk meningkatkan sosialisasi secara masif terkait protokol kesehatan.

"Presiden meminta setiap kepala daerah menyusun dan menetapkan peraturan serta sanksi di daerah masing masing berandaskan ketentuan hukum yang ada dan kearifan lokal," ujarnya saat update penanganan Covid-19, Kamis, (6/8/2020).

Wiku menyatakan, pihaknya selaku satgas di jajaran pusat akan terus berkordinasi dengan satgas daerah untuk membantu pelaksanaa Inpres tersebut.

"Kami akan membantu pelaksanaanya karena perlu ketegasan dan peringatan yang humanis sehingga masyarakat dapat mentaatinya," jelasnya.

Wiku berharap masyarakat dapat bekerja sama dalam upaya bersama terhadap protokol kesehatan ini. "Kita ingin pandemi ini secara berakhir," ujarnya.

Wiku pun membeber update kasus Covid-19. Pada Kamis ini (6/8/2020) ada penambahan 1.882 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.

"Total ada 118.753 kasus positif Covid-19 di Indonesia saat ini," ujarnya.

Kemudian, jumlah kasus sembuh bertambah 1.756 orang, sehingga, akumulatifnya ada 75.645 orang sudah berhasil sembuh dan negatif Corona Covid-19.

Sedangkan untuk jumlah pasien meninggal dunia ada 69 orang pada hari ini. Jadi, total akumulatif hingga saat ini, sebanyak 5.521 orang meninggal dunia di Indonesia akibat Corona Covid-19.

Wiku juga membeber sebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia.  Dari jumlah kasus baru tersebut, DKI Jakarta menjadi penyumbang kasus baru Covid-19 paling banyak, yakni sebanyak 556 kasus.

Meski demikian, kasus sembuh di DKI Jakarta juga banyak, yakni sebanyak 246 kasus. Sedangkan kasus meninggal sebanyak 13 orang. Sementara kasus baru Covid-19 tertinggi kedua yakni Jawa Timur, sebanyak 286 dengan jumlah kasus sembuh sebanyak 465, dan meninggal 18 orang.

Sulawesi Selatan menjadi penyumbang kasus tertinggi ketiga, yakni sebesar 182, dengan kasus sembuh 75 dan meninggal 1. Kasus baru di Jawa Tengah sebanyak 115, kasus sembuh 174 dan meninggal 20.

Sumatera Utara 86 kasus baru, 69 sembuh, dan 1 meninggal. Jawa Barat 83 kasus baru, 32 sembuh, 1 meninggal. Kalimantan Selatan 67 kasus baru, 25 sembuh, meninggal nol. Sulawesi Tenggara 59 kasus baru, 56 sembuh, meninggal 0. Sumatera Selatan 49 kasus baru, 94 sembuh, 4 meninggal. Maluku 46 kasus baru, 11 sembuh, dan 2 meninggal.

Berikut rincian sebaran kasus Covid-19 pada Kamis (6/8/2020):

Pasien Positif

1. Aceh 483 orang

2. Bali 3644 orang

3. Banten 1.979 orang

4. Bangka Belitung 197 orang

5. Bengkulu 240 orang

6. Daerah Istimewa Yogyakarta 819 orang

7. DKI Jakarta 23.936 orang

8. Jambi 193 orang

9. Jawa Barat 6.995 orang

10. Jawa Tengah 10.151 orang

11. Jawa Timur 24.115 orang

12. Kalimantan Barat 394 orang

13. Kalimantan Timur 1.701 orang

14. Kalimantan Tengah 1.874 orang

15. Kalimantan Selatan 6.478 orang

16. Kalimantan Utara 291 orang

17. Kepulauan Riau 500 orang

18. Nusa Tenggara Barat 2.224 orang

19. Sumatera Selatan 3.602 orang

20. Sumatera Barat 1.038 orang

21. Sulawesi Utara 2.822 orang

22. Sumatera Utara 4.477 orang

23. Sulawesi Tenggara 951 orang

24. Sulawesi Selatan 10.169 orang

25. Sulawesi Tengah 215 orang

26. Lampung 299 orang

27. Riau 621 orang

28. Maluku Utara 1.582 orang

29. Maluku 1.221 orang

30. Papua Barat 492 orang

31. Papua 3.192 orang

32. Sulawesi Barat 265 orang

33. Nusa Tenggara Timur 152 orang

34. Gorontalo 1.431 orang

Pasien Sembuh

1. Aceh 91 orang

2. Bali 3.168 orang

3. Banten 1.455 orang

4. Bangka Belitung 182 orang

5. Bengkulu 135 orang

6. Daerah Istimewa Yogyakarta 497 orang

7. DKI Jakarta 15.006 orang

8. Jambi 116 orang

9. Jawa Barat 4.252 orang

10. Jawa Tengah 6.309 orang

11. Jawa Timur 16.732 orang

12. Kalimantan Barat 371 orang

13. Kalimantan Timur 1.078 orang

14. Kalimantan Tengah 1.310 orang

15. Kalimantan Selatan 3.730 orang

16. Kalimantan Utara 265 orang

17. Kepulauan Riau 321 orang

18. Nusa Tenggara Barat 1.378 orang

19. Sumatera Selatan 2.009 orang

20. Sumatera Barat 787 orang

21. Sulawesi Utara 1.457 orang

22. Sumatera Utara 1.860 orang

23. Sulawesi Tenggara 664 orang

24. Sulawesi Selatan 7.010 orang

25. Sulawesi Tengah 194 orang

26. Lampung 219 orang

27. Riau 360 orang

28. Maluku Utara 850 orang

29. Maluku 779 orang

30. Papua Barat 345 orang

31. Papua 1520 orang

32. Sulawesi Barat 151 orang

33. Nusa Tenggara Timur 129 orang

34. Gorontalo 915 orang

Meninggal Dunia

1. Aceh 18 orang

2. Bali 48 orang

3. Banten 94 orang

4. Bangka Belitung 2 orang

5. Bengkulu 20 orang

6. Daerah Istimewa Yogyakarta 21 orang

7. DKI Jakarta 901 orang

8. Jambi 4 orang

9. Jawa Barat 217 orang

10. Jawa Tengah 700 orang

11. Jawa Timur 1.817 orang

12. Kalimantan Barat 4 orang

13. Kalimantan Timur 42 orang

14. Kalimantan Tengah 95 orang

15. Kalimantan Selatan 298 orang

16. Kalimantan Utara 2 orang

17. Kepulauan Riau 19 orang

18. Nusa Tenggara Barat 122 orang

19. Sumatera Selatan 179 orang

20. Sumatera Barat 34 orang

21. Sulawesi Utara 135 orang

22. Sumatera Utara 212 orang

23. Sulawesi Tenggara 16 orang

24. Sulawesi Selatan 330 orang

25. Sulawesi Tengah 7 orang

26. Lampung 13 orang

27. Riau 13 orang

28. Maluku Utara 49 orang

29. Maluku 25 orang

30. Papua Barat 6 orang

31. Papua 34 orang

32. Sulawesi Barat 5 orang

33. Nusa Tenggara Timur 1 orang

34. Gorontalo 38 orang

 

Reporter: Giovani Dio Prasasti

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.