Sukses

Media Kamboja Klaim Monogram Louis Vuitton Terinspirasi dari Seni Khmer, Bagaimana Faktanya?

Media Kamboja mengunggah dua gambar yang membandingkan patung kuno dengan monogram Louis Vuitton.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu media Kamboja membuat klaim mengherankan. Lewat Facebook, perusahaan bernama Ebook Cambodia menyatakan bahw motif monogram Louis Vuitton terinspirasi dari seni Khmer kuno.

Perusahaan itu mengunggah gambar yang membandingkan logo monogram LV yang populer dicetak di tas-tas mewah mereka dengan sebuah batu kuno berukiran penari Apsara Kamboja. Penari itu mengenakan sarung bermotif bunga-bunga yang sepintas mirip bentuk logo monogram Louis Vuitton.

Dalam bahasa Khmer, mereka menuliskan keterangan, "Brand LV. Terkadang kalian tetap tidak dapat melarikan diri dari seni leluhur Khmer kuno. Sebuah patung berusia ribuan tahun, tapi tetap dengan rasa peradaban dan keabadian. Nenek moyang Khmer mengagumkan!"

Tidak dijelaskan apakah pernyataan itu untuk menyindir merek fesyen Prancis telah menyalin desain dari ukiran batu kuno. Meski begitu, respons sejumlah warganet terbelah dua menanggapi gagasan tersebut dengan skeptis. 

Seorang pendukung menuliskan, "Sebenarnya, jika negara kita lebih berpengaruh, perusahaan-perusahaan ini akan membayar negara kita jutaan dolar untuk kepemilikan kekayaan intelektual. Karena merek ini menyalinnya dari kami pada tahun 1850 lebih dari ketika Prancis menjajah negara kami, orang Prancis pergi ke Angkor untuk meneliti dan menyalin gaya dari patung kami."

"Hello, Claimland. Why your country must claim everything. Umm , It's a habit to copy others. (Halo Claimland, mengapa negaramu mesti mengklaim segalanya. Ummm, ini jadi kebiasaan untuk menyalin yang lain)," respons warganet yang kontra.

"Any kids, any nations can draw flowers and create patterns. It is common sense. You need to stop this behavior. Your page and believers, supporters make Cambodia looks a fool to other nations. (Setiap anak, setiap negara dapat menggambar bunga dan dan membuat pola. Itu adalah akal sehat. Kamu harus menghentikan perilaku ini. Lamanmu dan mereka yang memercayai, mendukungmu membuat Kamboja terlihat bodoh di depan negara lain)," kata yang lain.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sejarah Monogram Louis Vuitton

Apakah klaim itu benar? Dikutip dari icon-icon.com, monogram itu ternyata bukan terinspirasi dari kebudayaan Khmer, melainkan Jepang. Pada 1896, Georges Vuitton yang telah mengambil alih usaha mendiang ayahnya, Louis, membayangkan sebuah kanvas baru untuk menutupi bagasi tanpa cela yang diproduksi di bawah mereknya.

Kanvas baru itu dimaksudkan mewujudkan semua inspirasi, pesona, dan kualitas koper Louis Vuitton. Kanvas monogram itu lahir sebagai komposisi yang terinspirasi sekaligus autentik. Melalui kanvas yang estetis dan inovatif itu, Georges Vuitton berusaha melawan kasus pemalsuan yang terus marak. 

Beberapa tahun sebelumnya, Louis Vuitton membuat sebuah kunci orisinil, yakni kunci yang 'tidak dapat dicungkil' dengan lima alur. Pada 1896, Georges mengukir inisial nama ayahnya di sekitar motif bunga yang terinspirasi seni gotik, seni kontemporer, dan seni Jepang. Monogram ciptaan Georges Vuitton kemudian menginspirasi banyak generasi mendatang.

Monogram saat ini berfungsi lebih dari sekadar label, yakni jadi simbol sepopuler Mickey Mouse. Selain mengabadikan savoir-faire berusia dua abad dan mempromosikan kreativitas yang meluap-luap, pembuat bagasi juga telah melabuhkan nama dan produknya ke jajaran ikon suatu zaman. Misalnya, monogram juga menjadi lini perhiasan.

Tetapi, keajaiban sebenarnya dari segel Louis Vuitton terletak pada sifat seperti bunglon dari tanda tangan ini. Pada 1996, pabrikan di 101 Avenue des Champs-Élysées merayakan ulang tahun ke-100 monogram legendaris itu dengan menyelipkan humor. Untuk mendemonstrasikan semua karakter dan kesezamanannya, pembuat bagasi memanggil beberapa seniman paling berbakat, visioner, dan tercerahkan di generasinya.

 

3 dari 4 halaman

Nilai Jual Merosot

Di sisi lain, nilai pasar jual kembali tas-tas mewah pada awal tahun ini menunjukkan kemerosotan meski permintaan barang bekas mewah masih "membara." Melansir CNN, 26 Januari 2023, konsumen yang takut akan percepatan pemutusan hubungan kerja, bayang-bayang resesi, serta tingginya harga barang dan jasa pada 2023, membuat daya beli mereka menurun, termasuk dalam hal tas bekas.

Namun demikian, pasar penjualan kembali tetap menjanjikan, dengan penjualan diprediksi mencapai 82 miliar AS pada 2026, hampir dua kali lipat dari 43 miliar AS pada 2022, menurut data industri. Dalam catatannya, konsumen semata mencari nilai barang lebih baik di pasar penjualan kembali.

"Kami mulai menyadarinya pada akhir musim panas, awal musim gugur tahun lalu," kata direktur merchandising reseller barang mewah online The RealReal (REAL), Sasha Skoda. "Permintaan untuk merek mewah dengan harga lebih tinggi saat dijual kembali turun, yang mendorong harga tas dari merek seperti Chanel, Gucci, dan Louis Vuitton merosot."

Di saat yang sama, katanya, permintaan untuk merek-merek mewah dengan harga lebih rendah, seperti Miu Miu dan Bottega Veneta, meningkat. Skoda mengatakan, "Konsumen khawatir tentang ekonomi dan mereka tidak ingin menghabiskan banyak uang."

"Mereka tidak lagi bersedia membayar harga tas bekas setinggi, misalnya, tahun lalu untuk merek-merek, seperti Hermes, Gucci, dan Louis Vuitton," imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Angka Penurunan

Menurut Laporan Konsinyasi Mewah Tahunan RealReal 2023, harga jual kembali tas tangan turun 20 persen untuk Louis Vuitton, 17 persen untuk Gucci, 10 persen untuk Hermes, dan 9 persen untuk Chanel selama 90 hari terakhir.

Rata-rata, nilai jual kembali tas mewah dari merek-merek tersebut tercatat turun lima persen dalam enam bulan terakhir, kata Skoda. "Potensi resesi, krisis iklim, dan keresahan global adalah alasan konsumen membuat keputusan belanja berdasarkan nilai," sebut co-CEO dan presiden The RealReal, Rati Sahi Levesque, dalam laporan tersebut.

Karena menginginkan harga lebih rendah, pembeli barang bekas jadi kurang pilih-pilih tentang kondisi barang yang hendak mereka beli. Permintaan naik hampir dua kali lipat untuk barang-barang "kondisi wajar," seperti yang menunjukkan tanda-tanda keausan berat di sudut dan goresan yang signifikan, kata laporan itu.

Produk kondisi wajar yang dijual The RealReal rata-rata 33 persen lebih murah dari produk yang dijual kembali dalam kondisi baik atau sangat baik. Skoda mencatat bahwa milenial dan Gen Z, yang merupakan pembeli utama barang bekas, tertarik pada merek kontemporer yang lebih terjangkau, seperti Miu Miu, Bottega Veneta, dan Telfar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.