Sukses

Flasmob Jadi Cara Milenial Banyuwangi Lestarikan Budaya

Sebanyak 234 anak-anak milenial Banyuwangi melakukan flasmob tarian Jaranan Buto di Lapangan Kradenan, Purwoharjo, Minggu (8/3/2020).

Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 234 anak-anak milenial Banyuwangi melakukan flasmob tarian Jaranan Buto di Lapangan Kradenan, Purwoharjo, Minggu (8/3/2020). Anak-anak yang masih duduk di bangku SD hingga SMA itu, membawakan tari dengan apik nan kolosal.

Tak seperti tari jaranan buto pada umumnya. Flasmob kali ini dipenuhi dengan improvisasi dari sisi koreografi. Begitu pula pada sisi musikalisasi yang mendapat sentuhan pop guna mendukung alur cerita yang ditampilkan.

Guyuran hujan yang jatuh sepanjang pertunjukan tak menyurutkan para penari. Air langit tersebut seolah memberi energi lebih bagi mereka untuk memainkan cemeti yang menjadi ciri khas tari tersebut. Hentakan cerita menimbulkan efek cipratan air yang dramatis.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang turut menyaksikan pagelaran tersebut, mengaku bangga dengan para milenial Banyuwangi yang tetap memiliki minat yang tinggi terhadap budaya.

"Di tengah banyak daerah yang sedang krisis para pelestari budaya, justru di Banyuwangi ini proses regenerasi pelaku kesenian berjalan dengan cukup baik," ungkapnya.

Pelestarian budaya, imbuh Anas, tak hanya sekadar menggelar event budaya. Namun memastikan proses regenerasi menjadi hal penting.

"Anak kita jangan hanya disibukkan dengan gadget. Mereka juga perlu untuk dikenalkan tradisi dan budayanya sendiri," tegas Anas.

Jaranan Buto merupakan salah satu kesenian asli Banyuwangi. Tari ini pertama kali dikembangkan pada 1963 oleh Setro Asnawi. Seniman kelahiran Trenggalek pada 1940 itu, pindah ke Banyuwangi pada dekade 60-an awal. Atas interaksinya dengan sejumlah kesenian di daerah asalnya dan hasil dialogis dengan budaya di tempat rantaunya, lahirlah jaranan buto.

"Tari ini menggambarkan simbol-simbol yang saya lihat saat awal-awal datang ke Banyuwangi. Mulai kisah Minakjinggo, Kebo Mencuet hingga patung-patung macan yang banyak dijumpai di Banyuwangi," terang sesepuh yang lama tinggal di Desa Kebondalem tersebut.

Dari yang awalnya begitu sederhana, seiring perkembangan zaman, tari jaranan buto terus berkembang. Mulai dari musik pengiring, seragam hingga koreografi.

"Saya bangga tari ini kini banyak ditarikan oleh generasi muda. Tidak hanya di Banyuwangi saja. Bahkan di berbagai daerah di Jawa Timur," pungkasnya.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini