Sukses

MK: Keberadaan UU Tipikor Bukan Alat Mengkriminalisasi Advokat

MK mengatakan, permohonan yang diajukan tak memperlihatkan bahwa UU Tipikor dapat membuat penegak hukum bertindak sewenang-wenang.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai keberadaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukan alat untuk mengkriminalisasi advokat atau kepentingan politik. Karena itu, para hakim menolak permohonan uji materi Nomor 7/PUU-XVI/2018.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Rabu (28/2/2018).

MK mengatakan, permohonan yang diajukan advokat Krisna Murti dan Khaerudin itu tak memperlihatkan bahwa UU Tipikor dapat membuat penegak hukum bertindak sewenang-wenang. Bahkan menjadikannya alat politik untuk mengkriminalisasi advokat. Selain itu, UU Tipikor sudah sangat jelas tolak ukurnya.

"Sebab, menurut Mahkamah, tolak ukur dimaksud sudah sangat jelas yaitu adanya unsur kesengajaan (dalam Pasal 21 UU PTPK), sehingga andaipun dihubungkan dengan keberadaan hak imunitas advokat, Pasal 16 UU Advokat pun telah jelas memberikan tolok ukur bahwa hak imunitas hilang ketika tidak ada itikad baik," jelas Hakim Konstitusi I Dewa Palguna.

Dia menjelaskan, yang dimaksud dengan iktikad tidak baik di UU Tipikor tersebut adalah, seorang advokat yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa yang sedang dibelanya.

"Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki advokat. Sebab norma undang-undang a quo, sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud," jelas Palguna.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berkaca ke Kasus Setnov

Pemohon Krisna Murti merujuk terhadap apa yang terjadi dengan mantan advokat Setya Novanto, Frederich Yunadi, dan advokat bernama Manatap Amarita yang merupakan kuasa hukum tersangka kasus korupsi penyalahgunaan sisa anggaran Tahun 2005 pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Menurut dia, apa yang dilakukan kedua pengacara tersebut adalah membela kliennya. Karenanya dia memandang UU Tipikor tak punya tolak ukur dan mengganggu hak imunitas advokat.

"Bahwa ketiadaan tolak ukur yang jelas tersebut, menyebabkan advokat dalam membela kliennya sewaktu-waktu dapat dianggap dan diduga melakukan perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan," jelas Krisna.

Selain itu, dengan UU Tipikor tersebut, advokat terancam dikriminalisasi, karena sifatnya multi tafsir. Padahal setiap advokat mempunyai niatan mulia dan memiliki hak imunitas.

"Bahwa setiap advokat yang memiliki hak imunitas, yaitu advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien dalam persidangan," tutur Krisna.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.