Sukses

Cerita Akhir Pekan: Wajah Konservasi Hutan dan Hewan Purba Seperti Komodo dan Kura-Kura Raksasa di Galapagos

Konservasi hutan dan satwa lebih banyak dikalahkan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek, dibandingkan kepentingan kepentingan jangka panjang.

Liputan6.com, Jakarta - Konservasi hutan saat ini mengalami tekanan yang semakin kuat karena baik pemerintah maupun pengusaha cara berpikirnya hanya jangka pendek. Keuntungan jangka pendek yang ukurannya adalah materi semata, padahal nilai hutan itu ada yang tangible (terukur dengan uang) dan intangible (tidak terukur atau sulit diukur).

"Intangible seperti nilai air, udara, kenyamanan hidup, nilai budaya dan adat masyarakat adat terkait dengan hutan, nilai keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang kadang sulit diukur dengan uang karena itu adalah makhluk hidup," ujar pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University, Abdul Haris Mustari saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu malam, 31 Oktober 2020.

Hal senada diungkapkan Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas. Hutan Indonesia masih terus terancam hingga hari ini karena hutan masih dianggap sebagai komoditas untuk dieksploitasi untuk dikonversi menjadi perkebunan skala besar seperti sawit dan bubur kertas.

"Bertahun-tahun hutan hujan Indonesia telah hilang, dan telah mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati, mengancam kepunahan habitat satwa yang dilindungi, bencana ekologis dan konflik dengan masyarakat," ujar Arie kepada Liputan6.com.

Haris menambahkan, kepentingan ekonomi jangka pendek mengalahkan kepentingan ekologi. Meski ekologi memiliki kepentingan ekonomi, kata Haris, tapi kepentingannya untuk jangka panjang.

Pengaruh tekanan terhadap hutan, maka berpengaruh juga terhadap konservasi keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan. "Konservasi satwa, keaneragaman hayati berbanding lurus dengan keanekaragaman hutan, keanekaragaman vegetasi dan semacamnya. Hutan itu terbagi atas hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi," ujara Haris.

Hutan produksi luasnya sekitar 64 juta hektare dari 120 juta hektare hutan. Artinya, 50 persennya adalah hutan produksi dan itu sudah habis oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang telah beroperasi sejak 1970.

Sementara hutan lindung berada di daerah-daerah ketinggian untuk tata air. Sementara itu, hutan konservasi jumlahnya sekitar 35 juta hektare atau 30 persen dari luas kawasan hutan di Indonesia.

"Hutan konservasi itu meliputi berbagai kawasan konservasi, seperti taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, taman burung, taman wisata alam, dan sebagainya. Harapan kita satu-satunya adalah kawasan konservasi. Itu pun tak lepas dari penjarahan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek," ujar lelaki yang menyelesaikan studi doktoral di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, University of England, Armidale, Australia ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Konservasi Satwa

Haris mencontohkan soal kasus komodo yang belakangan ini ramai dibicarakan publik, termasuk juga di dunia internasional. Ia mengatakan banyaknya wisatawan asing berkunjung ke sana, bukan untuk melihat kemewahan bangunan, tapi untuk melihat komodo yang hidup secara alami.

"Bukan komodo yang dikurung dalam kandang tertentu, turis asing mungkin tidak tertarik dengan itu. Kalau turis Indonesia, mungkin tertarik," ujar Haris. "Orang datang ke sana sebenarnya ingin melihat komodo yang hidup secara bebas," imbuhnya.

Tak hanya komodo, satwa purba lain yang juga ada di dunia adalah kura-kura raksasa di Kepulauan Galapagos, Ekuador. Haris menyebutkan bahwa kura-kura di sana tetap ada dan tidak mengalami kepunahan.

"Karena perlindungan kura-kura raksasa di sana sangat keras. Pemerintah di sana juga disiplin, begitu juga dengan masyarakatnya. Mentalitas sana berbeda dengan mentalitas di sini. Kalau di sini, orang kalau lihat satwa ingin dibunuh atau ditangkap," imbuh Haris.

Ia menyebut banyak orang Indonesia yang kurang menghargai hidup organisme lain, selain manusia atau homo sapiens. Konservasi kura-kura raksasa di sana sangat bagus karena perhatian internasional juga peneliti. Meski terdapat penurunan jumlah kura-kura raksasa, kata Haris, tapi konservasi kura-kura raksasa lebih bagus di sana.

"Kemauan pemerintah dan masyarakat di sana benar-benar jalan, meski di sana jumlah masyarakatnya pun tidak banyak," ujar Haris.

Kepada Liputan6.com, Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat Aloysius Suhartim Karya mengatakan, berdasarkan penelitian komodo diperkirakan akan punah 50 tahun lagi. Namun, pemerintah seolah tak peduli dengan kepunahan tersebut, melainkan malah membukakan pintu kepada korporasi besar dengan dalih untuk memberdayakan masyarakat lokal.

"Tapi menurut hemat saya yang terjadi adalah mengeksploitasi Taman Nasional Komodo," tegas Aloysius.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.