Sukses

Bawa Bendera Putih, Nenek di Gaza Tewas Ditembak Israel Saat Gandeng Cucu

Seorang sniper tentara Israel menembak mati seorang nenek di Gaza, Palestina yang cucunya memegang bendera putih. Itu terjadi ketika nenek dan cucunya yang masih balita itu berusaha lari Kota Gaza ke “zona aman” di wilayah selatan.

Liputan6.com, Jakarta Aksi tentara Israel di Palestina terutama di wilayah Gaza banyak menyisakan cerita tragis dan menyedihkan. Hal itu juga dialami oleh Sara Khreis yang harus kehilangan ibunya, Hala, pada November 2023. Peristiwa memilukan itu diceritakan Sara belum lama ini pada CNN International di Istanbul, Turki, belum lama ini.

Ia masih sangat mengingat kejadian itu dengan detail. Dikutip dari CNN, Jumat, 26 Januari 2024, seorang sniper tentara Israel menembak mati seorang nenek Palestina yang cucunya memegang bendera putih. Itu terjadi ketika nenek dan cucunya itu berusaha lari Kota Gaza ke “zona aman” di wilayah selatan.

Menurut rekaman video yang dipublikasikan Middle East Eye (MEE), Kamis, 11 Januari 2024, nenek yang tertembak itu adalah Hala Rashid Abd al-Ati, ibu dari Sara yang sedang berjalan bersama beberapa warga Palestina lainnya ketika mereka berusaha melarikan diri dari lingkungan al-Rimal di Kota Gaza pada 12 November 2023.

Saat itu, Hala bergandengan tangan dengan cucunya yang sedang mengibarkan bendera putih. Menurut video tersebut, ketika Hala melewati jalan raya yang terhubung dengan Jalan al-Wihda, dia ditembak mati dengan satu peluru yang ditembakkan oleh seorang sniper (penembak jitu) tentara Israel.

Orang yang merekam kejadian tersebut dari gedung terdekat, yang tidak akan disebutkan namanya oleh MEE karena alasan keamanan, terdengar berkata: "Wanita itu tertembak. Para bedebah (pasukan Israel) menembak wanita itu."  Dalam rekaman itu, seorang pria Palestina dari kelompok tersebut terlihat berlari menuju Hala untuk memeriksa kondisinya, sementara cucu Hala yang berusia lima tahun; Taim, berlari ke arah orang yang lewat untuk mencari keselamatan.

Menurut keluarga korban, peluru tersebut ditembakkan dari area tempat tentara Israel berada. Anggota keluarga Hala yang masih hidup, yang kini tersebar di Jalur Gaza yang dilanda perang, mengatakan kepada MEE bahwa keputusan untuk memilih rute tersebut keluar dari Kota Gaza diambil setelah mereka beberapa kali menjalin hubungan dengan Palang Merah Internasional.

Usai serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, Palang Merah, bersama dengan beberapa negara regional lainnya dan Amerika Serikat, mulai bekerja sama dengan Israel untuk menciptakan "zona aman" yang memungkinkan warga Palestina berpindah dari Gaza utara ke bagian selatan. Sara mengatakan kepada MEE bahwa sehari sebelum keluarga mereka meninggalkan rumah, pasukan Israel telah mengepung lingkungan mereka, menempatkan tank dan sniper di daerah pemukiman padat penduduk.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Berdoa Bersama Ketika Mendengar Suara Bom Israel

"Kami terbangun karena suara jeritan dan tangisan orang-orang setelah dua jam dikepung oleh tank, kami menelepon Palang Merah untuk membantu kami mencoba mengungsi,” kata Sara. “Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka berhenti bekerja di bagian utara Gaza, dan wilayah tempat kami berada telah menjadi medan perang zona merah dan kami harus segera meninggalkan wilayah tersebut.”

Menurut Khreis, pada pagi hari terjadinya pembunuhan ibunya, semua keluarga bangun dan berdoa bersama ketika mendengar suara bom Israel yang menghantam lingkungan mereka semakin intensif. Hala kemudian membuatkan mereka sarapan sambil duduk dan membaca AlQuran sebelum bersiap berangkat.

Sara mengatakan mereka hanya bersedia keluar ketika tetangga mereka terdengar berteriak dan mendesak warga lain untuk pergi, yang menurut mereka dilakukan mengikuti instruksi dari Palang Merah Internasional. "Sekitar pukul 11.00 terdengar suara sniper dan bom, dan tetangga kami berseru untuk pergi. Jadi kami mengambil barang-barang kami, mengibarkan bendera putih dan pergi, sementara pesawat tempur berputar di atas kepala kami dan peluru tajam ditembakkan pada kami secara acak," ungkapnya.

Sara melanjutkan, keluarganya kemudian meninggalkan rumah menuju Jalan al-Shaheed Abdel Qader al-Husain ke arah Jalan Omar Bin Abdul Aziz. Mereka bergabung dengan setidaknya 100 orang lainnya, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Saat mereka berjalan ke tengah jalan, dia melihat ibunya terjatuh ke tanah disertai suara tembakan. "Ibu saya sedang menggendong cucunya (putra saudara perempuan saya) yang terjatuh ke tanah saat dia dibunuh," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Keponakan Sara Belum Bisa Bertemu Orangtuanya

"Saya berteriak memanggil ibu saya...rasanya seperti kami merasakan kematian ribuan kali setiap menitnya," sambungnya. Adik perempuan Sara, Heba, ibu dua anak berusia 28 tahun, mengatakan kepada MEE bahwa keluarga mereka berulang kali diberitahu oleh penduduk setempat lainnya bahwa mereka akan pergi bersama karena mungkin lebih aman.

"Saya sedang berada di pintu keluar rumah menunggu suami saya waktu saya mendengar suara tembakan dan jeritan saudara perempuan dan sepupu saya. Mereka terus berteriak, lalu saya melihat tubuh ibu saya yang sudah tak bernyawa," tutur Heba.

Saudara laki-lakinya, Mohammed yang berusia 22 tahun, mempertaruhkan nyawanya untuk mengambil jenazah ibu mereka dari jalan dan membawanya pulang. Heba mengatakan bahwa ketika ibunya dibunuh, dia membawa tas roti dan minyak zaitun karena dia tidak yakin berapa lama mereka akan berada pergi dari rumah dan apakah mereka akan menerima makanan dan kebutuhan pokok lainnya.

Menurut Heba, pembunuhan tersebut telah memisahkan dia dan suaminya Yousef dari putra mereka; Taim, sehingga menambah rasa sakit dan penderitaan mereka. Setelah pembunuhan tersebut, Taim dibawa ke Nuseirat oleh seorang tetangga dan kemudian ke Rafah di Gaza selatan di mana dia tinggal bersama bibinya.

Belum jelas kapan orangtuanya akan bertemu dengannya lagi. Sepupu Heba dan Sarah, Malak Anwar al-Khatib, juga menceritakan kepada MEE saat Hala ditembak mati.

4 dari 4 halaman

Nenek dan Ibu yang Penyayang

“Setelah dia dibunuh, bibi saya dibawa ke dalam rumahnya dan kami mencoba merawatnya tetapi dia sudah meninggal. “Kami mendoakan jenazahnya dan menguburkannya di dekat rumah,” terang Malak.

“Setelah itu, kami diberitahu bahwa Palang Merah akan membantu kami pergi lagi tetapi kami kehilangan kepercayaan dan tidak siap mengambil risiko lagi bagi keluarga kami,” lanjutnya.  Pihak militer Israel belum menanggapi pertanyaan mengenai pembunuhan tersebut, tapi sebuah foto yang diterbitkan oleh militer pada hari yang sama dengan kejadian tersebut menunjukkan tank tentara dan sniper ditempatkan di Jalan al-Nasr, jalan yang sejajar dengan rumah Hala.

Foto tersebut juga terlihat menunjukkan tentara sedang berada di area perempatan tempat peluru ditembakkan. Yang pasti, Sara masih seperti mengalami mimpi buruk dengan kepergian ibunya.

Ia berharap saat situasinya sudah kondusif bisa menguburkan ibunya di tempat pemakaman yang sebenarnya.  Ia pun ingin dunia tahu dan mengenang bahwa Hala adalah seorang nenek yang penyayang, ibu yang masih membuatkan roti lapis untuk makan siangnya di kampus dan seorang pensiunan guru yang dicintai para siswanya

"Ibu orang yang sangat peduli, penuh cinta dan selalu memberi, dan punya kepribadian yang luar biasa. Aku ingin menjadi seperti dirinya," harapnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini